Jumat, 18 Mei 2012

perlindungan hukum terhadap tenaga kerja

  



By.SWILLSOND M.KWALIK





PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN ABSTRAKSI Masalah kemiskinan telah menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan bagi semua negara termasuk di Indonesia. Secara signifikan jumlah keluarga miskin juga semakin meningkat, yang salah satunya memberi dampak dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Timbulnya pekerja anak antara lain dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat. Mempekerjakan anak tidak juga selalu berdampak negatif, karena dengan anak bekerja dapat melatih kemampuan fisik, mental, sosial serta intelektualitas anak. Meskipun dalam prakteknya tidak dapat dihindari banyak terjadinya diskriminasi ataupun eksploitasi yang dialami oleh pekerja anak. Pekerja anak tidak selalu bekerja dalam sektor formal, namun pekerja anak justru lebih banyak yang berkecimpung di luar sektor formal (informal) sehingga tidak adanya hubungan kerja yang jelas. Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pekerja anak diatur dalam Pasal 68-75. berdasar atas latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitianyang menitikberatkan dari aspek normatif yaitu bagaimana Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak. Undang ini memberikan ketentuan bagi pemberi kerjayang mempekerjakan anak untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 (2), antara lain: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian tertulis anatara orang tua/wali dengan pengusaha, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, ada hubungan kerjayang jelas, serta menerima ketentuan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun ketentuan mengenai pekerja anak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini belum memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi anak yang bekerja di luar sektor formal (informal), hal ini disebabkan karena ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemerintah untuk menanggulangi anak yang bekerja di luar sektor formal, hingga kini belum dikeluarkan peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam. Dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhannya itu manusia dituntut untuk bekerja, karena dengan bekerja dapat diperoleh suatu penghasilan. Pekerjaan tersebut dapat diusahakan secara sendiri maupun dengan bekerja padaorang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri maksudnya adalah bekerja atas modal dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan bekerja pada orang lain bergantung pada orang lain yang memberi perintah dan mengutusnya dan harus tunduk dan patut pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut. Bekerja pada orang lain inilah yang berkaitan dengan Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan adalah sebagian dari hukum yang berlaku (segala peraturan-peraturan) yang menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaannya, mengenai tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut. Pada dasarnya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Namun di era perkembangan teknologi yang semakin pesat seperti saat ini, persaingan tidak lagi dapat di hindari. Jurang perbedaan antara kaya dan miskin semakin jelas terlihat di Indonesia. Masalah kemiskinan telah menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan bagi semua negara termasuk di Indonesia. Secara signifikan jumlah keluarga miskin juga semakin meningkat, yang salah satunya memberi dampak dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Pekerja anak merupakan masalah yang cukup kompleks. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat. Namun demikian, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan ternyata berhubungan positif dengan kecenderungan anak untuk bekerja. Selainfaktor kemiskinan, faktor budaya juga tampaknya turut berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk bekerja. Banyak orangtua yang berpendapat bahwa bekerja merupakan proses belajar yang akan berguna bagi perkembangan anak di kemudian hari. Anak yang bekerja merupakan salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumah tangga (Household Survival Strategy). Hal ini terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin di perkotaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan sumberyang tersedia. Salah satu upaya untuk beradaptasi dengan kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Akibatnya banyak orang tua harus rela melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu meningkatkan perekonomian keluarga. Problematika pekerja anak dalam skala dunia merupakan masalah sosialyang cukup pelik bagi semua negara. Bagi yang bersangkutan, di usia mereka yang semestinya dipergunakan untuk menuntut ilmu dan menambah keterampilan di sekolah, bahkan untuk bermain dengan anak seusianya, justru digunakan untuk bekerja. Anak yang bekerja merupakan salah satu gambaran betapa rumit dan kompleksnya permasalahan anak. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Peran pemerintah, masyarakat dan lembaga terkait akan semakin signifikan dalam menangani permasalahan pekerja anak ketika orangtua dalam kemiskinan akut. Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anakyang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anakyang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaanserta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dariorang tua, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Perlindungan anak tersebut berkaitan erat untuk mendapatkan hak asasi mutlak dan mendasar yang tidak boleh dikurangi satupun atau mengorbankan hak mutlak lainnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia seutuhnya bila ia menginjak dewasa, dengan demikian bila anak telah menjadi dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami mengenai apayang menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anakyang baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya tersebut. Pekerja anak butuh perlindungan lebih, mengingat keadaan anak yang masih lemah baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektualitas. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan saja menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak, tetapi juga masyarakat dan negara. Karena pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral meliputi nilai-nilai normatif yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Semakin meningkatnya jumlah pekerja anak yang digunakan oleh perusahaan, berdampak semakin berkurangnya kesempatan kerja bagi pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena akibat dari hasil produktifitas pekerja anak ternyata tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja dewasa. Dari aspek ekonomi, pihak pengusaha sangat diuntungkan dengan banyaknya pekerja anak, yaitu dengan pembayaran upah yang rata-rata lebih rendah, mereka juga tidak banyak menuntut bahkan tidak mengetahui apa yang sebenarnya menjadi haknya sebagai pekerja. Dampak lain dari semakin meningkatnya jumlah pekerja anak adalah dapat memicu hambatan dinamika proses pembangunan Sumber Daya Manusia di masa mendatang. Dampak yang sangat besar terkait dengan Sosial Cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah. Eksploitasi anak juga semakin sering dijumpai karena banyak dari mereka yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja yang sebenarnya dapat memberikan peningkatan kesejahteraan mereka. Pemerintah bersama legislatif telah mengeluarkan sebuah peraturan tentang Ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dan pemberi kerja. Terkait dengan pekerja anak, Undang-Undang ini memberikan pengertian dalam Pasal 1 Angka 26 menyebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Maka dapat diartikan bahwa pekerja anak adalah mereka yang bekerja dalam usia di bawah 18 tahun. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Mengenai pekerja anak Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini telah memberikan ketentuan larangan bagi siapapun untuk mempekerjakan atau melibatkan anak-anak dalam bentuk pekerjaan terburuk. Namun mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dianggap “pekerjaan terburuk” tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam suatu Undang-Undang melainkan ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003. Pasal 3 dalam KEPMEN tersebut menetapkan usia 15 (lima belas) tahun atau lebih sebagai usia kerja anak, dan melarang anak usia dibawah 18 (delapan belas) tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka. Undang-Undang ini juga hanya memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yang bekerja pada sektor formal dan hanya mewajibkan pengusaha atau pengguna jasa pekerja formal untuk mematuhi Undang-Undang mengenai perjanjian kerja, upah minimum, lembur, jam kerja, istirahat, dan hari libur. Sedangkan pekerja anak yang bekerja di luar hubungan kerja (sektor informal) tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, melainkan masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai peraturan guna menciptakan ketertiban dan keamanan di masyarakat. Namun dalam implementasinya tidak semua peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya oleh para pelaksana undang-undang yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Berkaitan di bidang ketenagakerjaan seharusnya pembangunan ketenagakerjaan dibangun sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi pekerja/buruh sehingga pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Upaya penanggulangan terhadap pekerja anak dapat dilakukan secara terpadu antar sektor di pusat dan daerah. Penanggulangan pekerja anak merupakan dilema pemerintah, di satu sisi pemerintah ingin melarang pekerja anak dan mengharapkan semua anak usia sekolah dapat mengembangkan intelektualitasnya di sekolah untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu di masa depan, sementara di sisi lain pemerintah pun tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga miskin sehingga mengijinkan anak-anak yang terpaksa harus bekerja. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin melakukan penelitian yang menitikberatkan kepada perlindungan hukum terhadap pekerja anak dengan judul: ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN” B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu : Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan? C. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pekerja anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait sebagai berikut : 1. Kegunaan praktis untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan dan untuk memberikan informasi dan menambah pemahaman serta kesadaran masyarakat terutama bagi pemberi kerja (pengusaha) khususnya terkait dengan perlindungan hukum pekerja anak. 2. Kegunaan teoritis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan guna memberikan penambahan pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan terutama berkaitan dengan masalah yang diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Administrasi Negara Secara Umum 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara Kata administrasi berasal dari bahasa Inggris ”administration” yang pada mulanya berasal dari bahasa Latin ”administrare” yang berarti ”to serve” atau melayani. Pengertian Administrasi dalam arti sempit berarti segala kegiatan nulis menulis, catat-mencatat, surat-menyurat, ketik mengetik serta penyimpanan dan pengurusan masalah-masalah yang hanya bersifat teknis ketata-usahaan belaka. Jadi pengertian Administrasi dalam arti sempit sama artinya dengan tata usaha. Administrasi dalam arti luas menurut Leonard D. White dalam bukunya ”Introduction on the Study of Public Administration” mendefinisikan administrasi sebagai suatu proses yang umumnya terdapat pada semua usaha kelompok, negara atau swasta sipil atau militer, usaha yang besar atau kecil. Menurut C.S.T Kansil ada 3 arti administrasi yaitu : a. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau instansi politik (kenegaraan) artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah, mulai dari Presiden, Menteri (termasuk Sekjen, Irjen, Gubernur, Bupati dan sebagainya) pokoknya semua organ yang menjalankan administrasi negara ; b. Sebagai fungsi atau sebagai aktifitas yaitu sebagai kegiatan pemerintahan artinya sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara ; c. Sebagai proses teknis penyelenggaraan Undang-Undang meliputi tindakan aparatur negara dalam menjalankan Undang-Undang. Pemerintah dalam arti sempit adalah organ atau alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan Undang-Undang. Dari pengertian ini pemerintah hanya berfungsi sebagai badan Eksekutif (Eksekutif atau Bestuur). Sedangkan pemerintah dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif. Jadi semua pemegang kekuasaan dalam negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif seperti teori Trias Politika dari Montesquieu) adalah termasuk pemerintah dalam artinya yang luas. Menurut Utrecht dalam buku ”Pengantar Hukum Administrasi Negara” dalam Teori Sisa (Residu Theory), administrasi negara sebagai complex ambten/apparaat atau gabungan jabatan-jabatan administrasi yang berada dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian tugas pemerintah yang tidak ditugaskan pada badan peradilan dan pembuat Undang-Undang dan badan pemerintah yang lebih rendah. Menurut G. Pringgodigdo, pengertian HAN mencakup 3 (tiga) unsur yaitu: 1. Hukum Tata Pemerintahan (HTP) yaitu eksekutif atau aktivitas eksekutif atau tata pelaksanaan Undang-Undang, 2. Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam arti sempit yaitu tentang tata pengurusan rumah tangga negara (rumah tangga negara di maksudkan, segala tugas-tugas yang ditetapkan dengan Undang-Undang sebagai urusan negara); dan 3. Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang berkait dengan surat menyurat atau kearsipan. Sedangkan E. Utrecht mengemukakan bahwa HAN itu mempunyai obyek : 1. Sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat perlengkapan negara yang satu dengan alat perlengkapan negara yang lain. 2. Sebagian aturan hukum mengenai hubungan hukum antara perlengkapan negara dengan perseorangan privat. HAN juga adalah perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat negara melakukan tugasnya yang istimewa. Dengan kata lain bisa di kemukakan bahwa: a. Obyek Hukum Administrasi Negara adalah semua perbuatan yang tidak termasuk tugas mengadili, meskipun mungkin tugas itu dilakukan oleh badan di luar eksekutif; bagi HAN yang penting bukan siapa yang menjalankan tugas itu tetapi adalah masuk ke (bidang) manakah tugas itu. b. Hukum Administrasi Negara merupakan himpunan peraturan-peraturan istimewa. 2. Sumber-sumber hukum administrasi negara Pada umumnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat diketemukannya aturan hukum. Sumber hukum itu bisa dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya atau dilihat dari bentuknya. a. Sumber hukum materiil HAN Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang ikut mempengaruhi isi dari aturan hukum adalah historik, filosofik, dan sosiologis atau antropologis. 1) Sumber historik (Sejarah) Dari studi sejarah ini ada dua jenis sumber hukum, yaitu: 1. Undang-Undang dan sistem hukum tertulis yang berlaku pada masa lampau di suatu tempat. Karena ada unsur yang dianggap baik maka hukum yang berlaku pada masa lalu itu oleh pembuat undang-undang dapat dijadikan materi Undang-Undang dan diberlakukan sebagai hukum positif. 2. Dokumen-dokumen dan surat-menyurat serta keterangan lain dari masa itu sehingga dapat diperoleh gambaran tentang hukum yang berlaku di masa itu yang mungkin dapat diterima untuk dijadikan hukum positif saat sekarang. Sumber hukum dari sudut historik ini yang paling relevan adalah Undang-Undang dan sistem hukum tertulis di masa lampau. Sebab Undang-Undang dan sistem hukum tertulis itulah yang merupakan hukum yang benar-benar berlaku, sedangkan dokumen dan surat-surat keterangan hanya bersifat mengenalkan hukum yang berlaku di masa lampau. 2) Sumber sosiologis (Antropologis) Dari sudut sosiologis/antropologis ditegaskan bahwa sumber hukum materiil itu adalah seluruh masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa dari sudut sosiologis/antropologis ini yang dimaksud dengan sumber hukum adalah faktor-faktor dalam masyarakat yang ikut menentukan isi hukum positif, faktor-faktor mana meliputi pandangan ekonomis, pandangan agamis dan psikologis. 2) Sumber filosofis Dari sudut filosofis ada dua masalah penting yang dapat menjadi sumber hukum, yaitu : 1. Ukuran untuk menemukan bahwa sesuatu itu bersifat adil. Karena hukum itu dimaksudkan antara lain untuk menciptakan keadilan maka hal-hal yang secara filosofis dianggap adil dijadikan juga sumber hukum materiil. 2. Faktor-faktor yang mendorong seseorang mau tunduk pada hukum. Hukum itu diciptakan agar ditaati, oleh sebab itu semua faktor yang dapat mendorong seseorang taat pada hukum harus diperhatikan dalam pembuatan aturan hukum positif. b. Sumber hukum formil HAN Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang berasal dari aturan-aturan yang sudah mempunyai bentuk sebagai pernyataan berlakunya hukum. Dengan demikian sumber hukum formil ini merupakan pemberian bentuk pernyataan bahwa sumber hukum materiil deinyatakan berlaku. Berarti bahwa sumber hukum materiil bisa berlaku jika sudah diberi bentuk atau dinyatakan berlaku dengan hukum formil. Sumber-sumber hukum formil dari Hukum Administrasi Negara adalah: 1. Undang-Undang (Hukum Administrasi Negara Tertulis) ; 2. Praktek Administrasi Negara (Konvensi) ; 3. Yurisprudensi ; 4. Doktrin (Anggapan/Pendapat Para Ahli Hukum). 3. Asas-Asas HAN 1. Asas Legalitas, diwujudkan dalam ositivitas hukum (dinormakan) dalam suatu aturan yaitu Undang-Undang yang bertujuan membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi hak asasi warga masyarakat. 2. Asas Larangan Detaurnement De Povoir (penyalahgunaan kewenangan). Maksudnya bahwa administrasi negara dalam menyelenggarakan kekuasaannya/pemerintahannya harus senantiasa mendasarkan pada kewenangannya. Oleh karena itu keabsahan tindak pemerintah harus berdasarkan kewenangannya menurut hukum. Dalam HAN dikenal 3 (tiga) sumber kewenangan yaitu ; a. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintah (HD. Van Wijk) atau pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan. b. Delegasi, yaitu pelimpahan suatu wewenang atribusi kepada badan/pejabat lain, artinya wewenang yang sudah ada pada badan/pejabat pemerintah yang telah memperoleh wewenang secara atributif deserahkan pada pejabat atau badan yang lain. Tanggung jawab beralih pada pemegang delegasi. c. Mandat, yaitu wewenang atribusi maupun delegasi dapat dimandatkan pada pegawai apabila pejabat/badan yang memperolah kewenangan tersebut tidak sanggup melakukannya sendiri. Pemberi mandat (mandans) tetap berwenang untuk melakukannya sendiri wewenangnya sewaktu-waktu dan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh mandataris (yang diberi mandat). 3. Asas Larangan Exes De Povoir, yaitu pemerintah dalam menyelenggarakan kewenangannya dilarang melampaui batas. 4. Asas Kesamaan, yaitu memberikan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi kepada warga masyarakat. 5. Asas Pemberian Sanksi, dalam hukum administrasi negara sanksi dapat meliputi : a. Bestuursdwang/paksaan pemerintah/upaya paksa pemerintah b. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan. c. Denda administrasi. d. Dwangsom/uang paksa. 6. Asas Freies Ermessen, yaitu asas yang menghendaki kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri administrasi negara tanpa terikat Undang-Undang yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Dengan adanya kewenangan bagi admnistrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi negara melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat (yang dalam HAN dikenal dengan perbuatan Maladministrasi). Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AUPB) lahir sebagai bentuk kekhawatiran Freies Ermessen dalam mewujudkan Welfare State atau Social Rechtstate di Belanda. Ajaran AUPB atau Algemene Beginselen Van Berhoorlijk Bestuur dikembangkan oleh Ilmu Hukum dan Yurisprudensi baik di lingkungan Administrasi Negara maupun putusan pengadilan. Jadi perlu di tegaskan bahwa AUPB ini belum pernah dituangkan secara resmi di dalam peraturan perundang-undangan sehingga AUPB kekuatan hukumnya secara yuridis formal belum ada. Jika diatas dikemukakan bahwa dalam produk perundang-undangan yang baru istilah tersebut digunakan secara tegas itu hanya menyangkut penyebutan istilahnya saja yang materi-materinya berserakan diberbagai peraturan perundangan atau yurisprudensi. Jadi tidak ada peraturan formal khusus tentang AUPB ini. Dengan demikian AUPB ini secara utuh hanya lebih mengikat secara moral atau sebagai sumber hukum ia lebih bersifat doktrinal. Adapun AUPB ini dapat dikategorikan ke dalam tiga belas asas yaitu: 1. Asas Bertindak Cermat ; 2. Asas Motivasi ; 3. Asas Kepastian Hukum ; 4. Asas Kesamaan ; 5. Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal ; 6. Asas Menanggapi penghargaan yang wajar ; 7. Asas Kebijaksanaan ; 8. Asas Jangan mencampuradukkan kewenangan ; 9. Asas Keadilan dan Kewajaran ; 10. Asas Penyelenggaraan kepentingan umum ; 11. Asas Keseimbangan ; 12. Asas Permainan yang layak ; 13. Asas Perlindungan. 4. Konsep Negara Welfare State Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai setiap negara adalah bagaimana memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Agar tujuan tersebut dapat dicapai, maka dalam menggerakkan roda penyelenggaraan pemerintahan diperlukan organ atau perangkat sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. Ciri-ciri atau persyaratan negara hukum yang baru (Welfare State) adalah : 1. Perlindungan Konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin itu ; 2. Badan kehakiman yang bebas (Independent and Inpertial Tribunals) ; 3. Pemilihan umum yang bebas ; 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat ; 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi ; 6. Pendidikan kewarganegaraan. Konsep ini menganut prinsip Staatsbemoeiinis yaitu tidak mengenal pemisahan antara negara dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (lawannya prinsip Staatssonthouding). Serta dikenal adanya fungsi Bestuurzorg yakni fungsi Public Service untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Dalam konsep Welfare State, Administrasi Negara diwajibkan untuk berperan secara aktif diseluruh segi kehidupan masyarakat. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk (menciptakan) kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan. 5. Hukum Ketenagakerjaan Dalam Hukum Administrasi Negara Konsep Welfare State atau Social sevice-state merupakan konsep yang dianut oleh negara Indonesia sebagai negara hukum. Mengingat negara Indonesia memenuhi ciri-ciri atau persyaratan negara Welfare State sebagaimana disebutkan diatas. Konsekuensi dari diterapkannya konsep Welfare State ini mengakibatkan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN) menjadi semakin luas, sehingga tugas, fungsi, dan wewenang administrasi negara juga semakin besar dan luas. Konsep negara ini mengharuskan pemerintah bertanggung jawab secara intensif untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negaranya agar mencapai suatu standar hidup minimal. Negara hukum pada abad modern ini memperlihatkan bahwa Hukum Administrasi Negara maupun Pejabat Administrasi Negara memegang peranan yang begitu besar, karena negara hukum modern ini memberi kebijaksanaan pada penguasa untuk menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara langsung, sehingga fungsi negara disini bersifat aktif dalam mengurus kepentingan masyarakat. Dengan demikian, negara kesejahteraan melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warganya adalah merupakan suatu conditio sine quanon. Rangkaian peraturan mengatur aktivitas para administrasi negara dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat yang pada akhirnya bertujuan menciptakan suatu kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh warga negara, hal tersebut merupakan fokus kajian dari ilmu Hukum Administrasi Negara. Berdasar konsepsi dasar tersebut terlihat bahwa Hukum Administrasi Negara memiliki lingkup kajian yang sangat luas di berbagai bidang, baik publik maupun privat. Salah satu cabang dari bidang kajian Hukum Administrasi Negara ialah mengenai bidang Ketenagakerjaan. Aspek pekerjaan merupakan salah satu elemen terpenting manusia dalam hidup bermasyarakat, karena pada dasarnya dengan pekerjaan lah dapat diperoleh suatu penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup yang pada akhirnya dapat terciptanya suatu kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Berdasar pada pemikiran tersebut, dapat terlihat peran dan fungsi dari pemerintah sebagai administrasi negara, yaitu bagaimana aktivitas dari mereka sebagai pelaksana fungsi public service dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya dibidang ketenagakerjaan. Melalui kebijakan-kebijakannya pemerintah berwenang untuk menentukan dan mengatur sistem melalui sebuah peraturan dibidang ketenagakerjaan yang pada akhirnya dapat menjadi sebuah fasilitas dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya. Secara fungsional pemerintah sebagai administrasi negara termasuk dalam 3 (tiga) unsur utama dalam bidang ketenagakerjaan bersama buruh/pekerja dan pengusaha/perusahaan, yang kemudian lazim disebut sebagai tripatrit ketenagakerjaan. Dalam menjalankan perannya pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengatur sistem dari ketenagakerjaan itu sendiri, termasuk menciptakan kerangka aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap unsur ketenagakerjaan, salah satu bentuk konkritnya ialah lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melalui asas keterpaduan dengan koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, pada akhirnya pemerintah mempunyai amanat untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat melalui bidang ketenagakerjaan. Tugas, fungsi, dan kewenangan dari pemerintah tersebutlah yang menjadi salah satu fokus kajian dari Hukum Administrasi Negara yang pada tataran spesifiknya memiliki hubungan yang sinergis dengan hukum ketenagakerjaan. Campur tangan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan ini telah menyebabkan sifat hukum perburuhan/ketenagakerjaan menjadi ganda yakni privat dan publik. Berdasarkan tujuan dari konsep negara welfare state sebagaimana yang dianut oleh Indonesia maka pemerintah Indonesia harus menjamin kesejahteraan dan kemakmuran warga negaranya. Hal tersebut dapat dituangkan melalui berbagai kebijakan pemerintah, sesuai dengan persyaratan negara hukum yang baru (Welfare State) yaitu dengan adanya Perlindungan Konstitusional dalam arti bahwa konstitusi yang dikeluarkan harus menjamin hak-hak individu yang juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin itu. Maka disini fungsi negara bersifat aktif dalam mengurus kepentingan masyarakat, yang dengan demikian dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara merupakan suatu syarat mutlak yang harus ada. Walaupun pemerintah dituntut untuk menjamin kesejahteraan bagi warga negaranya, pemerintah juga tidak dapat menghindari bahwa kemiskinan tetap melanda di Indonesia. Masalah kemiskinan telah menjadi polemik yang berkepanjangan bagi semua negara. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 telah memberikan dampak yang sangat signifikan, khususnya masalah kemiskinan yang tentunya mengalami peningkatan. Jumlah peningkatan keluarga miskin yang semakin mengalami peningkatan ini tentunya juga memberikan dampak yaitu salah satunya dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Kewajiban untuk membantu keluarga timbul dalam diri anak yang berasal dari keluarga yang mengalami kesulitan perekonomian keluarga. Hal tersebutlah yang dikatakan sebagai anak yang terpaksa bekerja. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah merupakan salah satu gambaran betapa rumitnya permasalahan anak. Seorang anak yang bekerja adalah bentuk penelantaran anak, karena pada saat yang bersamaan akan terjadi pengabaian hak-hak yang seharusnya mereka terima. Keadaan ini yang menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan perlindungan khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntuk penanganan serius dari orang tua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. 6. Perlindungan Hukum Anak Pada Umumnya Perlindungan hukum selalu diartikan dengan konsep Rechtstaat atau konsep Rule Of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep Rechtstaat muncul pada abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum Anglo Saxon, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule Of Law sebagai berikut : a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality Before The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negara lain) oleh undang-undang dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah di landasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum. Perlindungan hukum bagi rakyat, menurut Philipus M. Hadjon dibedakan atas 2 macam : a. Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. b. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif dilakukan antara lain melalui peradilan hukum dan peradilan administrasi negara. Kedua macam perlindungan hukum di atas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip negara hukum. Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, hak anak telah diatur. Menyebutkan setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 52 ayat (1)). Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (ayat (2)). Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (Pasal 53 ayat (1)). Setiap anak berhak untuk mendapatkan untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut (Pasal 58 ayat (1)). Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman (ayat 2)). Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya, mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti (Pasal 60 ayat (1)). Setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan niali-nilai kesusilaan dan kepatuhan (ayat (2)). Setiap anak berhak beristirahat, bergaul dengan anak yang sebayanya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan bakat, minat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya (Pasal 64). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari bnerbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Dengan penjelasan, berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produktif, peredaran dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan (Pasal 65). Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 66 ayat (1)). Hukum mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak (ayat 2). Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum (ayat 3). Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya boleh dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ayat 4). Setiap anak yang dirampas kebebasannya barhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan diri dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya (ayat 5). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum (ayat 7). Perlindungan anak juga telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Peraturan ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peranan yang strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bagsa dan negara di masa depan, anak jga kelak akan memikul tanggungjawab, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mensejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (angka 1). Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (angka 2). Pasal 2 menyatakan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Perhargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 menyatakan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk mejamin terpenuhinya hak-hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hak dan kewajiban anak juga diatur dalam Undang-Undang ini, diantaranya dalam Pasal 4 menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 6 menyatakan anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penemantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana di atas maka dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang terbuka untuk umum. d. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17). Kewajiban dan tanggungjawab baik untuk pemerintah, masyarakat maupun keluarga dan orangtua juga diatur dalam Undang-undang ini. Bahwa Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak (Pasal 20). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suatu agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental.(Pasal 21). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22). Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan., pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23). Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25). Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua adalah : 1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. 2. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. 3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilaksanakan baik dalam sektor agama, kesehatan, pendidikan, sosial yang juga diatur dalam undang-undang ini. Perlindungan khusus dalam Pasal 59 menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 66 menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi tersebut dapat dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual b. Pemantauan, pelaporan, pemberian sangsi dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Peran masyarakat adalah masyarakat dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. Peran masyarakat tersebut dilakukan oleh orang-perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa (Pasal 72). Pasal 77 mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami krugian, baik secara materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, anak korban perdagangan dan anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 78). Pasal 80 memberikan ketentuan yaitu bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (Tiga) tahun 6 (Enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah). B. Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan 1. Perkembangan Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Riwayat timbulnya hubungan perburuhan itu dimulai dari pahit yakni penindasan dan perlakuan di luar batas kemampuan secara sosial ekonomi maupun penguasa pada saat itu. Para budak pekerja tidak diberikan hak apapun, yang ia miliki hanyalah kewajiban untuk mentaati perintah dari majikan atau tuannya. Awal perkembangan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan dalam tatanan kenegaraan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada waktu itu perjuangan bangsa Indonesia lebih tertuju untuk mempertahankan kemerdekaan, sehingga produk-produk hukum sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 27 Ayat (2) tentang hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan belum dapat terealisasi. Ketentuan mengenai hukum perburuhan pada saat itu masih sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial yakni Burgjerlijk Wetboek (KUH Perdata). Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yakni segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru. Ketentuan tentang perburuhan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku II dari Pasal 1601-1617. Buku II Bab 7A bagian pertama mengenai Ketentuan Umum (Pasal 1601a-1601c), bagian kedua tentang persetujuan perburuhan umumnya (Pasal 1601d-1601x), bagian ketiga tentang kewajiban majikan (Pasal 1602a-1602z), bagian keempat tentang kewajiban buruh (Pasal 1603a-1603d), bagian kelima tentang tata cara berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan dari persetujuan (Pasal 1603e-1603w), dan bagian penutup (Pasal 1603x-1603z). Hukum perburuhan merupakan spesies dari genus umumnya, dalam kepustakaan hukum selama ini selalu menyebutkan dengan istilah hukum perburuhan. Hukum Perburuhan merupakan himpunan peraturan baik yang tertulis atau tidak tetulis yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perburuhan. Pengertian hukum perburuhan dikemukakan oleh beberapa ahli yang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Adapun pendapat ahli tersebut diantaranya adalah: 1. Menurut Mok : Hukum Perburuhan (Arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu. 2. Menurut Molenaar : Hukum Perburuhan (Arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dengan penguasa. 3. Menurut Mr. M.G. Levenbach : Hukum Perburuhan (Arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan penghidupan langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu. Iman Soepomo selanjutnya mengungkapkan bahwa Hukum Perburuhan (Ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Mengkaji pengertian Iman Soepomo tampak jelas bahwa hukum perburuhan dan ketenagakerjaan setidak-tidaknya mengandung unsur: a. Himpunan peraturan (baik tertulis atau tidak tertulis) b. Berkenaan dengan suatu peristiwa atau kejadian c. Seseorang bekerja pada orang lain d. Upah Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perburuhan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis. 2. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/majikan. 3. Adanya orang yang bekerja pada dan di bawah pimpinan orang lain, dengan mendapat upah sebagai balas jasa. 4. Mengatur perlindungan pekerja atau buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja atau buruh dan sebagainya. Kata “perburuhan”, yaitu kejadian atau kenyataan dimana seseorang biasanya disebut buruh, bekerja pada orang lain, biasanya disebut majikan, dengan menerima upah. Dengan mengenyampingkan permasalahan antara pekerjaan bebas dan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan orang lain, mengenyampingkan pula persoalan antara pekerjaan dan pekerja. Istilah “ketenagakerjaan” berasal dari tenaga kerja yang diberi awalan “ke’ dan akhiran “an”, yang diintrodusir oleh Undang-Undang nomor 14 tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Mengenai tenaga kerja. Mengenai istilah tenaga kerja itu sendiri, sebelumnya mempunyai pengertian yang luas dan berbeda dengan istilah-istilah lain yang hampir mirip dan dikenal dalam masyarakat. Sebagaimana kita ketahui ada beberapa istilah selain enaga kerja seperti pekerja, pegawai, karyawan dan buruh. Perkembangan hukum perburuhan dan ketengakerjaan mengalami perubahan yang menuju ke arah perbaikan yakni dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun masyarakat. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut menyempurnakan pengertian tenaga kerja dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mendasarkan pengertian tersebut tampak perbedaan yakni dalam hal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak lagi memuat kata-kata baik di dalam maupun di luar hubungan kerja dan adanya penambahan kata sendiri pada kalimat memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat. Pengurangan kata di dalam maupun di luar hubungan kerja pada pengertian tenaga kerja tersebut sangat beralasan karena dapat mengacaukan makna tenaga kerja itu sendiri seakan-akan ada yang di dalam dan ada pula yang di luar hubungan kerja serta tidak sesuai dengan konsep tenaga kerja dalam pengertian umum. Demikian halnya dengan penambahan kata sendiri pada kalimat ”memenuhi kebutuhan sendiri” dan masyarakat karena barang dan jasa yang dihasilkan oleh tenaga kerja tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk diri sendiri, dengan demikian sekaligus menghilangkan kesan bahwa selama ini tenaga kerja hanya bekerja untuk orang lain dan melupakan dirinya sendiri. Tenaga kerja menurut Lalu Husni dapat dibedakan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Kelompok yang digolongkan bukan angkatan kerja adalah: 1. Mereka yang dalam masa studi/belajar; 2. Golongan yang mengurus rumah tangga; 3. Golongan penerima pendapatan yakni mereka yang tidak melakukan aktivitas ekonomi tapi memperoleh pendapatan misalnya pensiunan. Angkatan kerja terdiri dari kelompok yang bekerja dan yang masih mencari pekerjaan (penganggur). Kelompok yang bekerja dibedakan menjadi yang bekerja penuh dan setengah menganggur. Kelompok setengah menganggur mempunyai beberapa ciri yakni pendapatan di bawah ketentuan upah minimum, kemampuan produktivitas di bawah standard/rendah, jenis pendidikan tidak sesuai dengan pekerjaan yang ditekuni, dan lain-lain. Memperhatikan uraian diatas jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Maka istilah pekerja/buruh yang sekarang disandingkan muncul karena dalam Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat buruh/pekerja yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah menghendaki agar istilah buruh diganti dengan istilah pekerja karena istilah buruh selain berkonotasi kasar juga menggambarkan kelompok yang selalu berlawanan dengan pihak majikan. Itu sebabnya pada era Orde Baru istilah serikat buruh diganti dengan Serikat pekerja. Tapi Serikat Pekerja pada masa itu sangat sentralistik sehingga mengekang kebebasan buruh untuk membentuk organisasi pekerja yang lain yang tidak respon pada tuntutan buruh. Itulah sebabnya ketika RUU Serikat Buruh/Pekerja dibahas terjadi perdebatan yang panjang mengenai istilah ini, dari pemerintah menghendaki istilah Pekerja sementara dari kalangan buruh/pekerja menghendaki istilah Buruh karena trauma masa lalu dengan istilah serikat pekerja yang selalu diatur berdasarkan kehendak pemerintah. Akhirnya ditempuh jalan tengah dengan mensejajarkan kedua istilah tersebut. Secara umum Hukum Perburuhan merupakan sekumpulan peraturan baik yang tertulis dan yang tidak tertulis yang bertujuan : 1. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketengakerjaan. 2. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang berlebihan dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau menciptakan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenag-wenang terhadap pihak tenaga kerja. Sifat dari hukum perburuhan dan ketenagakerjaan sangat bergantung dari kebijakan pemerintah, adapun tujuan campur tangan tersebut adalah untuk mewujudkan perburuhan yang adil karena peraturan perundang-undangan perburuhan harus memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai manusia yang utuh. Intervensi pemerintah melalui peraturan perundang-undangan tersebut telah membawa perubahan yang mendasar yakni menjadikan sifat hukum perburuhan dan ketenagakerjaan menjadi ganda yakni sifat privat dan publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan. Sedangkan sifat publik dari hukum perburuhan dan ketenagakerjaan dapat dilihat dari : Adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang perburuhan dan ketenagakerjaa, ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum). Pada perkembangan saat ini kondisinya telah berubah dengan intervensi pemerintah yang sangat dalam di bidang perburuhan dan ketenagakerjaan, sehingga kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah sedemikian luasnya. Tidak hanya aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi sebelum dan sesudah hubungan kerja. Konsep ini secara jelas diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan tersebut maka dapat dirumuskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan hukum antar buruh dan majikan dalam hubungan kerja saja. Operasional hukum ketenagakerjaan secara sistematik dan pengelompokan peraturan perundang-undangan terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu mengatur masa sebelum bekerja (Pre–Employment), masa selama kerja (During Employment) dan masa sesudah bekerja (Post Employment). 2. Sumber-Sumber Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum. Sumber hukum itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sedangkan sumber hukum yang dimaksud dalam hukum perburuhan dan ketenagakerjaan adalah sumber hukum dalam arti formil. Adapun sumber-sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan, yaitu 1. Undang-Undang ; 2. Peraturan lainnya yang kedudukannya lebih rendah dari Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, ataupun keputusan instansi lainnya ; 3. Kebiasaan ; 4. Putusan ; 5. Perjanjian ; 6. Traktat. Disamping pendapat di atas sumber hukum ketenagakerjaan menurut Shamad terdiri atas : 1. Peraturan perundangan (undang-undang dalam arti materiil dan formil); 2. Adat dan kebiasaan ; 3. Keputusan pejabat atau Badan Pemerintah ; 4. Peraturan Kerja (yang dimaksud adalah Peraturan Perusahaan) ; dan 5. Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Menurut pendapat Abdul Khakim jika ada penambahan “agama” termasuk sebagai sumber hukum ketenagakerjaan, mengungat terdapatnya kemungkinan adanya pemecahan masalah ketenagakerjaan melalui pendekatan ajaran agama yang dianutnya. Sedangkan sumber hukum ketenagakerjaan menurut beliau adalah: 1. Undang-Undang ; 2. Adat atau Kebiasaan ; 3. Keputusan pejabat/badan pemerintahan atau lembaga ketenagakerjaan; 4. Yurisprudensi ; 5. Doktrin ; 6. Traktat ; 7. Perjanjian Kerja ; 8. Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 3. Para Pihak Dalam Perjanjian Perburuhan a. Buruh/pekerja Istilah buruh sejak dulu sudah sangat popular, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dalam Pasal 1 ayat (1) a memberikan pengertian buruh adalah barangsiapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Penyebutan istilah buruh pada masa lalu lebih cenderung kurang manusiawi sebagai pihak yang ditekan oleh majikan dan bekerja pada sektor-sektor non formal saja atau pekerja kasar. Sedangkan penyebutan istilah buruh pada masa kini disandingkan dengan istilah pekerja dan tidak hanya bekerja pada sektor non formal tapi juga pada sektor formal. Hal ini dimaksudkan agar selaras dengan Undang-Undang yang lahir sebelum Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, yakni Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh/pekerja. Pernyataan di atas dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 dan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang memberikan pengertian buruh/pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk alain. Dengan pengertian tersebut buruh/pekerja dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, pesekutuan, badan hukum atau badan lainnya. Sedangkan penegasan upah atau imbalan dalam bentuk lain perlu karena upah selalu diidentikan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan delam bentuk barang. Untuk kepentingan santunan jaminan kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja pengertian pekerja diperluas yakni termasuk : a. Magang dan murid bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak b. Mereka memborong pekerjaan kecuali jika memborong adalah perusahaan c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan. Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Istilah pekerja/buruh sering disandingkan muncul karena dalam Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat pekerja/buruh yang menyandingkan kedua istilah tersebut. Munculnya istilah buruh/pekerja yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah menghendaki agar istilah buruh diganti dangan istilah pekerja karena istilah buruh selain berkonotasi kasar juga mengambarkan kelompok yang selalu berlawanan dengan pihak majikan. b. Pengusaha/pemberi kerja Seperti halnya istilah buruh, pengusaha pada masa dulunya disebut dengan istilah majikan sangat popular. Perihal pengertian majikan dan pengusaha sangat membingungkan sebagian masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1957 Majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Istilah majikan saat ini sudah tidak sesuai lagi karena berkonotasi sebagai pihak yang menekan buruh sebagai mitra lawan dari buruh, padahal secara yuridis buruh dan majikan adalah mitra kerja karena mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu lebih tepat jika disebut dangan istilah pengusaha. Selain pengertian Pengusaha, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian istilah Pemberi Kerja yakni perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan pengusaha khususnya bagi pekerja sektor informal. c. Organisasi pekerja/buruh Kehadiran organisasi pekerja merupakan salah satu implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No.21 Tahun 2000 bahwa Serikat Buruh/Serikat Pekerja ialah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja memuat prinsip-prinsip dasar yakni : a. Jaminan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh b. Serikat pekerja/buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, dan pihak manapun c. Serikat pekerja/buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha , jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh d. Basis utama serikat pekerja/buruh ada di tingkat perusahaan, serikat pekerja/buruh yang ada dapat menggabungkan diri dalam Federasi serikat pekerja/buruh. Demikian halnya federasi serikat pekerja/buruh dapat menggabungkan diri dalam konfederasi. e. Serikat pekerja/buruh, federasi, dan konfederasi yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada kantor Depnaker setempat , untuk dicatat. f. Siapapun dilarang untuk menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh. d. Organisasi pengusaha 1) Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kamar Dagang dan Industri (KADIN) merupakan organisasi yang menangani bidang ekonomi secara umum, yaitu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa. Adapun tujuan KADIN adalah : 1. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta dalam kedudukan sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ; 2. Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan secara efektif dalam pembangunan nasional. 2) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) merupakan organisasi pengusaha yang khusus bergerak pada sumber daya manusia (SDM) dan hubungan industrial. Jadi kedudukan organisasi APINDO adalah independen, seperti halnya organisasi serikat pekerja/buruh. Tujuan APINDO menurut Pasal 7 Anggaran Dasar adalah : 1) Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya di dalam bidang social ekonomi ; 2) Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan, dan kegairahan kerja lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan; 3) Mengusahakan peningkatan produktifitas kerja sebagai program peran serta aktif untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial, spiritual, materiil ; 4) Menciptakan adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan kebijaksanaan/ketenagakerjaan dari pengusha yang disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah. Disamping APINDO pada saat ini masih terdapat beberapa asosiasi pengusaha sektoral yang dalam kegiatan organisasinya lebih berkonsentrasi pada bidang usaha masing-masing sesuai sektornya dan bukan mengurusi SDM dan hubungan industrial. Organisasi pengusaha sektoral tersebut antara lain: GAPENSI, HIPPERINDO, APKINDO, dan lain-lainnya. e. Pemerintah/penguasa Peranan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan lebih dimaksudkan untuk menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena apabila hubungan pengusaha dan pekerja yang secara social ekonomi berbeda jika diserahkan kepada para pihak maka tujuan untuk menciptakan keadilan di dalamnya akan terasa sulit tercapai. Hal ini dikarenakan secara hakikat pihak yang kuat selalu ingin menguasai yang lemah. Intervensi pemerintah biasanya diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan untuk lebih memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak. Iman Soepomo memisahkan antara penguasa dan pengawasan sebagai para pihak yang berdiri sendiri dalam hukum ketenagakerrjaan, padahal hal ini kurang tepat karena antara keduanya merupakan satu kesatuan sebab pengawasan bukan merupakan institusi yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian (bidang) Depnaker. Mengenai peran pegawai pengawas sebagai penyidik PNS diakui oleh UU No.13 Tahun 2003 Pasal 182 ayat (1), yakni selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum (law enforcement) di bidang ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan hak-hak normatif pekerja, yang pada akhirnya akan mempunyai dampak terhadap stabilitas dunia usaha. Selain itu juga pengawasan ketenagakerjaan akan mendidik pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan peraturan yang berlaku dibidang ketenagakerjaan sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis. Pelaksanaan hak-hak normatif pekerja di Indonesia saat ini yang masih jauh dari harapan atau dengan kata lain terjadi kesenjangan yang jauh antara ketentuan normatif (law in book) dengan kenyataan di lapangan (law in action) salah satu penyebabnya adalah belum optimalnya pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan baik secara kuantitas maupun lualitas dari aparat pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan. Secara kuantitas aparat pengawas perburuhan sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi, belum lagi pegawai pebgawas tersebut harus melaksanakan tugas-tugas administratif yang dibebankan kepadanya. Demikian juga kualitas dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik yang masih terbatas. Karena itu untuk ke depan aparat pengawas selain harus di tingkatkan kualitasnya, hendaknya juga tidak diberikan tugas-tugas administratif, tetapi jika dijadikan jabatan fungsional sehingga dapat melaksanakan tugas secara professional. 5. Perjanjian kerja dan hubungan kerja Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut : Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh) mengikatkan dirinya untuk di perintah pihak yang lain (si majikan) untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah ”di bawah perintah pihak lain”, di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri. Iman Soepomo berpendapat bahwa Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua (majikan), dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja umumnya terdiri dari 2 (dua) bentuk yaitu dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Sebagaimana pada umumnya, syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata harus memenuhi 4 syarat antara lain: Adanya kesepakatan, kecakapan bertindak, hal tertentu dan causa yang halal. Akan tetapi perjanjian kerja dalam hukum perburuhan sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja baik dibuat secara tertulis maupun secara lisan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang disebutkan bahwa: Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. Kesepakatan kedua belah pihak; b. Kemampuan/kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum; c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. Pekerjaan yang diperjanjiakan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.. C. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum (rechtbetrekking) adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). Menurut Iman Soepomo dalam Asikin perlindungan pekerja dibagi menjadi tiga macam: 1. Perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. 2. Perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3. Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Dalam prakteknya ketiga jenis perlindungan kerja itu harus dapat dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan lain terhadap pekerja dapat meliputi : 1. Norma keselamatan kerja, meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaan, keadaan tempat kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan. 2. Norma kesehatan kerja dan higiene kesehatan perusahaan yang meliputi pemeliharaan dan peningkatan keselamatan pekerja, penyediaan perawatan medis bagi pekerja, dan penetapan standar kesehatan kerja. 3. Norma kerja berupa perlindungan hak pekerja secara umum baik sistem pengupahan, cuti, kesusilaan, dan religius dalam rangka memelihara kinerja pekerja. 4. Norma kecelakaan kerja berupa pemberian ganti rugi perawatan atau rehabilitasi akibat kecelakaan kerja dan/atau menderita penyakit akibat pekerjaan dalam hal ini ahli waris berhak untuk menerima ganti rugi. Perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan negara hukum karena di dalam suatu negara hukum, kekuasaan dan warga negara dibatasi oleh dan juga berdasarkan atas hukum, jadi bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata, sedangkan maksud dan tujuan pembatasan kekuasaan oleh hukum ini agar kepemimpinan rakyat atau hak-hak asasi manusia dapat terjamin terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Setiap pengusaha diwajibkan untuk mentaati segala peraturan atau ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya memberikan perlindungan terhadap pekerja. Perlindungan ini diberikan agar pekerja dapat bekerja secara optimal dengan rasa aman dan tenang sehingga dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan. Perlindungan terhadap pekerja bisa pengusaha wujudkan dengan mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Jamsostek diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992. Pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa jamsostek adalah suatu perlindungan bagi pekerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa Jamsostek merupakan bentuk perlindungan ekonomis dan sosial. Dikatakan demikian, karena program ini memberikan perlindungan dalam bentuk santunan berupa uang atas berkurangnya penghasilan dan perlindungan dalam bentuk pelayanan perawatan/pengobatan pada saat seorang pekerja tertimpa resiko-resiko tertentu. Ketentuan bagi perusahaan yang wajib melaksanakan program jaminan sosial tenaga kerja adalah perusahaan tersebut minimal mempekerjakan 10 (sepuluh) orang tenaga kerja dan membayar upah minimal Rp.1.000.000,- sebulan (Pasal 2 ayat (3) peraturan pemerintah nomor 14 tahun 1993). Besarnya iuran masing-masing program Jamsostek diatur dalam PP No.14 tahun 1993. Adapun program-program jamsostek antara lain : a. Jaminan kecelakaan kerja (JKK) berkisar antara 0,24%--1,74% dari upah sebulan yang ditanggung pengusaha.. b. Jaminan hari tua (JHT) berkisar 5,70% dari upah sebulan, ditanggung oleh pengusaha 3,70% dan pekerja 2%. c. Jaminan Kematian (JK) berkisar 0,30% dari upah pekerja selama sebulan yang ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. d. Jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah pekerja sebulan bagi pekerja yang sudah berkeluarga, dan 3% sebulan bagi pekerja yang belum berkeluarga. D. Perselisihan Hubungan Industrial 1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial Membahas perselisihan identik dengan membahas konflik atau sengketa sosiologis perselisihan dapat terjadi dimana-mana baik dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat umum. Secara psikologis perselisihan merupakan penggantian istilah dari Perselisihan perburuhan yang dikenal dalam UU Nomor 22 Tahun 1957, menurut Pasal 1 ayat (1) huruf c perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Selanjutnya berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-15 A/MEN/1994 diganti dari istilah perselisihan perburuhan menjadi perselisihan industrial. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor 13 Tahun 2003, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 (satu) perusahaan. Dari perumusan di atas maka perselisihan hubungan industrial dapat lahir karena adanya perbedaan pendapat yang mengarah kepada pertentangan antara pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pihak pengusaha atau gabungan pengusaha. Perselisihan dalam hubungan industrial juga dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat menjadi penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial, hal ini disebabkan karena hubungan natara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. 2. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan kesepakatan Hukum Ketenagakerjaan perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu : 1. Perselisihan hak (rechtgeschillen) ialah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan atau ketentuan perundangan ketenagakerjaan. 2. Perselisihan kepentingan (belangengeschillen), yaitu perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syarat-syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Widodo dan Judiantoro mengungkapkan berdasarkan sifatnya, perselisihan dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : 1. Perselisihan perburuhan kolektif, yakni perselisihan yang terjadi antara pengusaha/majikan dengan serikat pekerja/serikat buruh karena tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. 2. Perselisihan perburuhan perorangan yaitu perselisihan antara pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha/majikan. Jenis perselisihan yang lain adalah perselisihan Pemutusan Hubungan kerja (PHK) yang bagi pekerja/buruh merupakan awal hilangnya mata pencaharian yang selanjutnya akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Menurut UU No.13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 25 Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha UU No.13 Tahun 2003 mensyaratkan PHK setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan, lembaga ini sebagai pengganti dari P4D/P4P. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (PPHI) yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004 dan diberlakukan 1 (satu) tahun setelah diundangkan. Pasal 2 menyebutkan bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi : 1. Perselisihan hak ; 2. Perselisihan kepentingan ; 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja ; dan 4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Fungsi para pelaku dalam hubungan industrial adalah sebagai berikut : 1. Fungsi pemerintah: Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. 2. Fungsi pekerja/buruh: Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterlampilan dan keahliannya, memajukan perusahaan, memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. 3. Fungsi pengusaha/pemberi kerja: Menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana : a. Serikat pekerja/buruh, b. Organisasi pengusaha, c. Lembaga kerjasama bipatrit, d. Lembaga kerjasama tripatrit, e. Peraturan perusahaan, f. Perjanjian kerja bersama, g. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, h. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian hubungan industrial juga diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 11 Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau mediator netral. Pasal 1 angka 13 Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Dalam Pasal 1 angka 15 Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Memperhatikan uraian diatas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ada hal yang baru yaitu pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial, menurut Pasal 55 disebutkan bahwa pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Secara prinsipnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah : 1. Wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat (Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). 2. Bila upaya musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan melalui prosedur yang diatur oleh perundang-undangan (Pasal 136 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). E. Pekerja Anak 1. Pengertian Anak dan Pekerja Anak Menurut KUH Perdata bahwa orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Jka ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973) pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Pekerja anak merupakan istilah yang lebih santun dari buruh anak. Namun sapaan yang lebih santun ini ternyata tidak mengurangi beban masalah yang dihadapi mereka, anak-anak yang terpaksa bekerja. Kondisi pekerja anak ini pun semakin terpuruk, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang menerpa negeri ini pada tahun 1997. Siapa yang disebut dengan pekerja anak masih menjadi perdebatan. Haryadi dan Tjandraningsih (1995) mengutip definisi pekerja anak dari Departemen tenaga Kerja dan Biro Pusat Statistik. Departemen Tenaga Kerja (sekarang menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) menggunakan istilah ”anak-anak yang terpaksa bekerja” sebagai pengganti istilah buruh anak. Sementara Biro Pusat statistik (sekarang badan Pusat statistik) memakai istilah ”anak-anak yang aktif secara ekonomi”. Sedangkan ILO/IPEC (Organisasi Buruh Internasional/Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak) menyebutkan bahwa anak adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual, dan moral. Sementara itu, menurut Soetarso (1996) mengungkapkan pengertian pekerja anak yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa pekerja anak adalah : 1. Anak yang dipaksa atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau untuk keluarganya di sektor ketenagakerjaan formal yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga anak terhenti sekolahnya dan mengalami permasalahan fisik, mental, maupun sosial. Dalam profesi pekerjaan sosial, anak ini disebut mengalami perlakuan salah (abuse), dieksploitasi (exploited), dan di telantarkan (neglected). 2. Anak yang dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau keluarganya di sektor ketenagakerjaan informal, di jalanan atau di tempat-tempat lain, baik yang melanggar peraturan peraturan perundang-undangan (khususnya di bidang ketertiban), atau yang tidak, baik yang masih sekolah maupun yang tidak lagi bersekolah. Anak ini ada yang mengalami perlakuan salah dan/atau dieksploitasi, ada pula yang tidak. Lebih lanjut, Soetarso (1996) menegaskan bahwa tidak dikategorikan sebagai pekerja anak adalah anak yang dibimbing oleh orang tua atau sanak keluarganya atau atas kesadaran sendiri membantu pekerjaan orang tua atau orang lain yang tidak diarahkan untuk mencari atau membantu mencari nafkah, tetapi untuk menanamkan atau memperoleh pengetahuan, keterlampilan, dan/atau sikap kewirausahaan sejak dini, anak tersebut masih bersekolah dan kegiatan tersebut tidak mengganggu prosos belajar di sekolahnya. 2. Perkembangan Pekerja Anak Permasalahan anak dianggap sesuatu yang penting hingga membutuhkan perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh, tetapi di sisi lain, dalam realitasnya permasalahan anak, tindakan kekerasan dan penelantaraan anak masih belum dapat tertangani dengan baik. Masih terjadi kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein) yang dihadapi oleh anak Indonesia. Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya (Pasal 1 Convention On The Rights Of The Child). Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang buruk di Indonesia, tetapi keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh pemerintah Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak zaman pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur sosial pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih menitik beratkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda tersebut antara lain : a. Staatsblad Nomor 647 tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur 12 tahun untuk melakukan pekerjaan : a. Di pabrik pada ruangan tertutup dimana biasanya dipergunakan tenaga mesin ; b. Di tempat ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama ; c. Pembuatan, pemeliharaan, perbaikan, dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan, dan bangunan serta jalan-jalan ; d. Pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan golongan kapal maupun di stasiun tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, ditempat penyimpanan dan gudang-gudang kecuali jika membawa dengan tangan. e. Larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan. b. Staatsblad Nomor 87 (Ordonansi tahun 1926), melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja dibawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derjat ketiga. c. Staatsblad Nomor 341 (Regeringsverordering tahun 1930), melarang anak usia di bawah enam belas tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan diterbitkannya Ordonansi Nomor 9 tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya undang-Undang Nomor 12 tahun 1948, yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 tahun ke bawah melaukukan pekerjaan. Ketentuan dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja yang melarang dengan tegas anak untuk menjalankan pekerjaan apa pun dan di tempat mana pun; kecuali yang tidak dalam rangka hubungan kerja. Penjelasan Pasal ini menerangkan, bahwa badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan. Anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Kerja ini adalah anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah. Dengan demikian maka anak-anak yang berusia 14 tahun kebawah tentunya harus sedang giat-giatnya belajar, bukan bekerja. Tugas para orang tuanya yang harus bekerja mencari nafkah dan biaya demi kelancaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya diantaranya adalah Undang-Undang nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Pada tahun 1987, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan peraturan menteri tnomor PER-01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpaksa bekerja yang menyatakan anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur di bawah 14 tahun karena alasan sosial ekonomi terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan baik untuk keluarga maupun memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak yang terpaksa bekerja boleh dipekerjakan kecuali sebagai berikut : 1. Di dalam tambang, lobang di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah; 2. Pekerjaan di kapal sebagai tukang api, atau tukang batu bara; 3. Pekerjaan di atas kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau sampai keuarga derajat ketiga; 4. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat; 5. Pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi dan bahan-bahan berbahaya. Setelah itu, pada tahun 1994 pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan wajib belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang pelaksanaan wajib belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh Pendidikan Dasar. Dengan kebijakan wajib belajar belajar Pendidikan dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi jumlah pekerja anak. Bahkan telah disahkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlinduingan Anak, dalam Pasal 48 Undang-Undang tersebut mengharuskan pemerintah untuk wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini anak-anak semakin terlantar dan menjamur serta tersebar pada perempatan jalan, tempat-tempat umum, terminal untuk menjadi pengemis, pengamen, pengedar koran, penjaja makanan bahkan sampai menjadi pengedar narkoba, tetapi pemerintah belum melakukan tindakan dan langkah-langkah untuk memberi perlindungan terhadap anak yang dalam keadaan terburuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang baik sebagai Hukum nasional maupun Hukum Internasional. Sejalan dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 182 tentang usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja, pemerintah menyusun rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional. Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2001. Rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan program aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) adalah : a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambatan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pergerakan anak secara paksa atau wajib untuk di manfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk : a. Anak-anak yang dilacurkan; b. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; d. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; e. Anak-anak yang bekerja di jermal; f. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; g. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; h. Anak yang bekerja di jalan; i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga; k. Anak yang bekerja di perkebunan; l. Anak yang bekerja pada penerbangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu; m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. 3. Pengaturan Pekerja Anak Pemerintah bersama legislatif telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 1 Angka 26 memberikan pengertian bahwa anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun.. Batasan ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (saat ini sudah tidak berlaku lagi) yang memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. Batas umur bekerja ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, menyebutkan usia minimum tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun. Dengan demikian mengenai batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18 tahun. Secara khusus pengaturan mengenai batasan umur pekerja anak diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan ketentuan larangan bagi siapapun untuk mempekerjakan atau melibatkan anak-anak dalam bentuk pekerjaan terburuk. Namun mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dianggap “pekerjaan terburuk” tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam suatu Undang-Undang melainkan ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (KEPMEN) Nomor 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 74 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003, yang dalam Pasal 3 menetapkan usia 15 (lima belas) tahun atau lebih sebagai usia kerja anak, dan melarang anak usia dibawah 18 (delapan belas) tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka Perlindungan Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 angka 1 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 64 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental sosialnya. Jadi pada dasarnya anak dibolehkan untuk bekerja karena dengan bekerja dapat melatih kemampuannya baik secara fisik, mental, maupun intelektualitasnya terkait dalam proses pengembangan diri menuju tahap kedewasaan. Namun hal tersebut perlu diberikan pembatasan bagi segala jenis pekerjaan yang boleh dilakukan oleh pekerja anak. Artinya ada pengaturan dan persyaratan bagi pemberi kerja atau pengusaha yang mempekerjakan pekerja anak. Pengaturan terhadap tenaga kerja anak diatur dalam Pasal 68-75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun (ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : a. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintsh berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Masalah Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legifis positifis. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, konsep-konsep legitifis positifis adalah konsep yang memandang hukum sebagai norma yang tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang, konsep ini memandang hukum sebagai sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat secara nyata. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif. B. Lokasi Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka lokasi bertempat di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman, serta media internet. C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang akan diteliti juga dengan keyakinan-keyakinan tertentu, mengambil kesimpulan dari bahan-bahan tentang obyek-obyek masalah yang akan diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu. D. Sumber Data Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan data sekunder saja mengingat pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yang digunakan untuk membangun penelitian ini dan untuk mendapatkan hasil yang obyektif dari penelitian ini. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari: a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, b. Peraturan perundang-undangan, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 Tentang Usia Minimum Diperbolehkan Untuk Bekerja 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Tentang Perlindungan Anak 5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafiking) 7) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak 8) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak 9) Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak 10) Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak 11) Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak 12) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/Men/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak 13) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 115/Men/VII/2004 Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari: a. Pustaka di bidang ilmu hukum, b. Hasil penelitian di bidang hukum, c. Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet. 3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu : Kamus hukum E. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan data sekunder belaka, dan metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data ialah dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar. F. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Analisa Data Data bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis atau pembahasan yang dilakukan dengan cara menjabarkan dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang diperoleh dengan mendasarkan pada norma-norma yang berlaku atau pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku dihubungkan dengan pokok permasalahan. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengertian Anak dan Pekerja Anak Kamus Websters, Princeton mengartikan bahwa Youth yang diterjemahkan sebagai pemuda, adalah The time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person. Dari definisi ini, maka dapat diinterpretasikan pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil, pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Pasal 1 konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menyatakan bahwa anak-anak adalah mereka yang berumur sampai 18 tahun, namun setiap negara dapat menyesuaikan batasan umur tersebut, karena ketentuan tersebut pada pokoknya untuk melindungi hak-hak anak. Menurut KUH Perdata bahwa orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Jka ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973) pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Pekerja anak merupakan istilah yang lebih santun dari buruh anak. Namun sapaan yang lebih santun ini ternyata tidak mengurangi beban masalah yang dihadapi mereka, anak-anak yang terpaksa bekerja. Kondisi pekerja anak ini pun semakin terpuruk, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang menerpa negeri ini pada tahun 1997. Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Siapa yang disebut dengan pekerja anak masih menjadi perdebatan. Haryadi dan Tjandraningsih (1995) mengutip definisi pekerja anak dari Departemen tenaga Kerja dan Biro Pusat Statistik. Departemen Tenaga Kerja (sekarang menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) menggunakan istilah ”anak-anak yang terpaksa bekerja” sebagai pengganti istilah buruh anak. Sementara Biro Pusat statistik (sekarang badan Pusat statistik) memakai istilah ”anak-anak yang aktif secara ekonomi”. Sedangkan ILO/IPEC (Organisasi Buruh Internasional/Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak) menyebutkan bahwa anak adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual, dan moral. Sementara itu, menurut Soetarso (1996) mengungkapkan pengertian pekerja anak yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa pekerja anak adalah : 1. Anak yang dipaksa atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau untuk keluarganya di sektor ketenagakerjaan formal yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga anak terhenti sekolahnya dan mengalami permasalahan fisik, mental, maupun sosial. Dalam profesi pekerjaan sosial, anak ini disebut mengalami perlakuan salah (abuse), dieksploitasi (exploited), dan ditelantarkan (neglected). 2. Anak yang dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau keluarganya di sektor ketenagakerjaan informal, di jalanan atau di tempat-tempat lain, baik yang melanggar peraturan peraturan perundang-undangan (khususnya di bidang ketertiban), atau yang tidak, baik yang masih sekolah maupun yang tidak lagi bersekolah. Anak ini ada yang mengalami perlakuan salah dan/atau dieksploitasi, ada pula yang tidak. Lebih lanjut, Soetarso (1996) menegaskan bahwa tidak dikategorikan sebagai pekerja anak adalah anak yang dibimbing oleh orang tua atau sanak keluarganya atau atas kesadaran sendiri membantu pekerjaan orang tua atau orang lain yang tidak diarahkan untuk mencari atau membantu mencari nafkah, tetapi untuk menanamkan atau memperoleh pengetahuan, keterlampilan, dan/atau sikap kewirausahaan sejak dini, anak tersebut masih bersekolah dan kegiatan tersebut tidak mengganggu proses belajar di sekolahnya. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang penanggulangan pekerja anak menegaskan bahwa yang disebut sebagai pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tentang Ketenagakerjaan hanya menyebutkan pengertian anak dalam Pasal 1 Angka 26 bahwa anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, menyebutkan usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18 tahun. Dalam Pasal 69 Undang-Undang ini memberikan pengecualian bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental maupun sosial. Pengertian tersebut secara tidak langsung menegaskan bahwa pekerja anak adalah anak yang beumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun. 2. Sejarah Pengaturan Pekerja Anak Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang buruk di Indonesia, tetapi keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh pemerintah Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak zaman pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur sosial pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih menitik beratkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pada waktu pemerintahan Belanda antara lain : 1. Staatsblad Nomor 647 tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur 12 tahun untuk melakukan pekerjaan : a. Di pabrik pada ruangan tertutup dimana biasanya dipergunakan tenaga mesin ; b. Di tempat ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama ; c. Pembuatan, pemeliharaan, perbaikan, dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan, dan bangunan serta jalan-jalan ; d. Pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan golongan kapal maupun di stasiun tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, ditempat penyimpanan dan gudang-gudang kecuali jika membawa dengan tangan. e. Larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan. d. Staatsblad Nomor 87 (Ordonansi tahun 1926), melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja dibawah pengawasa ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga. e. Staatsblad Nomor 341 (Regeringsverordering tahun 1930), melarang anak usia di bawah enam belas tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan diterbitkannya Ordonansi Nomor 9 tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948, yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 tahun ke bawah melakukan pekerjaan. Ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja yang melarang dengan tegas anak untuk menjalankan pekerjaan apa pun dan di tempat mana pun, kecuali yang tidak dalam rangka hubungan kerja. Penjelasan Pasal ini menerangkan, bahwa badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan. Anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Kerja ini adalah anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah. Dengan demikian maka anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah tentunya harus sedang giat-giatnya belajar, bukan bekerja. Tugas para orang tuanya yang harus bekerja mencari nafkah dan biaya demi kelancaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dalam Pasal 1 menyatakan bahwa yang disebut dengan kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah suatu usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Anak menurut Undang-Undang ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pada tahun 1987, menteri tanaga kerja mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor PER-01/MEN/1987 tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Terpaksa Bekerja yang menyatakan anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur di bawah 14 tahun karena alasan sosial ekonomi terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan baik untuk keluarga maupun memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak yang terpaksa bekerja boleh dipekerjakan kecuali sebagai berikut : 1. Di dalam tambang, lobang di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah; 2. Pekerjaan di kapal sebagai tukang api, atau tukang batu bara; 3. Pekerjaan di atas kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau sampai keluarga derajat ketiga; 4. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat; 5. Pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi dan bahan-bahan berbahaya. Pada tanggal 20 November 1989 disahkannya Konvensi Tentang Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB mengakui akan konvensi tersebut dan wajib menuangkan ketentuan yang ada dalam konvensi ke dalam peraturan nasional. Pemerintah Indonesia menuangkannya dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini mengakui bahwa anak untuk perkembangan keperibadiannya sepenuhnya yang penuh dan serasi, harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian. Mempertimbangkan bahwa anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas. Mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam deklarasi mengenai hak-hak anak, anak karena ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum maupun juga sesudah kelahirannya. Konvensi ini menyatakan dalam Pasal 1 bahwa anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Pasal 2 menegaskan bahwa negara-negara pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. Kemudian pada tahun 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh Pendidikan Dasar. Dengan kebijakan wajib belajar pendidikan dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi jumlah pekerja anak. Pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Hal ini karena Indonesia sebagai anggota PBB dan organisasi ketenagakerjaan internasional atau international labour organization (ILO) menghargai, menjunjung tinggi dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan lembaga internasional dimaksud. Berbicara mengenai ILO, bahwa organisasi ini merupakan organisasi perburuhan internasional yang merupakan organisasi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan pada tanggal 11 April 1919, bersamaan dengan dibuatnya perjanjian perdamaian yang disebut dengan ”Perjanjian Versailles”. Kantor ILO berpusat di Geneva, Swiss. Pada tahun 1946 setelah perang dunia II berakhir, ILO berubah menjadi salah satu badan khusus perserikatan bangsa-bangsa, yakni menjadi bagian dari dewan ekonomi dan sosial (economic and social council), yang diakui secara internasional sebagai salah satu organisasi yang bergerak di bidang sosial dan perburuhan. Prinsip dan tujuan berdirinya ILO adalah bahwa ILO berdiri atas prinsip filosofi bahwa perdamaian menyeluruh dan abadi hanya dapat dicapai bila didasarkan pada keadilan sosial. Unsur penting dalam keadilan sosial antara lain penghargaan atas hak asasi manusia, standar hidup yang layak, kondisi kerja yang manusiawi, kesempatan kerja dan keamanan ekonomi. Tujuan berdirinya ILO adalah untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat, khususnya kaum pekerja/buruh. Hal ini sesuai dengan mukadimah konstitusi international labour organiszation (ILO) yang menyebutkan bahwa : a. Pekerja/buruh bukan barang dagangan; b. Kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat; c. Semua manusia berhak mengenyam kehidupan yang layak, baik spiritual maupun material dalam suasana kebebasan. d. Wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah memiliki standar yang sama untuk mengambil keputusan dalam meningkatkan kemakmuran. Adapun fungsi ILO disamping sebagai pembuat standar perburuhan internasional, juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Sasaran kegiatan ILO diarahkan untuk terciptanya keadilan dan hak asasi manusia pekerja/buruh, perbaikan kondisi kehidupan dan pekerjaan serta peningkatan kesempatan kerja. Untuk itu tugas utama ILO adalah : 1. Terciptanya perlindungan hak-hak pekerja/buruh; 2. Memperluas lapangan pekerjaan; 3. Meningkatkan taraf kehidupan para pekerja/buruh. Adapun manfaat menjadi anggota ILO adalah : a. Meningkatkan wawasan di bidang ketenagakerjaan b. Memperluas akses kerja sama bilateral sesama anggota ILO c. Mendapat bantuan kerjasama teknis d. Memperoleh pedoman standar ketenagakerjaan internasional e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Telah disebutkan diatas bahwa fungsi ILO adalah merumuskan standar perburuhan/ketenagakerjaan internasional. Standar tersebut berupa konvensi dan rekomendasi yang menetapkan standar minimum. Konvensi ILO adalah perjanjian internasional yang dibuat untuk diratifikasi oleh negara-negara anggota untuk menjadi hukum positif. Jadi makna ratifikasi disini adalah menjadikan hukum internasional sebagai hukum nasional, sehingga setiap negara yang sudah meratifikasi suatu konvensi harus mempersiapkan perangkat hukum sesuai dengan ketentuan konvensi. Sedangkan rekomendasi ILO adalah instrumen ketenagakerjaan yang bersifat tidak mengikat, yang menetapkan pedoman sebagai informasi kebijakan nasional. Biasanya membahas subjek yang sama dengan konvensi, rekomendasi ini tidak untuk diratifikasi. Indonesia telah meratifikasi 15 (lima belas) buah konvensi, 8 (delapan) buah diantaranya menyangkut hak asasi manusia (HAM). Kelima belas konvensi termasuk konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 dan konvensi Nomor 182 tahun 1999 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.yang diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2000. Dalam konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang disetujui pada konfrensi ketenagakerjaan internasional kelima puluh delapan tanggal 26 juni tahun 1973 di Jenewa merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah merativikasi untuk menetapkan batas usia minimum untuk diperbolehkannya bekerja seorang anak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) konvensi, Indonesia melampirkan pernyataan (declaration) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah republik Indonesia adalah usia 15 (lima belas) tahun. Adapun alasan Indonesia mengesahkan konvensi ini bahwa Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu Indonesia bertekad melindungi hak dasar anak sesuai dengan konvensi ini, maka dalam hal ini Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak. Hal ini juga didorong dengan alasan bahwa dalam pengamalan pancasila dan penerapan peraturan perundang-undangan yang masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak. Oleh karena itu pengesahan konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, mengganggu pendidikan serta mengganggu perkembangan fisik dan mental anak. Secara khusus pengaturan mengenai batasan umur pekerja anak yang telah diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO Nomor 182. Sejalan dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja tersebut, pemerintah menyusun rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional. Rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan program aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kesulitan yang mendasar dalam merencanakan kegiatan atau program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah tidak adanya data yang meyakinkan semua pihak tentang jumlah dan besaran masalah pekerja anak pada pekerjaan terburuk. Hal ini tentunya dapat dimengerti, mengingat kondisi geografis, jenis pekerjaan maupun bentuk pekerjaan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) adalah : a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambatan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pergerakan anak secara paksa atau wajib untuk di manfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi dalam bentuk : a. Anak-anak yang dilacurkan; b. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; d. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; e. Anak-anak yang bekerja di jermal; f. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; g. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; h. Anak yang bekerja di jalan; i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga; k. Anak yang bekerja di perkebunan; l. Anak yang bekerja pada penerbangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu; m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. Tantangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu : 1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak. 2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 4. Lemahnya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). 5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan dalam aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.. Konvensi juga mewajibkan kepada negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini untuk menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam rangka melaksanakan program aksi yang ditujukan untuk menghapus pekerjaan terburuk untuk anak, pada tahun 2002 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang ditujukan sebagai pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. a. Program Aksi Kebijakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bertujuan untuk mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk utnuk anak yang ada di Indonesia. Adapun kebijakan ini memiliki visi dan misi yaitu: b. Visi : Anak sebagai generasi penerus bangsa terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sehingga dapat tumbuh kembang secara dan optimal baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya. c. Misi : a. Mencegah dan menghapus segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondange), dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; b. Mencegah dan menghapus permanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno; c. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram atau terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional; d. Mencegah dan menghapus perlibatan anak dalam produksi atau penjualan bahan peledak, penyelaman air dalam, pekerjaan-pekerjaan di anjungan lepas pantai, di dalam tanah, pertambangan serta penghapusan pekerjaan lain yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. d. Kelompok sasaran: a. Semua anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk; b. Semua pihak yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk melakukan bentuk pekerjaan terburuk. e. Kebijakan nasional: Mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara bertahap. f. Strategi: Kebijakan nasional dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh dengan strategi : 1) Penemuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara bertahap Penentuan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk serta berbagai sumber yang tersedia untuk melaksanakan program penghapusannya. 2) Melibatkan semua pihak di semua tingkatan Persoalan pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk merupakan masalah bansa. Tidak ada satu pihakpun yang merasa mampu menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendirian. Oleh karena itu perlibatan semua pihak dalam program penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan kunci keberhasilan. 3) Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam negeri Mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan dalam penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka penggalian, pengembangan, dan pemanfaatan secara cermat berbagai sumber yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan daerah meupun potensi masyarakat perlu dilakukan secara maksimal 4) Kerjasama dan bantuan teknis dengan berbagai negara dan lembaga internasional Memperhatikan berbagai keterbatasan sumber dan pengalaman dalam pelaksanaan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka kerjasama dan batuan teknis dari berbagai negara dan lembaga internasional diperlukan. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran rencana aksi nasional yaitu penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak maka diadakan program aksi. Untuk lebih menunjang pencapaian program-program aksi tersebut, rencana aksi dibagi menjadi beberapa bagian : 1. Tahap pertama, sasaran yang ingin dituju setelah 5 (lima) tahun yang pertama; 2. Tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun; 3. Tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun. 1. Tahapan program a. Tahap pertama Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah : a. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan upaya penghapusannya; c. Terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan penyelaman air dalam, pekerja ank yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan, pekerja anak di industri alat kaki, pekerja anak di industri peredaran narkotika, psikotropika prekursor, dan zat adiktif lainnya. Adapun sasaran tersebut dilaksanakan dengan cara : 1) Penelitian dan dokumentasi Program pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak disusun atas dasar besaran, kualitas, dan lokasi masalah. Untuk itu diperlukan penyediaan data statistik yang lengkap mengenai anak, jenis pekerjaan dan ancaman yang dihadapi oleh anak yang terlibat pada bentuk pekerjaan terburuk. Jangkauan penelitian dan dokumentasi untuk pekerja anak dapat diperluas, yang meliputi : a. Data statistik mengenai pekerja anak yang dimulai dari usia 10 (sepuluh) tahun keatas; b. Data statistik mengenai pekerja anak usia di bawah 18 (delapan belas) tahun yang terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk; c. Data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah kasus, jenis kasus, jumlah korban, pelaku, modus, lokasi dan waktu kejadian. 2) Kampanye penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak Informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sangat menunjang keberhasilan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Program penyebarluasan informasi meliputi kegiatan : a. Menyebarluaskan informasi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak kepada masyarakat luas; b. Memfasilitasi tumbuhnya kelompok masyarakat yang peduli pekerja anak; c. Sosialisasi rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Mendorong peranan media massa dalam penyebaran informasi baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota. 3) Pengkajian dan pengembangan model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak Guna menunjang keberhasilan program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak perlu dilakukan kajian serta pengembangan model, sehingga penyelenggaraan program tidak didasarkan pada suatu asumsi belaka. Kajian yang dilakukan meliputi : a. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak; b. Karakteristik bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; c. Model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang mencakup antara lain cara advokasi, bantuan langsung, dan reintegrasi dengan basis masyarakat; d. Panduan replikasi model; e. Panduan bagi pekerja sosial pendamping; f. Panduan pemantauan dan evaluasi. 4) Harmonisasi peraturan perundang-undangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibiton and Immediate Action For The Elimination Of The Worst Form Of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak) dilaksanakan dan ditindaklanjuti dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang meliputi : a. Menetapkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak; b. Menetapkan bahwa melibatkan anak dalam pekerjaan terburuk merupakan tindak pidana; c. Merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan dalam pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, baik secara preemptif, preventif, maupun represif. 5) Peningkatan kesadaran dan advokasi Peningkatan kesadaran dan advokasi sangat penting dalam mempercepat tindakan segera dan pelarangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan peningkatan kesadaran dan advokasi meliputi : a. Penyusunan metode dan modul sosialisasi rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Sosialisasi rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; c. Membangun sistem pengaduan masyarakat bagi kasus-kasus pelibatan anak dalam pekerjaan terburuk. 6) Penguatan kapasitas Kapasitas lembaga, jejaring kerja dan sumber daya manusia dalam mengelola program ini perlu ditingkatkan. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, cara-cara pelarangan dan tindakan penghapusan, serta pengembangan jejaring kerja. Upaya penguatan dilakukan melalui pelatihan, kerjasama teknis antar instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga swadaya masyarakat, magang dan studi banding maupun pemberdayaan masyarakat dan keluarga dilaksanakan pada tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota. 7) Integrasi program penghapusan pekerja anak dalam institusi terkait. Anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak memerlukan bimbingan dan dukungan sosial, pelayanan kesehatan maupun keuangan agar kembali dalam masyarakat (keluarga dan lingkungannya). Untuk membebaskan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak harus terintegrasi dengan upaya-upaya lain agar anak tidak kembali pada bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Upaya integrasi dilakukan melalui : a. penetapan kebijakan di pemerintah pusat, pemerintah propinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota. b. perencanaan terpadu; c. koordinasi lintas sektor maupun lintas fungsi. b. Tahap kedua Sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun adalah : a. Replikasi model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang telah dilaksanakan pada tahap pertama di daerah lain; b. Berkembangnya program penghapusan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak lainnya; c. Tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam tahap pertama c. Tahap ketiga Sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (duapuluh) tahun adalah : a. Pelembagaan gerakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara efektif; b. Pengarusutamaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan tahap ketiga akan disusun berdasarkan hasil yang dicapai dalam tahap kedua. Untuk melaksanakan program diperlukan peran semua pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga swadaya masyarakat, serikat pekerja/serikat buruh,organisasi pengusaha maupun masyarakat pada umumnya. Peran dan tanggung jawab terdiri dari bidang-bidang sebagai berikut : 1. Bidang pendidikan a. Pengumpulan data tentang anak putus sekolah; b. Pemberian kemudahan agar program-program wajib belajar 9 (sembilan)tahun dapat dijangkau bagi semua lapisan masyarakat; c. Pemberian program beasiswa dapat diprioritaskan kepada anak-anak dari keuarga yang kurang mampu seperti keuarga ibu sebagai kepala keluarga dan keluarga miskin yang tidak dapat membiayai pendidikan anaknya; d. Perbaikan metode belajar mengajar serta fasilitas tambahan seperti asrama, dan pelayanan konsultasi psikologi bagi anak-anak yang melakukan pekerjaan terburuk untuk anak; e. Pemberian kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; f. Pemberian pelatihan bagi para pendidik dan pembimbing dalam menghadapi pekerja anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 2. Bidang ketenagakerjaan a. Pengumpulan dan penyebarluasan data serta informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Pemberian pelatihan serta upaya rehabilitasi dan integrasi program; c. Pengkoordinasian pembebasan terhadap pekerja anak serta melakukan upaya agar mereka tidak kembali bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Penciptaan dan pelaksanaan program-program pemindahan anak-anak dari tempat kerja; e. Pelaksanaan pemeriksaan tempat-tempat kerja yang rawan akan praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; f. Pelaksanaan tindakan pembebasan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; 3. Bidang Kesehatan a. Pengumpulan data, penelitian, dan pengkajian mengenai dampak buruk yang mungkin timbul dan mengganggu kesehatan anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Penyediaan pelayanan kesehatan bagi anak-anak (termasuk yang telah keluar dari tempat kerjanya) di sarana-sarana kesehatan; c. Penyebarluasan informasi tentang resiko kesehatan bagi anak yang bekerja kepada pihak-pihak terkait dengan masalah pekerja anak; d. Peningkatan kesadaran tentang kesehatan bagi pekerja anak dan orangtuanya. 4. Bidang Penegakan Hukum a. Penyusunan strategi kerjasama dengan Departemen/instansi lintas sektoral terkait maupun lembaga swadaya masyarakat untuk membebaskan dan menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di daerah/kewilayahan baik secara pre-emptif, preventif dan represif; c. Pengambilan langkah-langkah dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan yang bersifat : 1). Pre-emptif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menetralisasi dan menghilangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan bimbingan, penyuluhan, penerangan, dan tatap muka dengan pelaku dan korban anak yang bersangkutan, orang tua, tokoh agama/masyarakat dan pendidik; 2). Preventif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya peristiwa/kasus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan patroli/perondaan, penjagaan baik secara terbuka maupun tertutup terhadap tempat-tempat/daerah-daerah dan saat/waktu yang dianggap rawan terjadinya peristiwa/kasus; 3). Represif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat yang berwenang terhadap pelaku untuk dapat diajukan ke Penuntut Umum. e. Penuntutan terhadap para pelaku yang melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral untuk dapat mewujudkan keterpaduan sikap dan tindakan dalam penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mulai dari tahap perumusan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengendalian. g. Pelaksanaan tindak lanjut atas segala pengaduan tentang eksploitasi pekerja anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Bidang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan a. Pengevaluasian berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada pekerjaan terburuk untuk anak, dan menyatakan bahwa tindakan melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan suatu tindak pidana; c. Pelaksanaan revisi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau merancang peraturan perundang-undangan yang baru sesuai dengan konvensi internasional mengenai anak yang telah disahkan; d. Pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan masalah anak. 6. Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi a. Pengidentifikasian daerah-daerah yang terdapat ancaman bahaya fisik, mental, dan perkembangan moral anak; b. Penyusunan pengajaran agama dan pendidikan mental spiritual kepada anak-anak yang mempunyai resiko putus sekolah; c. Pensosialisasian dan diseminasi kepada para tokoh agama dan lembaga agama tentang kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Penyusunan panduan bagi mubalig mengenai pekerja anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; e. Pelaksanaan kerjasama dengan para pekerja sosial untuk menjamin anak-anak tersebut menjalankan rehabilitasi sosial dalam bentuk bimbingan. f. Penyampaian skema pemberian kredit mikro kepada keluarga yang mempekerjakan anaknya; g. Pemberian bimbingan usaha skala kecil dan berupaya membuka akses pasar yang lebih luas; h. Perbaikan sarana perumahan bagi keluarga miskin agar dicapai rumah bersih dan sehat; i. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelaksanaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 7. Bidang Media a. Penyebarluasan informasi tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; b. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; c. Penyebarluasan informasi tentang berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Untuk Anak; d. Pengupayaan tumbuhnya jurnalis/wartawan yang sensitif terhadap praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pada tahun 2001, dalam upaya penanggulangan pekerja anak di Indonesia, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah mengeluarkan Keputusan Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak. Dalam Pasal 1 keputusan ini menetapkan bahwa yang dimaksud dengan pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Penanggulangan Pekerja Anak (PPA) adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 (lima belas) tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Pasal 2 keputusan ini menerangkan bahwa pelaksanaan kegiatan PPA dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga kemasyarakatan dan lembaga lain yang peduli terhadap pekerja anak. Pasal 5 menerangkan program penanggulangan pekerja anak diwujudkan dalam program umum dan program khusus yaitu : Program umum PPA meliputi : a. Pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan; c. Perbaikan pendapatan keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak dengan wajar; d. Pelaksanaan sosialisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat. Program khusus PPA meliputi : a. Mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan beasiswa; b. Pemberian pendidikan non formal; c. Pelatihan keterlampilan bagi anak. Kemudian pada tahun 2002 pemerintah mengesahkan dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komesial Anak. Rencana aksi nasional penghapusan eksploitasi seksual komesial anak adalah suatu program nasional untuk mencegah dan menghapuskan eksploitasi seksual komersial terhadap anak di Indonesia. Eksploitasi seksual komersial anak adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut meliputi: a. Prostitusi anak yaitu penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain. b. Pornografi anak yaitu setiap representasi dengan sarana apapun, pelibatan secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual. c. Perdagangan anak untuk seksual. Hakekat dan tujuan rencana aksi nasional penghapusan eksploitasi seksual komersial anak untuk : a. Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual komersial anak; b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penaggulangan atas praktek-praktek eksploitasi seksual komersial anak; c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan eksploitasi seksual komersial anak. Setiap anak tanpa diskriminasi apapun dilindungi dari kekerasan dan eksploitasi seksual komersial dan dapat terpenuhi semua hak-haknya sesuai yang ditetapkan dalam konvensi tentang hak-hak anak, dalam suatu lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik untuk anak, menghargai pandangan-pandangan anak dan yang mendukung kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, keluarga, masyarakat dan pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan kepada setiap anak tanpa diskriminasi atas dasar apapun perlindungan maksimum dari ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual komersial dan sekaligus mengupayakan pemenuhan hak-hak anak terutama bagi mereka yang beresiko dan yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual serta mengembangkan suatu lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik anak, menghargai pandangan-pandangan anak dan yang mendukung kelangsungan hidup anak. Dalam mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas kewajiban sebagaimana disebutkan diatas maka diperlukan strategi sebagai berikut : a. Pengembangan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan non pemerintah termasuk kelompok anak-anak di ingkat nasional dan lokal serta di tingkat internasional dan regional guna merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program penghapusan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). b. Penyediaan akses ke pendidikan dasar dan layanan kesehatan seluas-luasnya kepada semua anak, pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi keluarga-keluarga yang rawan ESKA, pengarusutamaan hak anak dan penguatan sistem hukum guna pencegahan ESKA. c. Pengembangan dan atau penguatan hukum nasional guna memberikan perlindungan kepada anak, anatara lain dengan mengkriminalisasikan pelaku eksploitasi seksual anak dan memperlakukan anak sebagai korban dan menerapkan hukum pidana secara ekstrateritorial serta penguatan peran masyarakat sipil dalam perlindungan anak d. Pengarusutamaan pendekatan yang tidak bersifat menghukum kepada korban ESKA, penyediaan pelayanan pemulihan dan pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi korban ESKA dan keluarga mereka serta pengembangan budaya yang mendukung pengintegrasian kembali korban ke keluarga dan masyarakat. e. Pengembangan kapasitas anak agar mereka bisa berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi program-program penghapusan ESKA termasuk dengan pembentukan komite anak yang independen. Strategi ini diwujudkan karena anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar baik secara hukum, ekonomi, politik dan budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang. Anak harus dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Oleh karena itu, segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan termasuk eksploitasi untuk tujuan seksual komersial harus segera dihentikan tanpa kecuali korban diperlakukan hak-haknya bahkan beresiko tinggi terhadap gangguan kesehatan jasmani, rohani dan sosialnya serta berpengaruh buruk untuk masa depannya. Perumusan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN-PESKA) di Indonesia merujuk kepada kesepakatan yang tertuang dalam empat instrumen internasional atau regional sebagai berikut : 1. Konvensi tentang hak-hak anak (convention on the rights of the child) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melaui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. 2. Deklarasi dan agenda aksi Stockholm disepakati pada tahun 1996. 3. Komitmen dan rencana aksi regional kawasan asia timur dan pasifik melawan eksploitasi seksual komersial anak (regional commitment and action plan of the east asia and pasific region against commercial sexual eksploitation of children), di tandatangani di Bangkok pada bulan oktober 2001. 4. Komitmen global Yokohama, disepakati pada bulan Desember 2001. Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlinduingan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 2 menyatakan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Perhargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 menyatakan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk mejamin terpenuhinya hak-hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hak dan kewajiban anak juga diatur dalam Undang-Undang ini, diantaranya dalam Pasal 4 menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 6 menyatakan anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penemantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana di atas maka dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang terbuka untuk umum. d. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17). Kewajiban dan tanggung jawab baik untuk pemerintah, masyarakat maupun keluarga dan orangtua juga diatur dalam Undang-undang ini. Bahwa Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan anak (Pasal 20). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22). Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan., pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23). Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25). Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua adalah : 1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. 2. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. 3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilaksanakan baik dalam sektor agama, kesehatan, pendidikan, sosial yang juga diatur dalam undang-undang ini. Dalam Pasal 48 Undang-Undang tersebut mengharuskan pemerintah untuk wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini anak-anak terlantar semakin menjamur serta tersebar pada perempatan jalan, tempat-tempat umum, terminal untuk menjadi pengemis, pengamen, pengedar koran, penjaja makanan bahkan sampai menjadi pengedar narkoba, tetapi pemerintah belum melakukan tindakan dan langkah-langkah untuk memberi perlindungan terhadap anak yang dalam keadaan terburuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang baik sebagai hukum nasional maupun hukum internasional. Perlindungan khusus dalam Pasal 59 menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 66 menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi tersebut dapat dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual b. Pemantauan, pelaporan, pemberian sanksi dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Peran masyarakat adalah masyarakat dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. peran masyarakat tersebut dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa (Pasal 72). Pasal 77 mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik secara materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial. Sanksi pidana bagi pihak yang melanggar adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, anak korban perdagangan dan anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 78). Pada tahun 2003 pemerintah mengesahkan dan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembanguanan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap pekerja juga dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha serta bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali. Dalam mengatasi permasalahan dibidang ketenagakerjaan khususnya masalah mengenai tenaga kerja anak, pemerintah mengatur hal tersebut dalam Pasal 68-75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 1 Angka 26 memberikan pengertian bahwa anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Batas umur bekerja seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, menyebutkan usia minimum tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun. Dengan demikian mengenai batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18 tahun. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun 9ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : c. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan d. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintsh berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Dalam rangka pelaksanaan dari Pasal 74, pemerintah mengeluarkan peraturan berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan Atau Moral Anak. Pasal 1 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia 18 (delapan belas) tahun. Kemudian Pasal 2 menegaskan bahwa anak dibawah 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau dipekerjakan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan, yaitu: Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Anak a. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan peralatan lainnya meliputi : Pekerjaan pembuatan, perakitan/pemasangan, pengoperasian, perawatan dan perbaikan : 1. Mesin-mesin a. Mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin bubut, mesin skrap; b. Mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak, mesin pengisi botol. 2. Pesawat a. Pesawat uap seperti: ketel uap, bejana uap; b. Pesawat cairan panas seperti: pemanas air, pemanas oli; c. Pesawat pendingin, pesawat pembangkit gas karbit; d. Pesawat angkat dan angkut seperti: keran angkat, pita transport, ekskalator, gondola, forklift, loader; e. Pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat pembangkit listrik. 1. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang. 2. Instalasi seperti: instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam kebakaran, saluran listrik. 3. Peralatan lainnya seperti: tanur, dapur peleburan, lift, perancah. 4. Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut, dan sejenisnya b. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya yang meliputi : 1. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Fisik a. Pekerjaan di bawah tanah, di bawah air atau dalam ruangan tertutup yang sempit dengan ventilasi yang terbatas (confined space) misalnya sumur, tangki; b. Pekerjaan yang dilakukan pada tempat ketinggian lebih dari 2 meter; c. Pekerjaan dengan menggunakan atau dalam lingkungan yang terdapat listrik bertegangan di atas 50 volt; d. Pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik dan/atau gas; e. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan suhu dan kelembaban ekstrim atau kecepatan angin yang tinggi; f. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan atau getaran yang melebihi nilai ambang batas (nab); g. Pekerjaan menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan radioaktif; h. Pekerjaan yang menghasilkan atau dalam lingkungan kerja yang terdapat bahaya radiasi mengion; i. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu; j. Pekerjaan yang dilakukan dan dapat menimbulkan bahaya listrik, kebakaran dan/atau peledakan. 2. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia a. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdapat pajanan (exposure) bahan kimia berbahaya; b. Pekerjaan dalam menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar, mudah menyala, oksidator, korosif, iritatif, karsinogenik, mutagenik dan/atau teratogenik; c. Pekerjaan yang menggunakan asbes; d. Pekerjaan yang menangani, menyimpan, menggunakan dan/atau mengangkut pestisida. 3. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis a. Pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik, penyamakan kulit, pencucian getah/karet; b. Pekerjaan di tempat pemotongan, pemrosesan dan pengepakan daging hewan; c. Pekerjaan yang dilakukan di perusahaan peternakan seperti memerah susu, memberi makan ternak dan membersihkan kandang; d. Pekerjaan di dalam silo atau gudang penyimpanan hasil-hasil pertanian; e. Pekerjaan penangkaran binatang buas. 4. Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu: a. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan. b. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat. c. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan. d. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci. e. Pekerjaan penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau di perairan laut dalam. f. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil. g. Pekerjaan di kapal. h. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas. i. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00-06.00 Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Moral Anak 1. Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi. 2. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok. Pada tahun 2004 pemerintah dalam hal ini menteri yang bertanggungjawab dalam bidang ketenagakerjaan, yaitu Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi kembali mengeluarkan peraturan yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 115/Men/2004 Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat Dan Minat. Keputusan ini dikeluarkan sebagai pelaksanaan dari Pasal 71 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Bahwa pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) keputusan ini yaitu: a. Pekerjaan tersebut biasa dikerjakan anak sejak usia dini; b. Pekerjaan tersebut diminati anak; c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak; d. Pekerjaan tersebut menumbuhkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak. Dalam pelaksanaannya pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk pengembangan bakat dan minat tanpa pengawasan langsung orang tua/wali. Pengawasan langsung oleh orang tua/wali adalah : a. Mendampingi setiap kali anaknya melakukan pekerjaan; b. Mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anaknya ; c. Menjaga keselamatan, kesehatan dan moral anaknya selama melakukan pekerjaan (Pasal 4) Sedangkan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun untuk mengembangkan bakat dan minat, wajib: a. Membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan orang tua/wali yang mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. Mempekerjakan di luar waktu sekolah; c. Memnuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua belas) jam seminggu; d. Melibatkan orang tua/wali di lokasi kerja untuk melakukan pengawasan langsung; e. Menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika, penjudian, minuman keras, prostitusi dan hal-halsejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak. f. Menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu; dan g. Melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja (Pasal 5) Pasal 6 menegaskan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat harus melapor kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota pada lokasi anak dipekerjakan, dengan tembusan kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi yang bersangkutan. Ketentuan sanksi juga diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (2) diakomodir dalam Pasal 185 bahwa barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling seingkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud merupakan tindak pidana kejahatan. Bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) diatur dalam Pasal 187 yaitu barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Kemudian bagi pihak yang mempekerjakan anak pada jenis-jenis pekerjaan terburuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, ketentuan sanksi diatur dalam Pasal 183 yaitu pihak sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dalam rangka mengatasi tindak pidana perdagangan orang yang semakin marak, yang biasanya korban dialami oleh anak-anak atau yang di kenal dengan istilah child trafiking. Maka pada 19 April 2007 lalu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang (Human Trafiking) yang dilegalisasikan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang ini menegaskan yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau pemnerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau dengan memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kemdali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi sebagaimana dimaksud adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secra melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriiil. Korban perdagangan orang biasanya dialami oleh perempuan dan anak-anak karena keduanya dari segi fisik dan mental lebih lemah dibandingkan dengan pria dewasa. Masalah perdagangan orang ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat, martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas. Bagi anak, biasanya mereka akan dipekerjakan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang buruk yang tentunya sangat bertentangan hak asasi anak. Perdagangan anak (Child trafiking) adalah segala tindakan pelaku trafiking yang dilakukan secara sengaja yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan untuk kemudian dikirimkan antar daerah atau antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan perdagangan anak. Hal ini dilakukan dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal atau fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentaan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan, obat, jebakan hutang dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana anak digunakan untuk pelacuran dan eksploitasi seksual, menjadi buruh imigran legal maupun ilegal, untuk adopsi anak, pekerja jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedar obat terlarang dan penjualan organ tubuh serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Anak merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera dihentikan tanpa kecuali. Namun dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan tega memperlakukan anak untuk kepentingan bisnis yaitu dengan melakukan trafiking. Trafking merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian. Gejala ini berkembang dan berubah dalam bentuk kompleksitasnya namun tetap merupakan perbudakan dan perhambaan. Di Indonesia, korban-korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran serta bekerja di tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah. Secara umum dapat diidentifikasi bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya trafficking anak/perempuan antara lain karena : b. Kemiskinan, menurut data dari BPS adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin terus meningkat. c. Ketenagakerjaan, sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung pula terus meningkat. d. Pendidikan, survei sosial ekonomi menyatakan bahwa semakin meningkatnya anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya. e. Migrasi, menurut KOPBUMI ( Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia)semakin meningkatnya buruh migran ke luar negeri yang sebagian besar menjadi korban trafiking. f. Kondisi keluarga, karena pendidikan rendah dan keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain merupakan titik lemah ketahanan keluarga. g. Sosial budaya, anak sekolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidak adilan gender atau posisi perempuan dan anak yang dianggap lebih rendah yang masih tumbuh di tengah kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. h. Media massa, masih belum memberikan perhatian penuh terhadap berita dan informasi yang utuh dan lengkap tentang trafiking dan belum memberikan kontribusi yang optimal pula dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. 3. Perlindungan Hukum Pekerja Anak Perlindungan hukum selalu diartikan dengan konsep Rechtstaat atau konsep Rule Of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep Rechtstaat muncul pada abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum Anglo Saxon, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule Of Law sebagai berikut : a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality Before The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negara lain) oleh Undang-Undang Dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Hal ini juga sejalan dengan dianutnya konsep Welfare State oleh Indonesia yaitu konsep yang menghendaki kemakmuran/kesejahteraan bagi warga negaranya. Maka pemerintah dituntut untuk bersifat aktif dalam rangka mewujudkan tujuan dari konsep negara Welfare State tersebut, salah satunya dengan kebijakan-kebijakan yang dapat pemerintah wujudkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara tanpa diskriminasi. Keadaan realita masyarakat yang tidak dapat pemerintah hindari adalah masalah kemiskinan. Masalah ini semakin meningkat jumlahnya yang juga secara signifikan memberikan dampak yaitu peningkatan jumlah pekerja anak. Anak bekerja merupakan polemik bagi setiap negara. Anak disini membutuhkan perlindungan khusus dari setiap elemen pemerintah maupun non pemerintah. Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum (Rechtbetrekking) adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). Anak yang dipekerjakan haruslah diberikan perlindungan yang khusus dari pemerintah. Karena keadaan anak masih lemah baik secara fisik, mental maupun sosial. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak yaitu Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Di bidang ketenagakerjaan, perlindungan pekerja menurut Iman Soepomo dalam Asikin dibagi menjadi tiga macam: 1. Perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. 2. Perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pad umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggita keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3. Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Perlindungan hukum terhadap pekerja anak juga diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan tersebut di atas dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun (ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : a. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Ketentuan ini ditujukan untuk perlindungan keselamatan pekerja anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan dari adanya alat produksi atau pekerjaan yang cenderung kurang bisa dikendalikan anak-anak atau juga harus dihindari dari sentuhan anak-anak. Tentunya hal ini ditujukan untuk meminimalisir adanya bahaya yang ditimbulkan dari ketidakcakapan pekerja anak terhadap alat-alat produksi atau pekerjaan yang ada di tempat pekerja dewasa. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan Pasal 72 tersebut ialah faktor mental dan sosial anak, saat pekerja anak bergabung dengan komunitas pekerja dewasa secara mendasar pola komunikasi dan sosialisasi pekerja dewasa berbeda dengan anak dan berpotensi memberikan dampak buruk terhadap anak melalui pola kehidupan sosial yang belum seharusnya diperoleh oleh anak. Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja B. Pembahasan Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum (rechtbetrekking) adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). Perlindungan hukum dikaitkan dengan konsep Welfare State sebagaimana yang dianut oleh Indonesia. Konsep ini menghendaki kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Untuk itu pemerintah dituntut untuk bersifat aktif dalam rangka mewujudkan tujuan dari konsep negara welfare state tersebut, salah satunya dengan kebijakan-kebijakan yang dapat pemerintah wujudkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara tanpa diskriminasi. Hal ini termasuk perlindungan terhadap hak asasi anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Hak asasi anak secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan saja menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak, tetapi juga masyarakat dan negara. Karena pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral meliputi nilai-nilai normatif yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang bekerja merupakan salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumah tangga (Household Survival Strategy). Hal ini terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin di perkotaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan sumber yang tersedia. Salah satu upaya untuk beradaptasi dengan kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Akibatnya banyak orang tua harus rela melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketenagakerjaan yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak yang diatur dalam Pasal 68-75. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; d. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun (ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : a. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Jika konsep perlindungan hukum terhadap pekerja anak dalam Undang-Undang ketenagakerjaan ditinjau berdasarkan konsep teori perlindungan hukum menurut Iman Soepomo maka akan didapatkan sebuah keutuhan konsep perlindungan hukum yang legitimate berdasarkan dengan hukum positif, karena konsep tersebut merupakan perpaduan dari nilai-nilai normatif dan aspek hukum doktrinal. Perlindungan hukum terhadap pekerja menurut Iman Soepomo meliputi 3 (tiga) unsur yaitu : 1. Perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. 2. Perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pad umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggita keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3. Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan lain terhadap pekerja dapat meliputi : 1. Norma keselamatan kerja, meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaan, keadaan tempat kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan. 2. Norma kesehatan kerja dan higiene kesehatan perusahaan yang meliputi pemeliharaan dan peningkatan keselamatan pekerja, penyediaan perawatan medis bagi pekerja, dan penetapan standar kesehatan kerja. 3. Norma kerja berupa perlindungan hak tenaga kerja secara umum baik sistem pengupahan, cuti, kesusilaan, dan religius dalam rangka memelihara kinerja pekerja. 4. Norma kecelakaan kerja berupa pemberian ganti rugi perawatan atau rehabilitasi akibat kecelakaan kerja dan/atau menderita penyakit akibat pekerjaan dalam hal ini ahli waris berhak untuk menerima ganti rugi. 1. Perlindungan Secara Ekonomis Perlindungan hukum di bidang ketenagakerjaan yang pertama menurut Iman Soepomo adalah perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Konsep perlindungan hukum ketenagakerjaan dalam bidang ekonomis menurut Iman Soepomo telah terakomodir dengan Pasal 69 ayat (2) huruf g Undang-Undang Ketenagakerjaan karena Pasal ini menegaskan kepada pengusaha untuk memberikan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada pekerja anak. Maksud dari ”upah sesuai ketentuan yang berlaku” adalah bahwa tenaga kerja anak harus menerima upah sebagaimana menurut Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Jadi pemberian upah terhadap tenaga kerja anak ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Perjanjian kerja disini dilakukan antara orang tua/wali anak dengan pengusaha/pemberi kerja. Upah yang diberikan terhadap pekerja anak harus sama dengan upah yang diberikan terhadap pekerja dewasa. Karena tidak ada ketentuan yang menegaskan adanya perbedaan upah antara pekerja anak dengan pekerja dewasa. Karena dari segi hasil produktifitas pekerja anak tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja dewasa. Perlindungan secara ekonomis ini juga searah dengan perlindungan hukum terhadap pekerja yaitu norma kerja. Norma kerja berupa perlindungan hak tenaga kerja secara umum baik sistem pengupahan, cuti, kesusilaan, dan religius dalam rangka memelihara kinerja pekerja. Ketentuan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (2) diakomodir dalam Pasal 185 bahwa barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling seingkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud merupakan tindak pidana kejahatan. 2. Perlindungan Sosial Perlindungan hukum kedua di bidang ketenagakerjaan menurut Iman Soepomo adalah perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pad umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggita keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Perlindungan sosial menurut Iman Soepomo telah terakomodir dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c, d dan e. Pasal 69 ayat (2) huruf c dan d menegaskan bahwa pengusaha/pemberi kerja yang mempekerjakan anak hanya boleh mempekerjakan anak dengan waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam dan pekerjaan dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah. Ketentuan ini ditujukan agar kesehatan fisik anak tetap terjaga. Selain itu pembatasan waktu kerja yang hanya maksimum 3 (tiga) jam ini ditujukan agar anak tetap mempunyai waktu untuk belajar dan bermain dengan anak-anak seusianya. Untuk itu walaupun anak bekerja tetapi anak tetap dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Pasal 69 ayat (2) ayat e adalah pemberi kerja/pengusaha wajib melindungi kesehatan dan keselamatan kerja pekerja anak. Dalam hal ini pemberi kerja wajib yang mempekerjakan anak dengan memberikan jaminan kesehatan kerja bagi pekerja anak. hal tersebut dapat diwujudkan melalui program Jamsostek berupa Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah pekerja sebulan bagi pekerja yang sudah berkeluarga, dan 3% sebulan bagi pekerja yang belum berkeluarga. Pasal 70 juga telah sejalan dengan konsep perlindungan sosial menurut Iman Soepomo. Pasal ini menyatakan bahwa anak dapat melakukan pekerjaan ditempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejebat yang berwenang. Hal ini ditujukan agar anak dapat diberikan masukan akan pendidikan ataupun pelatihan sejak dini sekalipun ia sedang bekerja. agar ia dapat berkembang dengan baik sampai ia menginjak dewasa. Dengan persyaratan harus diberi petunjuk dengan jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan tersebut dan diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dari pemberi kerja atau pengusaha. Pasal 71 ayat 1 menyatakan bahwa anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Ketentuan ini untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Dalam hal ini anak diberikan kebebasan untuk mengembangkan bakat dan minatnya, karena anak yang bekerja tidaklah selalu berdampak negatif. Melainkan dengan bekerja juga dapat melatih kemampuan fisik, mental dan sosial anak. Lebih baik lagi jika anak bekerja dengan kehendak sendiri dan bekerja pada pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga dapat mengembangkan kemampuan intelektualitas anak. Peraturan pelaksana dari Pasal ini yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 115/MEN/2004 Tentang perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat. Bahwa pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) keputusan ini yaitu: a. Pekerjaan tersebut biasa dikerjakan anak sejak usia dini; b. Pekerjaan tersebut diminati anak; c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak; d. Pekerjaan tersebut menumbuhkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak. Bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) diatur dalam Pasal 187 yaitu barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Pasal 74 yang memberikan perlindungan kepada pekerja anak dengan memberikan ketentuan bahwa anak dilarang dipekerjakan atau dilibatkan pada pekerjaan-pekerjaan terburuk yang meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Hal ini ditujukan agar dalam proses sosialisasi anak selalu diberikan masukan-masukan yang sifatnya positif, sehingga dalam tumbuh kembang anak bisa menjadi anak yang baik yang terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif meskipun ia sebagai pekerja anak.. Peraturan pelaksana dari Pasal 74 terhadap ketentuan bahwa anak tidak boleh dipekerjakan terhadap bnetuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak dituangkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. Terkait dengan perlindungan sosial diatur mengenai jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan moral anak seperti : 1. Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi. 2. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok. Konsep perlindungan hukum sosial menurut Iman sopomo tersebut juga searah dengan ketentuan Norma Kesehatan Kerja yaitu meliputi pemeliharaan dan peningkatan keselamatan pekerja, penyediaan perawatan medis bagi pekerja, dan penetapan standar kesehatan kerja. Bagi pihak yang mempekerjakan anak pada jenis-jenis pekerjaan terburuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, ketentuan sanksi diatur dalam Pasal 183 yaitu pihak sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). 3. Perlindungan Teknis Perlindungan hukum yang ketiga di bidang ketenagakerjaan menurut Iman Soepomo adalah Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Perlindungan teknis dibidang ketenagakerjaan menurut Iman Soepomo telah direfleksikan dalam Pasal 69 ayat (2) huruf e adalah pemberi kerja/pengusaha wajib melindungi kesehatan dan keselamatan kerja pekerja anak. Sama halnya dengan perlindungan sosial, perlindungan teknis dapat diwujudkan oleh pengusaha dengan mengikuti program Jamsostek., yaitu program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Jaminan kecelakaan kerja (JKK) berkisar antara 0,24%--1,74% dari upah sebulan yang ditanggung pengusaha Pasal 72 juga memberikan sebuah perlindungan teknis yaitu bahwa dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja dewasa maka tempat kerja anak harus dipisahkan dengan tempat kerja pekerja dewasa. Ketentuan ini ditujukan untuk perlindungan keselamatan pekerja anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan dari adanya alat produksi atau pekerjaan yang cenderung kurang bisa dikendalikan anak-anak atau juga harus dihindari dari sentuhan anak-anak. Tentunya hal ini ditujukan untuk meminimalisir adanya bahaya yang ditimbulkan dari ketidakcakapan pekerja anak terhadap alat-alat produksi atau pekerjaan yang ada di tempat pekerja dewasa. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan Pasal 72 tersebut ialah faktor mental dan sosial anak, saat pekerja anak bergabung dengan komunitas pekerja dewasa secara mendasar pola komunikasi dan sosialisasi pekerja dewasa berbeda dengan anak dan berpotensi memberikan dampak buruk terhadap anak melalui pola kehidupan sosial yang belum seharusnya diperoleh oleh anak. Perlindungan teknis berupa keamanan kerja juga diatur dalam Pasal 73 yang menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Ketentuan ini ditujukan dalam rangka administrasi pengawasan yang efektif dari pihak pengusaha atau pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja anak. Dalam hal lain, pengusaha atau pemberi kerja dapat mempekerjakan anak di luar tempat kerja dengan ketentuan pengusaha atau pemberi kerja dapat membuktikannya melalui perjanjian kerja. Perlindungan teknis juga diakomodir dalam Pasal 74 yang memberikan perlindungan kepada pekerja anak dengan memberikan ketentuan bahwa anak dilarang dipekerjakan atau dilibatkan pada pekerjaan-pekerjaan terburuk yang meliputi : 1. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; 2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; 3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau 4. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. Berkaitan dengan perlindungan teknis, diatur mengenai jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan anak, yaitu : 1. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan peralatan lainnya meliputi : Pekerjaan pembuatan, perakitan/pemasangan, pengoperasian, perawatan dan perbaikan : a. Mesin-mesin 1) Mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin bubut, mesin skrap; 2) Mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak, mesin pengisi botol. b. Pesawat 1) Pesawat uap seperti: ketel uap, bejana uap; 2) Pesawat cairan panas seperti: pemanas air, pemanas oli; 3) Pesawat pendingin, pesawat pembangkit gas karbit; 4) Pesawat angkat dan angkut seperti: keran angkat, pita transport, ekskalator, gondola, forklift, loader; 5) Pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat pembangkit listrik. a. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang. b. Instalasi seperti: instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam kebakaran, saluran listrik. c. Peralatan lainnya seperti: tanur, dapur peleburan, lift, perancah. d. Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut, dan sejenisnya 2. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya yang meliputi : 1. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Fisik a. Pekerjaan di bawah tanah, di bawah air atau dalam ruangan tertutup yang sempit dengan ventilasi yang terbatas (confined space) misalnya sumur, tangki; b. Pekerjaan yang dilakukan pada tempat ketinggian lebih dari 2 meter; c. Pekerjaan dengan menggunakan atau dalam lingkungan yang terdapat listrik bertegangan di atas 50 volt; d. Pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik dan/atau gas; e. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan suhu dan kelembaban ekstrim atau kecepatan angin yang tinggi; f. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan atau getaran yang melebihi nilai ambang batas (nab); g. Pekerjaan menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan radioaktif; h. Pekerjaan yang menghasilkan atau dalam lingkungan kerja yang terdapat bahaya radiasi mengion; i. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu; j. Pekerjaan yang dilakukan dan dapat menimbulkan bahaya listrik, kebakaran dan/atau peledakan. 2. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia a. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdapat pajanan (exposure) bahan kimia berbahaya; b. Pekerjaan dalam menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar, mudah menyala, oksidator, korosif, iritatif, karsinogenik, mutagenik dan/atau teratogenik; c. Pekerjaan yang menggunakan asbes; d. Pekerjaan yang menangani, menyimpan, menggunakan dan/atau mengangkut pestisida. 3. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis a. Pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik, penyamakan kulit, pencucian getah/karet; b. Pekerjaan di tempat pemotongan, pemrosesan dan pengepakan daging hewan; c. Pekerjaan yang dilakukan di perusahaan peternakan seperti memerah susu, memberi makan ternak dan membersihkan kandang; d. Pekerjaan di dalam silo atau gudang penyimpanan hasil-hasil pertanian; e. Pekerjaan penangkaran binatang buas. 4. Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu: a. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan. b. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat. c. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan. d. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci. e. Pekerjaan penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau di perairan laut dalam. f. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil. g. Pekerjaan di kapal. h. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas. i. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00-06.00 Konsep perlindungan hukum yang mengatur mengenai pekerja anak dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan telah cukup baik karena ketentuan yang ada tersebut mengandung aspek normatif dan aspek doktrinal. Namun ada hal yang masih menjadi permasalahan dalam Pasal 75 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Namun hingga kini pemerintah belum juga mengeluarkan seperangkat peraturan sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut. Jadi apabila terjadi permasalahan terhadap pekerja anak yang bekerja di luar sektor formal, saat ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Oleh karena itu perlindungan hukum bagi anak yang bekerja di luar sektor formal belum dapat diterapkan secara optimal di masyarakat. Undang-Undang Ketenagakerjaan memang melarang siapapun mempekerjakan dan melibatkan anak-anak yang diartikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, seperti perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, pornografi, atau perjudian, pekerjaan yang menggunakan anak untuk mendapatkan atau melibatkan anak dalam pembuatan dan perdagangan minuman beralkohol, narkotika, zat psikotropika, dan/atau segala jenis pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, dan moral seorang anak.. Jenis-jenis pekerjaan yang merusak kesehatan, keselamatan, dan moral seorang anak ini tidak dicantumkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, tetapi ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003, yang menetapkan lima belas tahun sebagai usia kerja anak (Pasal 3), dan melarang anak berusia di bawah delapan belas tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka. Dengan demikian, keputusan tersebut seolah-olah berlaku juga bagi pekerja anak di luar sektor formal (sektor informal). Namun dalam prakteknya tidak diterapkan. Hanya pengguna jasa tenaga kerja di sektor formal saja yang dilarang oleh KEPMEN tersebut. Padahal terdapat lebih banyak anak di sektor informal daripada di sektor formal, pengguna jasa tenaga kerja di sektor informal tidak dibatasi dalam hal jumlah jam kerja yang mereka tuntut dari anak. Perbedaan dalam hal perlindungan yang diberikan kepada pekerja anak di bidang formal dibandingkan dengan pekerja anak di bidang informal adalah bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, yang tidak membedakan antara berbagai sektor pekerjaan dalam melarang eksploitasi ekonomi terhadap anak. Keputusan Menteri ini lebih jauh lagi menyebutkan pekerjaan yang dilakukan dalam tempat tertutup dan dilaksanakan antara jam 6:00 sore sampai jam 6:00 pagi sebagai pekerjaan berbahaya. Ketentuan ini seharusnya berlaku bagi anak yang bekerja di luar sektor formal seperti pekerja runah tangga, tetapi pada prakteknya tidaklah demikian. KEPMEN ini juga tidak menyebutkan secara khusus bahwa termasuk dalam pekerjaan berbahaya adalah pekerjaan yang membuka kesempatan pelecehan fisik, psikologis, atau seksual terhadap anak; melibatkan jam kerja yang panjang; atau yang secara tidak pantas mengekang seorang anak di tempat majikannya, sepeti ditetapkan dalam Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dengan demikian ini merupakan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam pandangan ILO/IPEC, jika anak dibiarkan untuk bekerja, di masa depannya akan menuai masalah yang luas dan kompleks, bukan hanya pada anak sendiri tetapi juga kerugian jangka panjang yang harus ditanggung masyarakat. 1. Kerugian bagi anak : a. Penyangkalan hak-hak dasar, misalnya hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk bermain, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik. b. Tubuh anak masih terus berkembang dan belum terbentuk sepenuhnya. Pekerjaan tertentu dapat mengakibatkan kesehatan yang buruk atau dapat mencelakakan dan dapat mengakibatkan tumbuh kembang anak terganggu. Kesehatan jasmani mereka dapat terganggu akibat kelelahan fisik yang disebabkan beban pekerjaan yang berat atau posisi tubuh yang salah sewaktu bekerja. c. Anak-anak lebih mudah terkontaminasi senyawa kimia dan radiasi berbahaya dibandingkan orang dewasa. d. Daya tahan tubuh anak rentan terhadap penyakit. e. Anak-anak seringkali mengerjakan pekerjaan yang terdapat eksploitasi, berbahaya, merendahkan harga diri dan terisolasi. Mereka seringkali mendapatkan perlakuan kasar, sewenang-wenang dan diabaikan oleh majikannya. Hal ini menyebabkan anak-anak tersebut mengalami kesulitan dalam mengungkapkan rasa kasih sayang dan perasaannya terhadap orang lain. Mereka juga mengalami kesulitan berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain, dan menemukan jati diri. Mereka juga seringkali merasa kurang percaya diri dan direndahkan atau disepelekan. f. Anak-anak didorong memasuki dunia orang dewasa sebelum waktunya. Mereka tidak mempunyai waktu mengikuti aktivitas-aktivitas yang penting untuk pertumbuhan mereka, misalnya bermain, bersekolah, bergaul dengan teman sebaya. Mereka tidak dibekali dengan pendidikan dasar yang dibutuhkan untuk kehidupan. 2. Kerugian jangka panjang yang ditanggung masyarakat : a. Anak-anak tanpa pendidikan memiliki kesempatan mengubah nasibnya dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan faktor pendorong masuknya anak ke dunia kerja, akan tetap bekerja pada usia dini menyebabkan mereka tetap miskin. Kesejahteraan masyarakat dipertaruhkan. b. Anak-anak yang mulai bekerja pada usia dini akan mengalami kesehatan fisik yang rapuh, ketakutan, dan matang sebelum waktunya di masa yang akan datang. BAB V PENUTUP A. Simpulan Secara umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur perlindungan hukum terhadap pekerja anak. Hal tersebut terlihat dengan terakomodirnya aspek ekonomis, aspek sosial dan aspek teknis dalam perumusan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu : a. Aspek Ekonomis yang menyatakan perlindungan dari segi upah telah direfleksikan dalam Pasal 69 ayat (2) huruf e bahwa pengusaha wajib memberikan upah sesuai dengan pengertian upah menurut Pasal 1 angka 30. b. Aspek Sosial telah diakomodir dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c, d, dan e bahwa pengusaha berkewajiban memberikan perlindungan berupa jaminan kesehatan, Pasal 71 memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja untuk pengembangan bakat dan minat yang umumnya muncul pada usia anak menjadi tidak terhambat, dan Pasal 74 yang melarang anak bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang terburuk. c. Aspek Teknis yang menyatakan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan perlindungan berupa keselamatan kerja telah sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf e yang memberikan kewajiban pengusaha untuk menjamin keselamatan pekerja anak, Pasal 72 yang memberikan ketentuan bahwa dalam hal anak dipekerjakan bersama pekerja dewasa, tempat kerja harus dipisahkan, hal ini ditujukan untuk perlindungan keselamatan pekerja anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan dari adanya alat produksi atau pekerjaan yang cenderung kurang bisa dikendalikan anak-anak juga untuk meminimalisir adanya bahaya yang ditimbulkan dari ketidakcakapan pekerja anak terhadap alat-alat produksi atau pekerjaan yang ada di tempat pekerja dewasa. Hal lain ialah faktor mental dan sosial anak yang jelas berbeda dengan orang dewasa pada umumnya, Pasal 73 menegaskan bahwa untuk menjamin keselamatan anak, maka anak hanya dianggap bekerja jika berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, serta ketentuan Pasal 74 yang secara tegas melarang anak untuk dipekerjakan pada jenis pekerjaan yang terburuk. Pasal 75 yang menyatakan kewajiban bagi pemenrintah untuk menanggulangi pekerja anak yang bekerja di luar hubungan kerja, hingga kini belum di keluarkan peraturan pelaksanaannya. Jadi apabila terjadi permasalahan terhadap pekerja anak yang bekerja di luar hubungan kerja saat ini masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. B. Saran Secara umum dari pengaturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan khususnya yang mengatur mengenai pekerja anak dapat ditarik sebuah saran/rekomendasi yaitu seperti dilakukan langkah penegasan secara normatif yang lebih konkrit mengenai batasan umur anak yang dapat diperbolehkan bekerja. Selain itu perlu adanya seperangkat peraturan pelaksanaan dari ketentuan yang menyatakan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggulangi pekerja anak yang bekerja di luar sektor formal. Perlunya pengawasan yang optimal oleh seluruh elemen hubungan industrial serta penerapan sanksi yang tegas atas pelanggaran yang terjadi terhadap pekerja anak guna terciptanya implementasi yang efektif dari pengaturan khususnya di bidang pekerja anak di lapangan ketenagakerjaan. DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur : Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak. Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2007 Asikin, Zainal, dkk.. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002 Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994 Harahap, Zairin. Huikum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Handayaningrat,Soewarno. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Management, Gunung Agung, Jakarta. 1980 H.R, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. 2003 Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Penerbit Nuansa. Yogyakarta, 2006 Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003 Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia Publishing, Yogyakarta. 2006 J.S, Payaman, dalam Lalu Husni, SH, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta. 2003 Manulang, Sendjun. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 2001 Marbun, S.F. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty. Yogyakarta. 2001 Rusli, Hardijan. Hukum Ketenagakerjaan 2003. Ghalia Indonesia., Jakarta, 2003 Soemitro Hanitijo, Ronny. Metode Penelitian Hukum. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta. 1992 Soepomo, Imam. Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1987 Stefanus, Kotan Y. Mengenai Peradilan Kepegawaian di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Penerbit PT. Intermasa. Jakarta, 2003 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjajaran, Bandung, 1960 Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 Tentang Usia Minimum Diperbolehkan Untuk Bekerja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafiking) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/Men/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 115/Men/VII/2004 Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar