Jumat, 18 Mei 2012

PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN




 PENAMATAN SMA ADVENT TOMPASO II



 OLEH SWILLSOND M.KWALIK


Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara RI 1. 1. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945 : • Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan. • Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja • Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya. 1. a. Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Republik Indonesia 1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. 2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah presidensial. 3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun pada pemilu tahun 2004, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket untuk masa jabatan 2004 – 2009. 4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden. 5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing provinsi yang berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan banyak. Selain lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga dipilih melaui pemilu. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. 6) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. 7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. 1. b. Beberapa variasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial RI 1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung. 2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya dalam pengangkatan Duta untuk negara asing, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala kepolisian. 3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi. 4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran). Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat difahami bahwa dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika politik bangsa Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Fokus Kita : Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebelum dilakukan amandemen, telah dengan jelas tercantum di dalam Penjelasan UUD 1945. Dengan demikian dapat dengan mudah diketahui oleh kalangan akademisi yang berminat untuk mendalami tentang sistem pemerintahan negara. Setelah dilaksanakan amandemen terhadap UUD 1945 (dari tahun 1999 s.d. 2002), penjelasan tentang Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Batang Tubuh UUD 1945. Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan model sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 : Masa Orde Baru (Sebelum amandemen UUD 1945) Masa Reformasi (Setelah Amandemen UUD 1945) Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai berikut : 1. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat) Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekua-saan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut : 1) Negara Indonesia adalah negara Hukum. Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3), tanpa ada penjelasan. 2) Sistem Konstitusional Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. 1. b. Sistem Konstitusional Secara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut : - Pasal 2 ayat (1) - Pasal 3 ayat (3) - Pasal 4 ayat (1) - Pasal 5 ayat (1) dan (2) - Dan lain-lain 1. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah: 1) Menetapkan Undang-Undang Dasar, 2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, 3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “manda-taris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis. 1. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut : - Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. - Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. - Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. 1. d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya. 1. d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). 1. e. Presiden tidak bertanggungjawab ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden. 1. e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial. 1. f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwa-kilan Rakyat. Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Menteri-mentri itu tidak bertanggungjawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden. 1. f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang Pasal 17). 1. g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela. 1. h. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3). 1. 2. Struktur Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia Perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebagai akibat dari dilukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, secara yuridis konstitusional berpengaruh pula pada iklim politik dan struktur ketatanegararaan. Perubahan iklim politik, antara lain ditandai dengan adanya keberanian anggota dewan dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan semakin produktif dalam menghasilkan peraturan perundang-undangan yang pada masa orde baru hal ini tidak terjadi. Demikian juga MPR dan lembaga-lembaga negara lain yang sudah mampu menunjukkan keberadaannya. Dominasi eksekutif (Lembaga Kepresidenan), sudah diminimalisir dengan salah satu amandemen UUD 1945 Pasal 7 tentang jabatan Presiden yang maksimal 2 periode (10) tahun. Keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam struktur ketatanegaraan, terjadi penambahan nama lembaga negara dan sekaligus penghapusan suatu lembaga negara. 1. a. Struktur Ketatanegaraan (sebelum amandemen UUD 1945). Berdasarkan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Hukum Republik Indonsia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan kembali dengan Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/MPR/1978. 1. b. Struktur Ketatanegaraan (Setelah Amandemen UUD 1945) Pelaksanaan amandemen terhadap UUD 1945 telah dilakukan selama 4 (empat) kali, yakni : pertama mencakup 9 pasal (disahkan tanggal 19 Oktober 1999), kedua mencakup 25 pasal (disahkan tanggal 18 Agustus 2000), ketiga mencakup 32 pasal (disahkan 9 November 2001), dan keempat mencakup 13 pasal (disahkan tanggal 10 Agusutus 2002). Struktur Kekuasaan di dalam Negara Republik Indonesia setelah amandemen UUD 1945 (menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddigie dan I Dewa Gde Palguna SH., MH.) adalah sebagai berikut. Bonus Info Kewarganegaraan Hal-hal yang mendasar dalam ketatanegaraan negara republik Indonesia setelah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebagai berikut : 1. Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilakukan menurut UUD (Pasal 1). 2. MPR bikameral yaitu terdiri dari DPR dan DPRD (Pasal 2). 3. Masa jabatan Presiden maksimal 2 (dua) kali periode (Pasal 7). 4. Pencamtuman Hak asasi Manusia (Pasal 28A s.d. 28J). 5. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung. 6. Penghapusan DPA diganti menjadi Dewan Pertimbangan, di bawah Presiden. 7. Penghapusan GBHN sebagai salah satu tugas MPR. 1. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK)dan Komisi Yudisial (KY) tercantum dalam Pasal 24B dan 24C. 2. Anggaran Pendidikan minimal 20% (Pasal 31). 10. Negara Kesatuan tidak boleh dirubah (Pasal 37). 11. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dihapus. 12. Penegasan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi ekonomi nasional. 3. Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara R.I. Berdasarkan landasan yuridis konstitusional, sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di negara republik Indonesia baik pada masa orde lama (1959 – 1966), orde baru (1966 – 1998) dan era reformasi (1998 s.d. sekarang) secara substantif tidak mengalami perubahan. Perbedaan pelaksanaan terletak pada cara pandang dan pemahaman rezim yang berkuasa serta kebijakan-kebijakan politik dan produk-produk hukumnya. Fokus Kita : Suatu sistem pemerintahan yang diterapkan oleh negara manapun baik sistem monarkhi, parlementer, maupun presidensial, tidak akan ada yang sempurna. Apapun sistemnya sepanjang dibuat oleh manusia pasti ada kelebihan maupun kelemahannya. Negara republik Indonesia yang berdiri sejak tahun 1945, hingga sekarang ini pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer. Namun pada akhirnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali ke sistem presidensial. Untuk dapat melihat secara komprehensif kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem pemeriantahan negara republik Indonesia, dapat dilihat pada berikut ini. Sistem Pemerintahan Presidensial Negara R.I. No Kelebihan Kelemahan 1. Adanya pernyataan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum dan sistem konstitusional. Hal ini telah memberikan kepastian hukum dan supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Produk hukum belum banyak memihak kepentingan rakyat demikian juga aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) masih ada oknum yang belum bekerja secara profesional sehingga dapat diajak berkolusi. 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan golongan (sekarang DPR dan DPD), berwenang mengubah UUD dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal ini pernah dilakukan karena Presiden dinilai telah melanggar haluan negara atau UUD 1945. Contoh : Presiden Soekarno (1967), Presiden B.J. Habibie (1999), dan Presiden K.H. Abdurachman Wahid (2002). Majelis Permusyawaratan Rakyat yang anggota-anggotanya terdiri anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan golongan (sekarang DPR dan DPD), merupakan lembaga negara yang sarat dengan muatan politis sehingga keputusan maupun ketetapan-ketetapannya sangat bergantung kepada konstelasi politik rezim yang berkuasa pada saat itu. Contoh pada masa orde baru, wewenang MPR untuk mengubah UUD tidak pernah dilakukan, meskipun banyak suara-suara rakyat yang menghendaki amandemen. Keputusan politik masa itu, dikeluarkannya Ketetapan MPR No.IV/MPR/1983 tentang Referandum bila ingin merubah UUD 1945 3. Jabatan Presiden (eksekutif) tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan DPR. Presiden dengan DPR bekerja sama dalam pembuatan Undang-Undang. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh, sehingga ada kecenderungan eksekutif lebih dominan bahkan dapat mengarah ke otoriter. Contoh : Pada masa orde lama, Presiden dapat membubarkan DPR dan lembaga-lembaga negara lain tidak berfungsi bahkan seakan menjadi pembantu presiden. Demikian juga pada masa orde baru, meskipun ada lembaga-lembaga negara lain namun kurang berfungsi sebagaimana mestinya. 4. Jalannya Pemerintahan cenderung lebih stabil karena program-program relatif lancar dan tidak terjadi krisis kabinet. Hal ini dimungkinkan karena kabinet (menteri-menteri) yang diangkat dan diberhentikan Presiden, hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Menteri-menteri adalah pembantu Presiden. Jika para menteri tidak terdiri dari orang-orang yang jujur, bersih dan profesional, program-program pemerintah tidak berjalan efektif dan populis (berpihak kepada rakyat). Hal ini akan berakibat munculnya arogansi kekuasaan, salah urus dan tumbuh suburnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Secara umum hal ini terjadi pada masa pemerintahan orde baru, meskipun harus diakui adanya keberhasilan di bidang pembangunan fisik. Suka Be the first to like this post. Masukan ini dipos pada Agustus 27, 2010 9:29 am dan disimpan pada Pelajaran PKn SMK Kls XII Smtr 1 . Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau trackback dari situs anda.

SEJARAH HUKUM

 







OLEH SWILLSOND M.KWALIK



Sejarah Hukum Internasional 1 Pendahuluan Perlu dibedakan konsep hukum internasional dalam praktek dan hukum internasional sebagai suatu dokumen tertulis dan/atau teori. Perbedaan ini terkadang menimbulkan persoalan yang dapat mengarah pada perdebatan yang tidak henti-heptinya. Di satu pihak hukum internasional mengatur hubungan antar subyek hukum untuk menjamin rasa keadilan, keamanan, dan ketertiban sedang di pihak lain sebagai suatu kenyataan dalam praktek bahwa begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh subyek hukum interriasional sehingga dirasakan oleh subyek hukum tertentu sebagai kondisi yang penuh dengan ketidakadilan, ketidakamanan, dan ketidaktertiban. Kondisi inilah yang mengundang pertanyaan, bagaimana perkembangan hukum internasional dan waktu ke waktu sampai era kontemporer. Berikut ini adalah uraian tentang sejarah hukum internasional secara kronologis beserta argumen-argumen dalam praktek hubungan antar bangsa. 2 Sejarah Hukum Internasional Dalam menguraikan sejarah perkembangan hukum intemasional sejak keruntuhan Romawi hingga abad kelima belas oleh para penulis Barat, sangat langka mengungkap peranan para ilmuwan dan kerajaan-kerajaan Islam ketika mencapai puncak kejayaan. Pada umumnya dalam memaparkan perkembangan sejarah hukum internasional pada periode abad pertengahan, mereka hanya mengungkap tokoh-tokoh dari Eropah Barat, setelah perkembangan di negara-negara Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Yahudi, langsung saja pada tokoh-tokoh yang dianggap pelopor hukum internasional di negara-negara Barat, seperti Santo Thomas Aquinas (1226-1274), De Vitoria (1486-1516) dan Suarez (1548-1617). Padahal, pada saat itu kerajaan-kerajaan dan ilmuwan Muslim pun ikut andil dalam membangun hukum internasional hingga pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ketujuh sampai dengan abad ketiga belas sementara Eropah masih ada dalam kegelapan dan keterbelakangan. Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan negaraAbasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropah lainnya. Namun, ada kesalahan persepsi karena tak pernah diungkap oleh sejarawan Muslim adalah mengenai kepemimpinan Arab yang dianggap telah menyerang dunia Katholik, terutama pada masa perluasan wilayah sampai ke daratan Eropah. Perlu diluruskan bahwa kalaupun ada operasi penaklukan, sebenarnya itu adalah inisiatif perorangan, tidak mencerminkan politik luar negeri secara keseluruhan. Tidak banyak terungkapkan tentang kontribusi Islam dalam praktek hukum intemasional pada masa silam, khususnya pads masa kejayaan negara-negara Islam, nampaknya karena lemahnya publikasi terutama oleh para sejarawan Muslim. Hamed A. Rabie (1981), seorang yang menulis “Islam and International Forces ” mengemukakan bahwa segala peristiwa penting yang terjadi sampai akhir abad 3 Hijrah – termasuk periode Harun Al-Rasyid – tidak mendapat tempat sama sekali dan tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan pemahaman dan persepsi politik yang membentuk pemikiran tentang kepemimpinan Islam. la pun mempertanyakan, apakah masuk akal suatu imperium yang mempunyai wilayah demikian luas tidak mempunyai konsep politik apa pun untuk hakikat dan segi-segi interaksi dengan dunia luar? la mencontohkan sebuah tulisan yang tak kurang pentingnya berjudul “Themes of Islamic Civilization ” (Tema-tema Peradaban Islam) yang ditulis oleh Alden Williams ternyata meninggalkan segala segi yang berhubungan dengan persepsi Islam terhadap dunia luar. Lebih lanjut, Hamed A. Rabie mengakui bahwa masalah hukum internasional dalam Islam belum merupakan obyek studi sampai sekarang. Menurutnya, ada dua fenomena yang perlu mendapat perhatian: Pertama, fenomena umum tulisan hasil karya Barat tentang sejarah hukum internasional pada abad pertengahan dengan sikap melupakan peranan yang pernah dimainkan oleh peradaban Islam dalam membina tradisi hukum internasional. Pada masa ini, konsep umum hukum internasional adalah konsep Yahudi. Katholik dan Islam tidak memiliki persepsi sendiri. Kedua, apabila menyelidiki tulisan-tulisan yang bernafaskan Islam, sekarang maupun terdahulu, tidak terdapat perhatian sungguh-sungguh terhadap dunia luar. Sesungguhnya, di negara-negara Islam tempo dulu banyak sarjana politik Islam yang telah menghasilkan karya-karya besar, seperti: 1) Al Farabi dari Transoxania (sekarang, Turkemania), yang hidup pads 260-339 H atau 870-950 M, seorang filsuf dan politikus terkenal dengan teorinya “Madinatu’l Fadilah” yang diterjemahkan menjadi Negara Utama (Model State). 2) Ibnu Sina (dalam tulisan Barat dikenal Avicenna) dan Belch (sekarang Afganistan), hidup pads 370-428 H atau sama dengan 980-1037 M, seorang dokter politikus, terkenal dengan teorinya “Siyasatu `rrajul” yang diterjemahkan menjadi Negara Sosialis (Socialistic State). 3) Imam Al Gazali dari Thus, Persia (sekarang, Iran), yang hidup pada 450-505 H atau 1058-1111, seorang sufi-politikus. la terkenal dengan teorinya “Siyasat ul Akhlaq ” yang terkenal dinamakan Negara Akhlak (Ethical State). 4) Ibnu Rusjd (dalam tulisan barat dikenalAverroes) dari Cordova, Andalusia (sekarang, Spanyol), yang hidup pada 520-595 H atau sama dengan 1126-1198 M, seorang hakim-politikus, terkenal dengan teorinya “Al Jumhuriyah wa’I Ahkam “, yang secara populer dinamakan pula “Negara Demokrasi” (Democtratic State). 5) Ibnu Kaldun dari Tunis (sekarang, Tunisia), yang hidup pada 732-808 H atau sama dengan 1332-1406 M, seorang sosiolog¬politikus yang terkenal dengan teorinya “Al Ashabiyah wa’1¬Igtidad ” yang lebih populer dengan “Negara Persemakmuran” (Welfare State). Teori yang paling terkenal yang ada kaitannya dengan topik bahasan/ studi hukum internasional dari kelima teori tersebut adalah “Madinatu’1 Fadilah” yang ditulis oleh Al Farabi. Dalam buku tersebut Al Farabi membagi tingkat-tingkat masyarakat manusia yang berbentuk negara atas tiga tingkatan sbb.: a. Kamilah Sugra (Masyarakat Kecil atau Negara Nasional) b. Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional) c. Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional) Namun Al-Farabi tidak secara rinci menjelaskan konsepsi dari tiga tingkatan bentuk negara. la hanya menyebut satu istilah untuk mayarakat kota yang sempuma dan diakui sudah berhak menj adi negara yang disebut “Madinah Kamilah”. Bertolak dari pemikiran Hamed A.Rabie ini, nampaknya ada kesalahan dalam menyajikan sejarah hukum internasional, terlepas apakah disengaja maupun tidak. Sebagai ilustrasi, di kalangan para ilmuwan dan para penulis Barat maupun mahasiswa di bidang studi hukum internasional telah dikenal bahwa St. Thomas Aquino (1226¬1274) dianggap telah memberi garis-garis besar (basic principles) bagi Negara Dunia. Bahkan dalam buku “Indonesia dan Hubungan Antarbangsa” yang ditulis oleh Sumarsono Mestoko (1985) dikemukakan bahwa Santo Thomas Aquinas adalah pelopor dalam hubungan dan hukum internasional. Padahal apabila mengungkap sejarah, ternyata St. Thomas Aquinas adalah murid yang setia dari Al Farabi dan pengikut dalam Aristotelianisme yang dihimpunkan oleh Al Farabi. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa teori negara dunia yang dikemukakan oleh para ahli kemudian adalah berasal dari faham Kamilah ‘Uzma Al Farabi. Sebagai seorang filsuf-politikus muslim, Al Farabi tentunya mengembangkan teorinya didasari oleh ajaran-ajaran Islam yang ada dalam Al Qur’ an. Di dalam Kitab Suci ini telah dikemukakan 5 prinsip hidup dalam lingkungan masyarakat internasional, yakni: 1) Tentang asal kejadian manusia dari kejadian yang lama (Cre¬ation of mankind from the same couple) yang tertera dalam QS An Nisa ayat 1 dan QS Al Hujarat ayat 13. 2) Seluruh umat manusia adalah umat yang satu (Mankind is one community) yang tertera dalam QS Al Baqarah ayat 213 dan QS Yunus ayat 20. 3) Panggilan Islam untuk seluruh manusia (Islam s universal call) yang diterangkan dalam QS Yusuf ayat 104, QS Takwir ayat 27, QS As Saba ayat 28, dan QS Al Anbiya ayat 107. 4) Tentang perbedaan kulit dan bahasa (Difference of color and language) yang diuraikan dalam QS Ar Rum ayat 22 dan QS Al Hujarat ayat 13. 5) Perintah hidup berlapang dada (Toleration par excellence) yang dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 62 dan QS Al Maidah ayat 69. 3 Zaman Hubungan Antar Negara Modern Masa kelahiran negara modem diawali oleh suatu gerakan Re¬naissance (Pencerahan) yang terjadi di Eropah dan sekaligus mengakhiri masa periode abad pertengahan (Middle Ages). Masa renaissance dianggap pula sebagai masa transisi dari mass kegelapan di Eropah (the Dark Ages) kepada masa negara-bangsa modem, eksplorasi, dan permulaan dalam bidang komersial. Renaissance disebut pula sebagai gerakan kebangkitan Eropah yang terjadi pada abad ke-14, dan mencapai puncaknya pads abad ke-15 dan 16 Masehi. Setelah lahimya pemikiran bare ini, hokum antar bangsa lebih banyak dilakukan melalui negara daripada melalui individu. Raja-raja di Eropah tidak lagi tunduk pada kekuasaan Gereja. Re- . naissance telah betul-betul merubah tatanan kehidupan yang biasa dilakukan pada abad pertengahan. Munculnya negara-negara modem ditandai dengan adanya pembentukan negara-negara besar dengan asas kedaulatan (Sovereighnty) yang menyatakan bahwa seorang penguasa di suatu wilayah negara mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak di daerah dan atau negaranya. Dengan demikian bangsa dan negara lain harus saling menghornati eksistensi dan integritas bangsa dan negara lainnya. Kelahiran negara-negara modem ini dimulai sejak adanya perjanjian perdamaian Westphalia (1648), yakni peristiwa yang mengakhiri perang selama tiga puluh tahun di Eropah. Negara¬negara Eropah pada saat itu mulai menginjakkan kaki di benua lain, Asia, Afrika, bahkan Amerika, dan memperoleh wilayah jajahan/ kolonial. Perkembangan hukum internasional pada abad ke- 16, 17, dan 18, secara teoritis banyak didominasi oleh para ilmuwan-ilmuwan Barat terutama dari Spanyol, Belanda dan Italia. Alberico Gentilis, seorang sarjana hukum dari Italia menerbitkan buku yang berjudul De Jure Belli Libri Tres (1958) sangat mempengaruhi terhadap pemikiran-pemikiran penulis berikutnya. Hugo de Groot (1583¬1645) atau dikenal pula dengan nama Grotius, seorang Belanda ahli hukum internasional modem karena berhasil menulis buku yang berjudul De Jure Praedae dan De Jure Belli Ac Pacis (1625). Selain itu, is pun mengemukakan konsepsi Mare Liberium (konsepsi laut bebas). Di Inggris, ahli hukurn intemasional yang beraliran posi¬tivist bernama Zouche (1590-1660) sedangkan yang lainnya adalah Puffendorf (1632-1694), seorang yang beraliran hukum kodrat.. Dengan kata lain, masa hubungan antarnegara modem ini ditandai oleh banyaknya lahir penulis-penulis hukum dan hubungan intemasional. 4 Zaman Abad Kesembilan Belas dan Dua Puluh (Super State Stage) Perkembangan hukum intemasional pads abad kesembilan belas mengalami perubahan bila dibandingkan dengan kondisi parla masa negara modem. Menurut Holsti (1983), hal yang paling menonjol dari perkembangan pads abad kesembilan belas adalah ditandai oleh adanya kebangkitan nasionalisme dari setiap negara-bangsa, adanya perang teknologi, dan terjadinya konflik ideologi. Apabila pada abad sebelumnya, banyak negarawan dan raja yang saling mempertukarkan wilayah secara mudah dengan kriteria pertimbangan strategi dan ekonomi, maka pada abad kesembilan belas, banyak pemimpin nasionalis yang berpendapat bahwa landasan yang sah untuk menentukan suatu organisasi politik (negara) adalah kelompok etnik atau kelompok bahasa yang jelas dan oleh karena itu negara harus berdasarkan pada alasan nasionalisme. Akibat adanya pengaruh ajaran nasionalis inilah, maka muncullah berbagai gerakan nasionalis di Eropah.. Berbagai pemberontakan kelompok nasionalis. terjadi di sejumlah negara, seperti Rusia, Austria-Hongaria, dan Swedia-Norwegia. Akibat lebih jauh dari gerakan nasionalisme adalah pemanfaatan masa oleh pemerintah atau pemimpin negara untuk melakukan mobilisasi rakyat dalam melakukan diplomasi dan peperangan. Padahal sebelumnya, pemerintah mengalami kesulitan untuk menggerakkan rakyatnya dalam rangka menggalang kekuatan nasional. Dalam bidang teknologi, negara-negara bangsa pada abad kesembilan belas mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi termasuk teknologi perang. Kemajuan dalam sistem persenjataan nuklir adalah kontribusi yang paling revolusioner dari bidang ilmu dan teknologi terhadap perang. Akibatnya, jumlah korban perang pun mengalarni peningkatan yang sangat drastis. Sedangkan, latar belakang terjadinya konflik bersenjata dipengaruhi pula oleh adanya konflik ideologi yang berbeda-beda, seperti munculnya doktrin Naziisme, Komunisme, dan Demokrasi Liberal. Pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, diadakan dua Konferensi Perdamaian di Den Haag (Belanda) masing-masing tahun 1899 dan 1907. Konferensi ini merupakan tonggak tentang konsepsi pergaulan dunia dan mencita-citakan atau melakukan pencegahan perang. Namun, akhirnya terjadi Perang Dunia 1 (1914-1918), sehingga seolah-olah telah menggagalkan hasil-hasil dari dua konferensi tersebut. Pada akhir Perang Dunia 1, masyarakat dunia berhasil mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang bertujuan untuk mencegah terulangnya kembali perang yang telah mengakibatkan banyak korban. Namun, upaya inipun temyata mengalami kegagalan, yakni sejak tahun 1933 ketika Jepang menyerbu Mancuria dan Italia menyerbu Ethiopia yang puncaknya terjadi Perang Dunia 2 yang meletus pada tahun 1939 sampai tahun 1945. Sistem hukum internasional pada abad kedua puluh ini disebut pula sebagai sistem global kontemporer. Perbedaan yang mencolok dari sistem hukum ini adalah ditandai oleh semakin pentingnya kedudukan organisasi internasional yang lahir dari adanya perjanjian antar negara. Menurut Holsti (1983), ada beberapa hal yang membedakan sistem internasional kontemporer dengan sistem Eropah pada abad sebelumnya: (1) meningkatnya jumlah tipe-tipe negara; (2) adanya potensi destruktif yang besar dari negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir; (3) semakin besarnya ancaman dari luar termasuk subversi, pengaruh ekonomi dan penaklukan militer; (4) makin pentingnya aktor-aktor non negara, seperti gerakan pembebasan nasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan internasional, dan partai-partai politik yang melampaui batas negara; (5) posisi yang menonjol yang telah dicapai oleh tiga negara non Eropah, ialah Uni Sovyet (sekarang Rusia), Cina, dan Amerika Serikat. Aktor-aktor non negara dapat meliputi organisasi interasional, organisasi internasional regional maupun gerakan multinasional. Aktor-aktor semacam ini dapat meliputi: Peserikatan Bangsa¬Bangsa, Gerakan Non Blok, Liga Arab, NATO, ASEAN, MEE, dan sebagainya.

UNSUR-UNSUR DAN CIRI-CIRI HUKUM







OLEH SWILLSOND M.KWALIK




Unsur-Unsur Hukum, Ciri-Ciri Hukum, dan Sifat Hukum Apabila kita perhatikan definisi-definisi hukum atau rumusan dari para sarjana hukum tersebut, pada dasarnya kita dapat menemukan adanya unsur-unsur hukum, ciri-ciri hukum, dan sifat hukum. a. Unsur-unsur hukum yang dimaksudkan adalah bahwa peraturan-peraturan hukum itu meliputi: 1). Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat; 2). Peraturan yang ditetapkan oleh badan-badan resmi negara; 3). Peraturan yang bersifat memaksa; 4). Peraturan yang memiliki sanksi yang tegas. b. Dalam rumusan mengenai hukum, kita menemukan ciri-ciri hukum seperti berikut: 1). Adanya perintah dan/atau larangan. Artinya, peraturan hukum itu mungkin berupa perintah dan mungkin pula berupa larangan, atau mungkin pula kedua-duanya; 2). Adanya keharusan untuk menaati peraturan hukum. Kewajiban ini berlaku bagi siapa saja. c. Hukum mempunyai sifat: 1). Mengatur, karena hukum memuat peraturan-peraturan berupa perintah dan/atau larangan yang mengatur tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat demi terciptanya ketertiban dalam masyarakat; 2). Memaksa, karena hukum dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya. Apabila melanggar hukum akan menerima sanksi tega

UNSUR-UNSUR ARA DALAM UNDANG-UNDANG

     







 OLEH SWILLSOND M.KWALIK






Unsur-Unsur yang Terdapat dalam Konstitusi Negara Indonesia Sumber dari segala sumber hukum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila. UUD 1945 memuat hal-hal pokok bagi penyelenggaraan pemerintahan dan bernegara. UUD 1945 sebagai landasan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial, sejahtera, demokratis. dan terlindungi oleh hukum. Sebagai Negara hukum menurut UUD 1945 ada tujuh unsur pokok, yaitu: 1. Unsur hukum ________________________________________ Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Itu berarti segala kegiatan dan perilaku dalam masyarakat Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, UUD 1945 hanya rnemuat aturan-aturan pokok, sedangkan pelaksanaan dituangkan kepada perundang-undangan yang ada di bawahnya. Ada tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia yaitu: a. UUD 1945 b. Ketetapan MPR (Tap MPR) c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) d. Peraturan Pemerintah (PP) e. Keputusan Presiden (Keppres) f. Peraturan pelaksana lainnya 2. Unsur Sistem Konstitusi Minya pemerintahan berdasar pada konstitusi (hukum dasar), tidak absolutisme (kekuasaan tidak terbatas). 3. Unsur Kedaulatan Rakyat Kedaulatan rakyat dipegang oleh MPR sebagai• penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, jadi MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi. 4. Unsur Persamaan Hak Setiap manusia Indonesia diakui memilki hak asasi yang sama, yang wajib mendapat perlindungan hukum, seperti yang tertuang pada pasal-pasal UUD 1945. 5. Unsur Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman haws mandiri dan bebas dari pengaruh atau tekanan dari kekuatan manapun 6. Unsur Pembentuk Undang-Undang Presiden dan DPR sebagai Lembaga Negara Pembentuk UndangUndang. Di samping Presiden adalah DPR. Presiden dan DPR mempunyai kedudukan yang sama. Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membuat Undang-Undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Dalam menjalankan tugas Presiden harus bekerja sama dengan DPR, tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. 7. Unsur Sistem Pemerintahan Presiden sebagai mandataris MPR yang berkewajiban melaksanakan Ketetapan-Ketetapan MPR. Presiden berhak membentuk kabinet, dan para menteri bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden berhak mengangkat dan memberhentikan Menteri (Pasal 17 UUD 1945). Presiden juga memegang kekuasaan Pemerintahan (Pasal 4 UUD1945).

KAJIAN FILSAFAT HUKUM TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

KAJIAN FILSAFAT HUKUM TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 
 Oleh : SWILLSOND M.KWALIK 


 Establishment of regulations in the area causing problems when the rule is applied. Some parties feel that the rules are there to organize and manage the region carried out only for the interests of certain groups. The fact that there are not any products that regulation can work well because the cause of conflict in society. Resulting in the cancellation of a regional regulation. Keywords: Essentials of Local Regulations A. LATAR BELAKANG. Salah satu unsur dalam agenda reformasi adalah penerapan sistem desentralisasi sebagai bentuk pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Melalui penerapan sistem desentralisasi, diharapkan daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sehingga tujuan perubahan sistem pemerintahan daerah, yaitu adanya peningkatan taraf kehidupan masyarakat di daerah dan kesejahteraan daerah serta terciptanya sistem pemerintahan daerah yang lebih baik dapat tercapai. Dalam kaitan tersebut, derah dituntut harus kreatif dalam menangani dan mengelola sumber daya, baik itu sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya yang dimiliki daerah. Dengan kreativitas yang dimiliki masing-masing daerah, diharapkan daerah mampu melakukan pembaharuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah masing-masing dan memajukan daerah itu sendiri. Harapan akan perubahan melalui pemberlakuan desentralisasi tidak serta merta mampu mengatasi krisis sosial ekonomi masyarakat, melainkan perubahan pasca reformasi yang berlangsung demikian cepat, menimbulkan permasalahan baru. Berbagai penafsiran dan pemaknaan yang keliru terhadap desentralisasi dikemukakan oleh banyak pihak, baik oleh aparatur penyelenggara pemerintahan di pusat maupun di daerah (legislatif maupun eksekutif), para akademisi maupun tokoh/pemuka masyarakat (adat, agama maupun budaya), yang berakibat pada timbulnya berbagai polemik dalam masyarakat. Masyarakat merasa penerapan prosedur administrasi yang oleh pemerintah terlalu berbelit-belit dan kontrol yang ketat. Masyarakat merasa bahwa kepentingan masyarakat yang hidup dan berkembang dalam praktek kehidupan selama ini harus diakomodir semuanya dalam peraturan perundang-undangan. Penataan potensi-potensi daerah oleh pemerintah daerah yang diberikan hak untuk membentuk produk peraturan daerah. Pembentukan peraturan bertujuan untuk mengakomodir kepentingan dan kebutuhan daerah dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan ciri khusus yang dimiliki daerah tidak berjalan dengan baik. B. METODE PENULISAN Metode yang digunakan dalam penulisan adalah dengan menggunakan tipe penelitian hukum normatif, yakni mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, asas, atau dogma-dogma, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan atau Statute Approach1 yang dijelaskan secara deskriptif berdasarkan permasalahan dengan berbagai aturan-aturan hukum dan literatur, serta mencari suatu opini hukum tentang masalah yang menjadi objek permasalahan. 1 Peter Mahmud Marzuki; Penelitian Hukum; Jakarta; Kencana Prenada Media Group; 2005; hal. 96 C. PEMBAHASAN 1. Kewenangan Pemerintah Daerah Membentuk Peraturan Daerah Secara etimologis, kata desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. United Nations (1962 : 3) decentralization refers to the transfer of authority away from I be nation capital wethwe by deconcenlralion (i. e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local bodies. Konsep tersebut menunjukkan bahwa Desentralisasi proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah melalui cara delegasi kepada pejabat-pejabatnya didaerah atau dengan devolusi kepada badan-badan otonom daerah. Sementara itu, dalam Encylopedia of the Social Sciences disebutkan bahwa the process of decentralization denotes the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from higher level of government to alower (Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislative, judikatif atau administratif). Sedangkan otonomi berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan, yang dapat diartikan secara harafiah otonomi dapat berarti hukum atau peraturan sendiri. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual indenpendence. Dalam pengertian ini ada 2 (dua) ciri hakekat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual indenpendence. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau condition of living under one’s own laws. Dengan demikian dengan adanya otonomi daerah, daerah yang memiliki kecakapan diri secara hukum (legal self Sufficiency) yang bersifat pemerintahan sendiri (self government) yang diatur oleh hukum sendiri (ownlaws). Melalui penerapan sistem desentralisasi, diharapkan daerah mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sehingga tujuan perubahan sistem pemerintahan daerah, yaitu adanya peningkatan taraf kehidupan masyarakat di daerah untuk mencapai kebahagiaan yang diharapkan setiap individu dapat tercapai. Dalam kaitan tersebut, derah dituntut harus kreatif dalam menangani dan mengelola sumber daya, baik itu sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya yang dimiliki daerah. Dengan kreativitas yang dimiliki masing-masing daerah, diharapkan daerah mampu melakukan pembaharuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah masing-masing dan memajukan daerah itu sendiri. Desentralisasi diharapkan mampu menjadi salah satu alat untuk mengatasi krisis di daerah. Berbagai potensi perubahan sosial-ekonomi yang ada dalam masyarakat harus didorong oleh pemerintah daerah, sehingga potensi itu dapat membantu daerah keluar dari krisis. Dalam konteks hubungan antara pusat dengan daerah, sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah bergeser dari sistem yang sentralistik menjadi sistem yang mengedepankan otonomi dengan berpijak pada prinsip desentralisasi. Penerapan prinsip desentralisasi sebagai dasar berpijak Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 16 penyelenggaraan pemerintahan daerah membangun konstelasi baru sistem otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab yang memberikan hak dan wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka peraturan daerah merupakan suatu tuntutan dari adanya hubungan antara pusat dan daerah dalam bentuk negara kesatuan berdasarkan prinsip otonomi. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan menjabarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan menghendaki adanya peraturan daerah yang sesuai dengan potensi dan keragaman daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memungkinkan pemerintah daerah dapat menetapkan peraturan daerah dalam batas kewenangannya, di bawah supervisi dan pengawasan ketat dari Pemerintah. Penataan potensi-potensi daerah oleh pemerintah daerah yang diberikan hak untuk membentuk produk peraturan daerah. Pembentukan peraturan bertujuan untuk mengakomodir kepentingan dan kebutuhan daerah dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan ciri khusus yang dimiliki daerah tidak berjalan dengan baik. Kepentingan masyarakat secara umum harus dapat ditata oleh pemerintah daerah melalui peraturan yang dibentuknya sehingga masyarakat dapat hidup dengan tertib dan damai. Pembentukan Peraturan Daerah mestinya juga memperhatikan dan mengacu pada peraturan-peraturan lain yang dalam hierarki peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Peraturan Daerah. Hal ini dimaksudkan untuk tidak memberikan dampak pada pembatalan terhadap Peraturan Daerah yang bentuk, karena bertentangan daengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan kepentingan masyarakat tersebut, maka Peraturan Daerah sebagai produk hukum di daerah seharusnya mengakomodir kepentingan masyarakat. Materi muatan Peraturan Daerah mestinya menjawab kebutuhan masyarakat untuk mencapai kebahagiaan, sehingga daerah harus kreatif dalam menata semua potensi yang dimilikinya untuk dikelola oleh semua masyarakat guna mencapai kebahagiaan itu. Kebahagiaan masyarakat pada kenyataan bukan saja merupakan ucapan oral semata, namun wujud kebahagiaan itu adalah kepemilikan dari masyarakat. Masyarakat akan merasa bahagia jika ia memiliki sesuautu dari apa yang diupayakannya. Peraturan Daerah memiliki kedudukan yang strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan bagi suatu daerah otonom berdasarkan prinsip otonomi dan tugas pembantuan. Dasar konstitusionalitas Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah merupakan atribusi kewenangan yang didasarkan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang menyebutkan bahwa: ”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam menyelenggarakan roda pemerintahan, maka bagi daerah diperlukan dasar hukum yang menjadi landasan bagi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai kewenangan daerah pun dilaksanakan berupa kewenangan daerah untuk menetapkan peraturan daerah. Sudah tentu kewenangan pembentukan peraturan daerah ini terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan seluruh urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Itu berarti, melalui peraturan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 17 tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan bidang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. 2. Hakekat Pembentukan Peraturan Daerah Pembentukan hukum tersebut harus didasarkan pada kebenaran fakta yang terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan kebenaran fakta tersebut pembentukan hukum harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap suatu aturan tertentu yang mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat. Menurut Samuel2 dalam bukunya Epistemology and Method in Law, mengemukakan bahwa pengetahuan hukum terdiri dari pengetahuan tentang aturan dan pengetahuan tentang konstruksi fakta. Objek ilmu hukum adalah model hukum dibangun dari fakta-fakta. Gagasan bahwa fakta-fakta cara dibangun secara internal menuju cara yang mereka demikian dipandang, mampu menciptakan dimensi normatif yang terpisah dari aspek normatif yang terikat pada aturan hukum. Konstruksi ini sebenarnya bisa dilihat sebagai semacam precategorisation sebelum fakta-fakta secara resmi ditugaskan ke kategori hukum yang didirikan. Bagaimana fakta sebenarnya dibangun pada tahap pra kategorisasi mungkin menjadi langkah aktif dalam proses mencapai solusi dalam kasus dan dengan demikian pembangunan - dan rekonstruksi - fakta-fakta sama pentingnya dengan mencari apapun, atau suatu aplikasi, aturan . Fakta-fakta dari kasus tidak fakta nyata. Mereka tidak situasi kehidupan nyata, tetapi kenyataan virtual karena objek ilmu hukum bukanlah fenomena dunia nyata (fakta-fakta nyata dari kasus). 2 Geofferey Samuel. 2007. Epistimology and Method in Law. Kent Law School, UK, Juridishe Bibliotheek University Utrecht. p. 115 Selanjutnya Samuel mengemukakan bahwa peran lembaga-lembaga hukum dan konsep merupakan pusat penyelidikan epistemologis dan metodologis hukum, dalam arti bahwa mereka bertindak sebagai jembatan antara dunia hukum dan fakta sosial. Ada tiga instansi fundamental: orang (persona), hal (res), dan tindakan (actio). Lembaga-lembaga ini bertindak sebagai tiga elemen struktur utama atau titik pelabuhan dalam suatu model dimana hubungan antara unsur-unsur yang memberikan ekspresi dengan sifat struktural dan spasial dari citra faktual. konsep hukum adalah model di mana itu adalah hubungan antara unsur-unsur yang memberikan ekspresi dengan sifat struktural dan spasial dari citra faktual. Pound dalam bukunya An introduction to the Philosopy of Law, mengemukakan bahwa terdapat dua macam kebutuhan telah mendorong pemikiran filsafat tentang hukum. Pada satu pihak, kebutuhan masyarakat yang besar akan keamanan umum, yang sebagai suatu kebutuhan akan adanya perdamaian dan ketertiban telah mendiktekan asal-usul dari hukum, telah mendorong manusia untuk mencari suatu dasar yang pasti berupa suatu aturan tertentu mengenai tindakan manusia yang dapat membendung tindakan sewenang-wenang baik dari hakim maupun individu, untuk akhirnya dapat mendirikan suatu susunan masyarakat yang teguh dan mantap. Pada lain pihak tekanan dari kepentingan masyarakat yang tidak begitu mendesak, dan kebutuhan untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan di bidang keamanan umum dan untuk secara tak henti-henti membuat kompromi-kompromi baru karena terjadi perubahan terus menerus dalam masyarakat telah selalu mengharuskan dilakukannya penyesuaian-penyesuaian, setidak-tidaknya mengenai rincian-rincian dari susunan masyarakat. Demikianlah para filsuf telah mencoba untuk menyusun teori-teori tentang hukum dan teori-teori tentang pembuatan hukum dan telah berusaha untuk mempersatukannya dengan menggunakan gagasan yang dapat memecahkan pokok persoalannya, seimbang dengan tugas untuk menghasilkan suatu hukum yang sempurna yang dapat berdiri terus-menurus untuk Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 18 selama-lamanya. Sejak saat pada waktu para pembentuk undang-undang melepaskan percobaan untuk mempertahankan keamanan umum, karena keyakinan bahwa kumpulan-kumpulan khusus dari hukum manusia telah diperintahkan oleh kekuasaan Illahi atau diwahyukan oleh kekuasaan Illahi atau diberi sanksi oleh kekuasaan Illahi, mereka telah bergelimang dengan masalah untuk membuktikan kepada manusia bahwa hukum itu adalah sesuatu yang pasti dan tentu. Bahwa kekuasaannya tidak dapat dipersoalkan lagi, meskipun pada saat yang bersamaan mungkin baginya untuk mengadakan penyesuaian secara tetap dan sekali-kali untuk mengadakan perubahan-perubahan yang radikal karena adanya tekanan dari keinginan-keinginan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan selalu berubah.3 3 Roscoe Pound. 1954. An Introduction to the Philosophy of Law. Yale University. New Haven and London Hukum adalah perintah penguasaan negara. Hakikat hukum menurut John Austin terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu, pihak penguasalah yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat memberlakukan hukum dengan cara menakuti dn mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkan. John Austin, pada mulanya, membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan dengan hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai hukum positif yang meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individual untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu perintah (Command), sangsi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty). Sementara menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan nilai-nilai etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (reine rechlehre). Jadi hukum adalah suatu kategori keharusan (sollens kategorie) bukan kategori factual (sains kategorie). Hukum baginya merupakan suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Teori hukum murni boleh dilihat bagai suatu pembangunan yang amat seksama dari aliran positivisme. Ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Teori hukum ini adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang seharusnya. Karena itu, menurut Hans Kelsen keadilan sebagaimana lazimnya dipertanyakan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep. Ideologis, suatu ideal yang irasional. Pendapat yang mengemukakan bahwa keadilan itu ada, ternyata tidak dapat memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan tindakan manusia. Ia tidak bisa menjadi subjek ilmu pengetahuan. Apabila dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, hanya ada konflik kepentingan-kepentingan. Dasar-dasar pokok pikiran teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut: pertama, tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity); kedua, teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 19 pengetahuan tentang hukum yang ada bukan tentang hukum yang seharusnya ada; ketiga, ilmu hukum adalah normatif bukan ilmu alam, keempat, sebagai suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari sisi yang berubah-ubah menurut jalan atau cara yang spesifik, dan keenam, hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada. Hans Kelsen juga dikenal sebagai pencetus teori berjenjang, (stuffen theory) teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar (grund norm). teori berjenjang ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawasky. Namun, lebih mengkhususkan pada pembahasan norma hukum saja. Sebagai penganut dari aliran positif, hukum dipahami identik dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa. Hukum harus dinamis, tidak boleh statis dan harus memberikan perlindungan kepada masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketenteraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan pembaharu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi kepada masa depan, hukum tidak boleh dibangun dengan berorientasi kepada masa lampau. Oleh karena itu, hukum harus dapat dijadikan pendorong dan pelopor untuk menata dan bila perlu mengubah kehidupan masyarakat kepada yang lebih baik dan bermanfaat untuk semua pihak. Pada tahapan kemapanan hukum hukum dipandang sebagai sesuatu yang memadai dengan sendirinya, gagasan hak-hak alami tampak menjelaskan secara kebetulan apa tujuan hukum dan memperlihatkan bahwa seharusnya terdapat sedikit mungkin tujuan hukum, karena itu adalah hambatan pada kebebasan dan bahkan hambatan yang paling kecil tersebut memerlukan pembenaran yang tegas. Jadi terlepas dari peningkatan secara sistematis dan formal, teori pembuatan hukum pada tahap kemapanan hukum adalah negatif. Hal itu terutama menyampaikan kepada kita bagaimana kita tidak boleh melakukan legislasi dan tentang persoalan-persoalan apa kita harus menahan diri untuk pembuatan hukum. Pound melihat bahwa meskipun tidak mempunyai teori pembentukan hukum yang positif, sehingga pada abad kesembilan belas kecil kesadaran mengharuskan atau menganut teori tentang tujuan hukum, dalam kenyataannya abad tersebut menganut teori tujuan hukum dan menganutnya secara teguh. Pound melihat bahwa gagasan-gagasan mengenai tujuan hukum pada masa itu sebagian besar tersirat dalam gagasan-gagasan tentang apakah hukum itu.tentang Tujuan Hukum, dibahas 12 konsepsi tentang hukum. Selanjutnya Pound mengemukakan gagasannya mengenai tujuan hukum. Gagasan Pound mengenai tujuan hukum ada 3, yaitu: 1. Pada tingkatan hukum primitif, hukum diadakan supaya terjaga ketenteraman di dalam suatu masyarakat tertentu, untuk menjaga Peraturan Daerahmaian dalam keadaan bagaimana saja dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja. 2. Menjaga perdamaian dan ketertiban hukum masyarakat. 3. Pemeliharaan status quo dalam masyarakat, yang menjadi konsepsi tujuan hukum pada bangsa Yunani, Romawi, dan bangsa bangsa Eropa pada abad pertengahan. Murphy4 juga memberikan pandangannya mengenai tujuan hukum. Menurut Murphy, tujuan hukum adalah untuk memberikan kebaikan bersama, 4 Murphy, Mark. C. 2007. Philosophy of Law, The Fundamentals, Blackwell Publishing. p. 16 Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 20 walaupun pada akhirnya Murphy dianggap kurang konsisten karena dalam bab 1 pada bukunya Philosophy of Law the Fundamentals, Murphy mengatakan bahwa tujuan hukum adalah menekankan untuk kebaikan bersama (tanpa ada pilihan lain) namun dalam bab 3, Murphy memberi pilihan terhadap tujuan hukum itu sendiri yakni dengan mengolongkan antara tujuan hukum dan kebaikan bersama. Menurut Kant5, hidup dalam arti sesungguhnya tidak terbatas pada apa yang dipraktekkan sehari-hari, tetapi harus dibedakan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya ada. Yang seharusnya ada inilah yang menjadi norma untuk bertindak. Kita tidak dapat hidup begitu saja dan menerima setiap praktek sebagaimana adanya, karena jika demikian, maka apa yang ada akan diterima sebagai hukum meskipun bersisat destruktif. Kant juga mengatakan bahwa manusia dengan bantuan rasio harus mampu menempatkan ideal hidupnya melampaui apa yang ada. Dengan kata lain, fakta tidak dapat serta-merta menjadi norma. 5 Immanuel Kant. 1965. Metaphysical Elements of Justice,dalam Andre Ata Ujan. 2009. Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan. Kanisius. Yogyakarta. h. 29-30. Adanya hukum yang berfungsi sebagai norma untuk mengatur relasi antar anggota masyarakat membuat manusia terikat dengan kewajiban dan tanggung jawab hukum. Keterikatan ini juga disebut kewajiban hukum (legal responsibilty). Keterikatan legal ini menjadi urgen karena faktanya bahwa manusia selalu hidup bersama orang lain. Eksistensi manusia adalah koeksistensi. Manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Hidup bersama orang lain dengan hak, kepentingan dan tuntutan yang berbeda-beda adalah kenyataan eksistensial. Keberagaman hak dan kepentingan serta ideal hidup berpotensi melahirkan konflik. Lebih dari itu, keterikatan legal juga menjadi penting karena manusia menemukan dirinya tidak semata-mata karena ia hidup untuk dirinya sendiri. Manusia menjadi berarti karena ia mau keluar dari dirinya dan menjadikan dirinya bermakna bagi orang lain. Dalam gaya paradox, manusia menjadi sempurna bukan karena ia terus berusaha menyempurnakan dirinya, melainkan karena ia terbuka membantu orang lain untuk berkembang dan menyempurnakan diri. Dalam interaksi aktif seperti inim keterikatan pada hukum sebagai norma perilaku menjadi penting karena ikatan moral saja pasti tidak mencukupi sebagai jaminan untuk membangun kerjasama yang saling menguntungkan di tengah kebaeragaman kepentingan. Menurut Jeremy Bentham6, manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia bergantung pada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagian ataukah tidak. Atas dasar itu, maka Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip ini peraturan perundang-undangan hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat, hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh (volwaarding), tidak seorang pun bernilai lebih (everybody to count for one, no body for more than one). 6 Friedmann, W. 1953. Legal Theory. Stevens and Sons Limited, 3rd Edition. p. 403. 7 Murphy, op.cit. p. 17-20 Menurut Murphy7, satu cara untuk mengikuti pengajaran tentang gambaran Austin mengenai hukum adalah meyakinkan yang lainnya bahwa hukum mampu memenuhinya, membuat lebih jelas dan tepat, yang paling umum adalah masalah sosial. Ketika kita teringat akan masalah kenyataan sosial yang ada, kita harus yakin untuk melihat kenyataan sosial Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 21 kita harus menggunakan keberadaan hukum. Kita mungkin bisa menyarankan, dikatakan Austin, bahwa dimana terdapat hukum maka disitu terdapat perintah dan kepatuhan. Seperti halnya: jika anda tidak mengatakan pada orang lain apa yang harus dilakukan maka orang tersebut akan tetap melakukannya, maka anda tidak memiliki hukum. Jadi, dalam menghadapi kenyataan sosial yang ada dalam bertindak dan mematuhi kita memerlukan hukum. Mari kita renungkan sejenak pengertian yang menjembatani bagaimana Austin mendefinisikan analisa mengenai pengalaman yang umum dan pemahaman tentang hukum. Hal ini terlihat benar ketika kita memasuki jenis hukum yang berupa seperti perintah (kita menggambarkan hukum seakan menyuruh kita melakukan apa yang dilakukan, memberi perintah atas kita dan seterusnya). Maka dari itu dikatakan bahwa Austin mampu menemukan sautu kesimpulan yang elegan untuk menjelaskan karakteristik dari hukum. Disisi kepatuhan, Austin dengan jelasnya mengatakan bahwa tidaklah cukup bagi orang – orang untuk mematuhi hukum pada satu kali waktu, atau sama seperti dua hal yang berbeda terjadi secara bersamaan. Kebiasaan untuk menjadi patuh pada orang yang lebih senior atau berkuasa. Maka, sebaiknya terdapat sebuah pembedaan antara hukum dan peraturan yang dibuat oleh orang tua untuk anaknya. Austin menyimpulkan bahwa hukum diberikan kepada orang-orang yang memiliki kebiasaan mematuhi peraturan. Sehingga hukum sendiri terdiri dari peraturan-peraturan umum yang dipikirkan oleh para petinggi/pejabat-pejabat yang ahli dibidangnya. Sudut pandang mengenai gambaran atau karakteristik tentang hukum cukup menjanjikan. Apa yang seharusnya kita simpulkan mengenai fakta sosial yang berhubungan dengan kekuasaan dan tujuan hal yang baik. Perhatikan, pada sudut pandang Austin, hukum menjadi ada karena adanya subyek yang mematuhinya karena rasa segan/hormat pada orang yang ditinggikan. Dan juga dikatakan bahwa terdapat suatu kekuatan didalam hukum tersebut yang kita kenal dengan sanksi. Menurut Murphy, Austin menjelaskan secara tidak langsung tentang hubungan hukum dengan tujuan yang baik, bahwa dimanapun hukum itu berada, hanya dibuat untuk kebaikan subyeknya. Hal ini sangatlah jarang sekali terjadi. Austin mencatat, bahwa hukum adalah tidak bijak, bodoh, membuang waktu, dan kuno. Dia menandai dengan pastinya, dan member contoh seperti hubungan antara hukum Tuhan dan manusia. Sebagai penjelasan hubungan antara hukum Tuhan dan hukum manusia adalah saling bertentangan dan tidak terikat. Sebagai contoh sangatlah dilarang oleh para petinggi jika terdapat seseorang yang divonis hukuman mati, jika saya melakukan hal ini, dan saya menolak hukuman tersebut, hal ini bertentangan dengan hukum Tuhan. Pengadilan tidak akan menghiraukan alasan saya, dengan menggantung saya, sebagai ganjaran atas usaha saya membujuk hukum dimana saya meragukan nilai hukum. Austin berpikir bahwa ini adalah hal yang biasa dari fakta sosial jika mungkin saja terdapat hukum-hukum dan yang setelah ini tidak menunjukkan contoh yang baik. Lalu, dapatkah Austin memenuhi hal yang harus diketahui khalayak umum bahwa hukum adalah bagi kepentingan bersama? Ia tidak memenuhinya dengan mengatakan bahwa tidak pernah ada hukum yang bertentangan dengan kepentingan bersama. Ia memenuhinya dengan memperlakukannya sebagai pembelajaran moral yang tegak lurus mengenai bagaimanakah seharusnya hukum itu. Menurut Austin, standar yang tepat adalah bahwa hukum harus dapat mencita-citakan apa yang sesuai dengan hukum yang berdasarkan ke Tuhanan. Berdasarkan pada prinsip-prinsip kebutuhan, hukum seharusnya dibuat dan diperbaharui dengan segala cara untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial secara menyeluruh. Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 22 Hasil karya H. L. A. Hart The Concept of Law mungkin adalah hasil karya terpenting dari filsafat hukum atas abad 20an. Efek penjelmaan dalam pelajaran ini secara besar-besaran dan dengan segera. Pandangan Hart, hukum adalah persoalan sosial, sebuah benda dari kehidupan sosial manusia, dan sebagai sebuah hasil tidak ada pembatas moral yang dibutuhkan atas apa yang berlaku sebagai hukum. Ia melafalkan sebuah konsep atas hukum alam yang sudah diberlakukan ke banyak garis-garis kecaman tetapi pada dasarnya masih terdengar. Menurut Larry Alexander dan Emily Sherwin8, suatu peraturan itu harus memenui beberapa hal, yaitu: Pertama aturan yang dibuat harus peka terhadap keberadaan masyarakat dan menjawab kebutuhan masyarakat, tujuan diadakannya aturan adalah untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan masyarakat, sehingga pengakuan dan kebutuhan masyarakat harus mampu diakomodir oleh aturan tersebut. Kedua, dalam pendekatan positivisme, hal tersebut harus dapat dipertimbangkan untuk dimasukan dalam muatan materi aturan yang akan dibentuk. Ketiga, alasan eksklusioner. Menurut Joseph Raz, aturan hukum dapat dipahami sebagai alasan untuk bertindak, artinya aturan hukum berfungsi sebagai “perintah kedua” yang mengecualikan alasan mengatur “perintah pertama” proses pertimbangan moral. Keempat, sanksi. Cara yang memungkinkan untuk mempersempit kesenjangan adalah untuk menerapkan sanksi bagi yang melanggar aturan. Kelima, kecurangan. Merupakan salah satu alasan kekhawatiran terjadinya penipuan dalam aturan karena hal itu dapat mempengaruhi kualitas pembahasan masalah hukum dan moralitas. 8 Larry Alexander and Emily Sherwin. 2001. The Rule of The Rules, Morality, Rules, and the Dilemmas of Law. Duke University Press. Durham and London. p. 53-61. D. P E N U T U P Pembentukan hukum tersebut harus didasarkan pada kebenaran fakta yang terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan kebenaran fakta tersebut pembentukan hukum harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap suatu aturan tertentu yang mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat. Objek ilmu hukum adalah model hukum dibangun dari fakta-fakta. Gagasan bahwa fakta-fakta cara dibangun secara internal menuju cara yang mereka demikian dipandang, mampu menciptakan dimensi normatif yang terpisah dari aspek normatif yang terikat pada aturan hukum. Konstruksi ini sebenarnya bisa dilihat sebagai semacam precategorisation sebelum fakta-fakta secara resmi ditugaskan ke kategori hukum yang didirikan. Bagaimana fakta sebenarnya dibangun pada tahap pra kategorisasi mungkin menjadi langkah aktif dalam proses mencapai solusi dalam kasus dan dengan demikian pembangunan - dan rekonstruksi - fakta-fakta sama pentingnya dengan mencari apapun, atau suatu aplikasi, aturan. Fakta-fakta dari kasus tidak fakta nyata, mereka tidak dalam situasi kehidupan nyata, tetapi kenyataan virtual karena objek ilmu hukum bukanlah fenomena dunia nyata (fakta-fakta nyata dari kasus). Dalam pendekatan penyerahan sebagaian urusan pemerintahan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah, maka negara mengakui keberadaan daerah sebagai organ negara yang menjalankan urusan pemerintahan di daerah. Penyerahan urana tersebut sekaligus dengan penyerahan kewenangan pembentukan Peraturan Daerah kepada penyelenggara pemerintahan di daerah. Hakekat muatan materi Peraturan Daerah yang mengakomodir kepentingan masyarakat di daerah guna mencapai suatu kebahagiaan yang terbesar kepada masyarakat, mesti dihargai oleh penyelenggara pemerintahan di pusat sebagai urusan penyeleggara pemerintahan di daerah dalam mengupayakan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada masyarakat di daerah. Victor J. Sedubun, Kajian Filsafat Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010 23 pengakuan tersebut pula maka daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah untuk menampung kondisi khusus kepada daerah dan mengatur kehidupan bersama masyarakat di daerahnya dalam pergaulan antar individu. Dengan pengakuan itu, maka pemerintah di pusat tidak lagi dapat mengintervensi pembentukan Peraturan Daerah, sekalipun muatan materi Peraturan Daerah yang dibentuk oleh penyelenggara pemerintahan di daerah terdapat pertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kecuali jika mutan materi tersebut bertentangan dengan konstitusi dan hakekat pembentukan Peraturan Daerah itu sendiri. Dengan demikian maka harus ada pengawasan preventif penyelenggara pemerintahan di pusat terhadap proses pembentukan Peraturan Daerah. DAFTAR PUSTAKA Alexander, Larry and Emily Sherwin. 2001. The Rule of The Rules, Morality, Rules, and the Dilemmas of Law. Duke University Press. Durham and London. p. 53-61 Bodenheimer, Edgar. 1970. The Philosophy and Method of The Law. 3rd ed. Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. Huijbers, Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanisius. Yogyakarta. -------------------. 1995. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. Friedmann, W. 1953. Legal Theory. Stevens and Sons Limited, 3rd Edition. Kant, Immanuel. 1965. Metaphysical Elements of Justice. Murphy, Mark. C. 2007. Philosophy of Law, The Fundamentals, Blackwell Publishing. Parekh, Bhikhu. 2000. Rethinking Multiculturalism, Cultural Diversity and Political Theory. Palgrave. New York. Posner, Richard A. 1993. The Problem of Jurisprudence, Havard University Press, Cambrigde, Massachusetts, London, England. Postema, Gerald J. 1986. Bentham and the Common Law Tradition, Clarendon Press. Oxford. p. 403. Pound,Roscoe. 1954. An Introduction to the Philosophy of Law. Yale University. New Haven and London. Samuel, Geofferey. 2007. Epistimology and Method in Law. Kent Law School, UK, Juridishe Bibliotheek University Utrecht. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

SURAT GUGATAN SEDERHANA




OLEH SWILLSOND M.KWALIK


Surat Gugatan Sederhana (ContoH) Posted in hukum by ratutebu on Desember 3, 2007 Tanjung Karang, 07 September 2007 Kepada : Yang terhormat Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di_ Jakarta Dengan Hormat, Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Asti Sri Purniyati, S.H., Advokat, berkantor di Jalan Kamboja No.3 Tanjung Karang Pusat, Bandar Lampung, berdasarkan surat kuasa tanggal 05 September 2007, terlampir, bertindak untuk dan atas nama : Calak bin Apes, bertempat tinggal di Jalan Arif Rahman Hakim No.38 Sukarame, Bandar Lampung, dalam hal ini memilih tempat kediaman hukum (domisili) di kantor kuasanya tersebut diatas. Hendak menandatangani dan memajukan surat gugatan ini, selanjutnya akan disebut PENGGUGAT. Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan terhadap: Datuk Rang Kayo bin Cekak, bertempat tinggal di Jl. Teuku Umar No.12 Jakarta Pusat, selanjutnya akan disebut TERGUGAT. Adapun mengenai duduk persoalannya adalah sebagai berikut : Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2007 tergugat telah mengadakan perjanjian jual beli mobil dengan penggugat, dengan merk Toyota Alphard dengan nomor polisi B 360 LU seharga Rp. 450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah), seperti terbukti dari perjanjian yang ditandatangani oleh Penggugat tertanggal 29 Agustus 2007 (vide bukti P-1, foto copy terlampir); Sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut diatas, Penggugat juga telah membayar Uang Panjer (Down Payment) sebagai tanda jadi sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai perjanjian, yaitu sebesar Rp.45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah) seperti terbukti dalam kwitansi tanda penerimaan uang tertanggal 29 Agustus 2007 (vide bukti P-2, foto copy terlampir); Dalam perjanjian tersebut diatas juga disepakati bahwa pelunasan akan dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sejak ditandatangani perjanjian yaitu jatuh pada tanggal 05 September 2007; Bahwa pada tanggal 01 September 2007, Penggugat berniat untuk melunasi harga yang telah disepakati tersebut, namun ketika Penggugat datang ke showroom milik penggugat oleh Customer Service yang pada saat itu bertugas pada Showroom milik Tergugat (Ibu Nina), mobil yang dimaksud dinyatakan telah terjual. Ternyata pada tanggal 31 Agustus 2007 Tergugat telah tidak menepati janjinya dengan melakukan transaksi penjualan terhadap mobil sebagaimana dimaksud dengan Sdr. Tukul bin Tajir seharga Rp. 650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana terbukti dalam kwitansi tanda penerimaan uang tertanggal 31 Agustus 2007 (vide bukti P-3, foto copy terlampir); Bahwa penggugat juga telah menyampaikan teguran secara lisan kepada tergugat, dan meminta pengembalian uang panjer (Down Payment) namun tergugat tidak mengindahkannya dan kemudian menawarkan untuk mengganti dengan kendaraan lain yang sama sekali tidak diinginkan oleh Penggugat; Bahwa atas perbuatan tergugat yang telah cedera janji (WANPRESTASI) tersebut, sudah jelas sekali tergugat telah menghina, membohongi, tidak memiliki itikad baik dan hal tersebut sangat merugikan bagi penggugat; Bahwa untuk kerugian tersebut, wajar penggugat meminta pengembalian uang panjer (down payment) secara utuh ditambah dengan tambahan kerugian imateriil sebesar 200% (dua ratus persen) dari uang panjer (Down Payment) yang telah disetorkan sebagai ganti rugi kepada tergugat. Maka berdasarkan segala apa yang terurai diatas, penggugat mohon dengan hormat sudilah kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan memutuskan: PRIMAIR : 1. Menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi berupa pengembalian uang panjer (Down Payment) dan kerugian imateriil sebesar Rp. 135.000.000,- (seratus tiga puluh lima juta rupiah) kepada penggugat dengan seketika dan sekaligus; 2. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara ini; 3. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) meskipun timbul verzet atau banding. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain : SUBSIDIAIR : Dalam peradilan yang baik, mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex acquo et bono). Hormat kuasa penggugat,

ILMU HUKUM DAN SEJARAH /FILSAFAT HUKUMHUKUM













 OLEH SWILLSOND M.KWALIK



ILMU HUKUM | SEJARAH FILSAFAT HUKUM SEJARAH FILSAFAT HUKUM Filsafat hukum dilandasi oleh sejarah perkembangannya yaitu yangmelihat kepada sejarah filsafat barat, dimulai dengan filsafat kuno dan terbagi dalam beberapa zaman seperti zaman Filsafat Pra – Sokrates, tokoh pertamanya adalah Thales (+ 625 -545 SM) dikuti dengan tokoh kedua yaitu Anaximandros ( + 610-540 SM) dan ada juga tokoh lain yang bernama Pythagoras (+ 580 – 500SM), Xenophanesa (+ 570-430SM), Herakleitosa (+ 540-475SM), Parmenidesa (+540-475SM), Zeno (490 SM), Empedoklis (492-432 SM), Empedokles (492-432 SM), Anaxagoras (499-420 SM) dan yang terakhir adalah Leukippos dan Demokritos, keduanya yang mengajarkan tentang atom. Akan tetapi yang paling dikenal adalah Demokritos (+ 460-370 SM) sebagai Filsuf Atomik. Perkembangan filsafat tersebut terus berkembang sampai kepada para ahli filsafat seperti kaum sofis dan Sokrates, Protagoras dan ahli sofis yaitu Gorglas yang terkenal diathena. Masih banyak lagi para ahli filsafat dari beberapa periode seperti pada masa Filsafat pada abad Petengahan, filsafat masa peralihan ke zaman moder dan Filsafat Modern.Akan tetapi perkembangan filsafat tersebut, sampai mengarah keakar fisafat hukum pada era abad ke 14-15, dimana filsafat hukum menjadi landasan ilmu-lmu hukum lainnya, seperti Ilmu Politik, Ekonomi,Budhaya dan lainnya. Demikianlah sekilas darai kata pengantar penulis didalam penulisan makalah yang berjudul “ Sejarah Filsafat Hukum Dan Perkembangannya”, semoga pula makalah Sejarah Filsafat Hukum ini, bermanfaat bagi kalangan mahasiswa dan kalangan Akademis pada umumnya, Terima Kasih. LATAR BELAKANG. Perkembangan Filsafat hukum dimulai dengan sejarah filsafat barat, yang merupakan filsafat kuna dan terbagi dalam beberapa zaman seperti zaman Filsafat Pra – Sokrates, tokoh pertamanya adalah Thales (+ 625 -545 SM) dikuti dengan tokoh kedua yaitu Anaximandros ( + 610-540 SM) dan ada juga tokoh lain yang bernama Pythagoras (+ 580 – 500SM), Xenophanesa (+ 570-430SM), Herakleitosa (+ 540-475SM), Parmenidesa (+540-475SM), Zeno (490 SM), Empedoklis (492-432 SM), Empedokles (492-432 SM), Anaxagoras (499-420 SM) dan yang terakhir adalah Leukippos dan Demokritos, keduanya yang mengajarkan tentang atom. Akan tetapi yang paling dikenal adalah Demokritos (+ 460-370 SM) sebagai Filsuf Atomik. Sampai kepada Perkembangan sejarah filsafat yang terkenal dengan para ahli filsafat, seperti kaum sofis dan Sokrates, Protagoras dan ahli sofis yaitu Gorglas yang terkenal diathena. Masih banyak lagi para ahli filsafat dari beberapa periode seperti pada masa Filsafat pada abad Petengahan, filsafat masa peralihan ke zaman modern dan Filsafat Modern. Perkembangan filsafat tersebut adalah merupakan sebagai akar dari fisafat hukum yaitu pada era abad ke 19, dimana filsafat hukum menjadi landasan ilmu-ilmu dibidang hukum, seperti Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi, dll.. page 1 / 12

perlindungan hukum terhadap tenaga kerja

  



By.SWILLSOND M.KWALIK





PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN ABSTRAKSI Masalah kemiskinan telah menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan bagi semua negara termasuk di Indonesia. Secara signifikan jumlah keluarga miskin juga semakin meningkat, yang salah satunya memberi dampak dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Timbulnya pekerja anak antara lain dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat. Mempekerjakan anak tidak juga selalu berdampak negatif, karena dengan anak bekerja dapat melatih kemampuan fisik, mental, sosial serta intelektualitas anak. Meskipun dalam prakteknya tidak dapat dihindari banyak terjadinya diskriminasi ataupun eksploitasi yang dialami oleh pekerja anak. Pekerja anak tidak selalu bekerja dalam sektor formal, namun pekerja anak justru lebih banyak yang berkecimpung di luar sektor formal (informal) sehingga tidak adanya hubungan kerja yang jelas. Di bidang ketenagakerjaan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pekerja anak diatur dalam Pasal 68-75. berdasar atas latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitianyang menitikberatkan dari aspek normatif yaitu bagaimana Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak. Undang ini memberikan ketentuan bagi pemberi kerjayang mempekerjakan anak untuk memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 (2), antara lain: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian tertulis anatara orang tua/wali dengan pengusaha, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah, menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, ada hubungan kerjayang jelas, serta menerima ketentuan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun ketentuan mengenai pekerja anak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ini belum memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi anak yang bekerja di luar sektor formal (informal), hal ini disebabkan karena ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemerintah untuk menanggulangi anak yang bekerja di luar sektor formal, hingga kini belum dikeluarkan peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam. Dalam upaya memenuhi berbagai kebutuhannya itu manusia dituntut untuk bekerja, karena dengan bekerja dapat diperoleh suatu penghasilan. Pekerjaan tersebut dapat diusahakan secara sendiri maupun dengan bekerja padaorang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri maksudnya adalah bekerja atas modal dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan bekerja pada orang lain bergantung pada orang lain yang memberi perintah dan mengutusnya dan harus tunduk dan patut pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut. Bekerja pada orang lain inilah yang berkaitan dengan Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan adalah sebagian dari hukum yang berlaku (segala peraturan-peraturan) yang menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaannya, mengenai tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut. Pada dasarnya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Namun di era perkembangan teknologi yang semakin pesat seperti saat ini, persaingan tidak lagi dapat di hindari. Jurang perbedaan antara kaya dan miskin semakin jelas terlihat di Indonesia. Masalah kemiskinan telah menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan bagi semua negara termasuk di Indonesia. Secara signifikan jumlah keluarga miskin juga semakin meningkat, yang salah satunya memberi dampak dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Pekerja anak merupakan masalah yang cukup kompleks. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kondisi anak, keluarga dan budaya masyarakat. Namun demikian, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan ternyata berhubungan positif dengan kecenderungan anak untuk bekerja. Selainfaktor kemiskinan, faktor budaya juga tampaknya turut berpengaruh terhadap kecenderungan anak untuk bekerja. Banyak orangtua yang berpendapat bahwa bekerja merupakan proses belajar yang akan berguna bagi perkembangan anak di kemudian hari. Anak yang bekerja merupakan salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumah tangga (Household Survival Strategy). Hal ini terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin di perkotaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan sumberyang tersedia. Salah satu upaya untuk beradaptasi dengan kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Akibatnya banyak orang tua harus rela melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu meningkatkan perekonomian keluarga. Problematika pekerja anak dalam skala dunia merupakan masalah sosialyang cukup pelik bagi semua negara. Bagi yang bersangkutan, di usia mereka yang semestinya dipergunakan untuk menuntut ilmu dan menambah keterampilan di sekolah, bahkan untuk bermain dengan anak seusianya, justru digunakan untuk bekerja. Anak yang bekerja merupakan salah satu gambaran betapa rumit dan kompleksnya permasalahan anak. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Peran pemerintah, masyarakat dan lembaga terkait akan semakin signifikan dalam menangani permasalahan pekerja anak ketika orangtua dalam kemiskinan akut. Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anakyang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anakyang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaanserta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dariorang tua, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Perlindungan anak tersebut berkaitan erat untuk mendapatkan hak asasi mutlak dan mendasar yang tidak boleh dikurangi satupun atau mengorbankan hak mutlak lainnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia seutuhnya bila ia menginjak dewasa, dengan demikian bila anak telah menjadi dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami mengenai apayang menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anakyang baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan hukum positif mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan seutuhnya tersebut. Pekerja anak butuh perlindungan lebih, mengingat keadaan anak yang masih lemah baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektualitas. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan saja menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak, tetapi juga masyarakat dan negara. Karena pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral meliputi nilai-nilai normatif yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Semakin meningkatnya jumlah pekerja anak yang digunakan oleh perusahaan, berdampak semakin berkurangnya kesempatan kerja bagi pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena akibat dari hasil produktifitas pekerja anak ternyata tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja dewasa. Dari aspek ekonomi, pihak pengusaha sangat diuntungkan dengan banyaknya pekerja anak, yaitu dengan pembayaran upah yang rata-rata lebih rendah, mereka juga tidak banyak menuntut bahkan tidak mengetahui apa yang sebenarnya menjadi haknya sebagai pekerja. Dampak lain dari semakin meningkatnya jumlah pekerja anak adalah dapat memicu hambatan dinamika proses pembangunan Sumber Daya Manusia di masa mendatang. Dampak yang sangat besar terkait dengan Sosial Cost yang diderita pekerja anak dan hilangnya kesempatan untuk memasuki dunia sekolah. Eksploitasi anak juga semakin sering dijumpai karena banyak dari mereka yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja yang sebenarnya dapat memberikan peningkatan kesejahteraan mereka. Pemerintah bersama legislatif telah mengeluarkan sebuah peraturan tentang Ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dan pemberi kerja. Terkait dengan pekerja anak, Undang-Undang ini memberikan pengertian dalam Pasal 1 Angka 26 menyebutkan bahwa Anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Maka dapat diartikan bahwa pekerja anak adalah mereka yang bekerja dalam usia di bawah 18 tahun. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Mengenai pekerja anak Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini telah memberikan ketentuan larangan bagi siapapun untuk mempekerjakan atau melibatkan anak-anak dalam bentuk pekerjaan terburuk. Namun mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dianggap “pekerjaan terburuk” tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam suatu Undang-Undang melainkan ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003. Pasal 3 dalam KEPMEN tersebut menetapkan usia 15 (lima belas) tahun atau lebih sebagai usia kerja anak, dan melarang anak usia dibawah 18 (delapan belas) tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka. Undang-Undang ini juga hanya memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yang bekerja pada sektor formal dan hanya mewajibkan pengusaha atau pengguna jasa pekerja formal untuk mematuhi Undang-Undang mengenai perjanjian kerja, upah minimum, lembur, jam kerja, istirahat, dan hari libur. Sedangkan pekerja anak yang bekerja di luar hubungan kerja (sektor informal) tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, melainkan masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai peraturan guna menciptakan ketertiban dan keamanan di masyarakat. Namun dalam implementasinya tidak semua peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya oleh para pelaksana undang-undang yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Berkaitan di bidang ketenagakerjaan seharusnya pembangunan ketenagakerjaan dibangun sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi pekerja/buruh sehingga pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Upaya penanggulangan terhadap pekerja anak dapat dilakukan secara terpadu antar sektor di pusat dan daerah. Penanggulangan pekerja anak merupakan dilema pemerintah, di satu sisi pemerintah ingin melarang pekerja anak dan mengharapkan semua anak usia sekolah dapat mengembangkan intelektualitasnya di sekolah untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu di masa depan, sementara di sisi lain pemerintah pun tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga miskin sehingga mengijinkan anak-anak yang terpaksa harus bekerja. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin melakukan penelitian yang menitikberatkan kepada perlindungan hukum terhadap pekerja anak dengan judul: ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN” B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu : Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan? C. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pekerja anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait sebagai berikut : 1. Kegunaan praktis untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan dan untuk memberikan informasi dan menambah pemahaman serta kesadaran masyarakat terutama bagi pemberi kerja (pengusaha) khususnya terkait dengan perlindungan hukum pekerja anak. 2. Kegunaan teoritis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan guna memberikan penambahan pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan terutama berkaitan dengan masalah yang diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Administrasi Negara Secara Umum 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara Kata administrasi berasal dari bahasa Inggris ”administration” yang pada mulanya berasal dari bahasa Latin ”administrare” yang berarti ”to serve” atau melayani. Pengertian Administrasi dalam arti sempit berarti segala kegiatan nulis menulis, catat-mencatat, surat-menyurat, ketik mengetik serta penyimpanan dan pengurusan masalah-masalah yang hanya bersifat teknis ketata-usahaan belaka. Jadi pengertian Administrasi dalam arti sempit sama artinya dengan tata usaha. Administrasi dalam arti luas menurut Leonard D. White dalam bukunya ”Introduction on the Study of Public Administration” mendefinisikan administrasi sebagai suatu proses yang umumnya terdapat pada semua usaha kelompok, negara atau swasta sipil atau militer, usaha yang besar atau kecil. Menurut C.S.T Kansil ada 3 arti administrasi yaitu : a. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau instansi politik (kenegaraan) artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah, mulai dari Presiden, Menteri (termasuk Sekjen, Irjen, Gubernur, Bupati dan sebagainya) pokoknya semua organ yang menjalankan administrasi negara ; b. Sebagai fungsi atau sebagai aktifitas yaitu sebagai kegiatan pemerintahan artinya sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara ; c. Sebagai proses teknis penyelenggaraan Undang-Undang meliputi tindakan aparatur negara dalam menjalankan Undang-Undang. Pemerintah dalam arti sempit adalah organ atau alat perlengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan Undang-Undang. Dari pengertian ini pemerintah hanya berfungsi sebagai badan Eksekutif (Eksekutif atau Bestuur). Sedangkan pemerintah dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif. Jadi semua pemegang kekuasaan dalam negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif seperti teori Trias Politika dari Montesquieu) adalah termasuk pemerintah dalam artinya yang luas. Menurut Utrecht dalam buku ”Pengantar Hukum Administrasi Negara” dalam Teori Sisa (Residu Theory), administrasi negara sebagai complex ambten/apparaat atau gabungan jabatan-jabatan administrasi yang berada dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian tugas pemerintah yang tidak ditugaskan pada badan peradilan dan pembuat Undang-Undang dan badan pemerintah yang lebih rendah. Menurut G. Pringgodigdo, pengertian HAN mencakup 3 (tiga) unsur yaitu: 1. Hukum Tata Pemerintahan (HTP) yaitu eksekutif atau aktivitas eksekutif atau tata pelaksanaan Undang-Undang, 2. Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam arti sempit yaitu tentang tata pengurusan rumah tangga negara (rumah tangga negara di maksudkan, segala tugas-tugas yang ditetapkan dengan Undang-Undang sebagai urusan negara); dan 3. Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang berkait dengan surat menyurat atau kearsipan. Sedangkan E. Utrecht mengemukakan bahwa HAN itu mempunyai obyek : 1. Sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat perlengkapan negara yang satu dengan alat perlengkapan negara yang lain. 2. Sebagian aturan hukum mengenai hubungan hukum antara perlengkapan negara dengan perseorangan privat. HAN juga adalah perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat negara melakukan tugasnya yang istimewa. Dengan kata lain bisa di kemukakan bahwa: a. Obyek Hukum Administrasi Negara adalah semua perbuatan yang tidak termasuk tugas mengadili, meskipun mungkin tugas itu dilakukan oleh badan di luar eksekutif; bagi HAN yang penting bukan siapa yang menjalankan tugas itu tetapi adalah masuk ke (bidang) manakah tugas itu. b. Hukum Administrasi Negara merupakan himpunan peraturan-peraturan istimewa. 2. Sumber-sumber hukum administrasi negara Pada umumnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat diketemukannya aturan hukum. Sumber hukum itu bisa dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya atau dilihat dari bentuknya. a. Sumber hukum materiil HAN Sumber hukum materiil adalah faktor-faktor yang ikut mempengaruhi isi dari aturan hukum adalah historik, filosofik, dan sosiologis atau antropologis. 1) Sumber historik (Sejarah) Dari studi sejarah ini ada dua jenis sumber hukum, yaitu: 1. Undang-Undang dan sistem hukum tertulis yang berlaku pada masa lampau di suatu tempat. Karena ada unsur yang dianggap baik maka hukum yang berlaku pada masa lalu itu oleh pembuat undang-undang dapat dijadikan materi Undang-Undang dan diberlakukan sebagai hukum positif. 2. Dokumen-dokumen dan surat-menyurat serta keterangan lain dari masa itu sehingga dapat diperoleh gambaran tentang hukum yang berlaku di masa itu yang mungkin dapat diterima untuk dijadikan hukum positif saat sekarang. Sumber hukum dari sudut historik ini yang paling relevan adalah Undang-Undang dan sistem hukum tertulis di masa lampau. Sebab Undang-Undang dan sistem hukum tertulis itulah yang merupakan hukum yang benar-benar berlaku, sedangkan dokumen dan surat-surat keterangan hanya bersifat mengenalkan hukum yang berlaku di masa lampau. 2) Sumber sosiologis (Antropologis) Dari sudut sosiologis/antropologis ditegaskan bahwa sumber hukum materiil itu adalah seluruh masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa dari sudut sosiologis/antropologis ini yang dimaksud dengan sumber hukum adalah faktor-faktor dalam masyarakat yang ikut menentukan isi hukum positif, faktor-faktor mana meliputi pandangan ekonomis, pandangan agamis dan psikologis. 2) Sumber filosofis Dari sudut filosofis ada dua masalah penting yang dapat menjadi sumber hukum, yaitu : 1. Ukuran untuk menemukan bahwa sesuatu itu bersifat adil. Karena hukum itu dimaksudkan antara lain untuk menciptakan keadilan maka hal-hal yang secara filosofis dianggap adil dijadikan juga sumber hukum materiil. 2. Faktor-faktor yang mendorong seseorang mau tunduk pada hukum. Hukum itu diciptakan agar ditaati, oleh sebab itu semua faktor yang dapat mendorong seseorang taat pada hukum harus diperhatikan dalam pembuatan aturan hukum positif. b. Sumber hukum formil HAN Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang berasal dari aturan-aturan yang sudah mempunyai bentuk sebagai pernyataan berlakunya hukum. Dengan demikian sumber hukum formil ini merupakan pemberian bentuk pernyataan bahwa sumber hukum materiil deinyatakan berlaku. Berarti bahwa sumber hukum materiil bisa berlaku jika sudah diberi bentuk atau dinyatakan berlaku dengan hukum formil. Sumber-sumber hukum formil dari Hukum Administrasi Negara adalah: 1. Undang-Undang (Hukum Administrasi Negara Tertulis) ; 2. Praktek Administrasi Negara (Konvensi) ; 3. Yurisprudensi ; 4. Doktrin (Anggapan/Pendapat Para Ahli Hukum). 3. Asas-Asas HAN 1. Asas Legalitas, diwujudkan dalam ositivitas hukum (dinormakan) dalam suatu aturan yaitu Undang-Undang yang bertujuan membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi hak asasi warga masyarakat. 2. Asas Larangan Detaurnement De Povoir (penyalahgunaan kewenangan). Maksudnya bahwa administrasi negara dalam menyelenggarakan kekuasaannya/pemerintahannya harus senantiasa mendasarkan pada kewenangannya. Oleh karena itu keabsahan tindak pemerintah harus berdasarkan kewenangannya menurut hukum. Dalam HAN dikenal 3 (tiga) sumber kewenangan yaitu ; a. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintah (HD. Van Wijk) atau pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan. b. Delegasi, yaitu pelimpahan suatu wewenang atribusi kepada badan/pejabat lain, artinya wewenang yang sudah ada pada badan/pejabat pemerintah yang telah memperoleh wewenang secara atributif deserahkan pada pejabat atau badan yang lain. Tanggung jawab beralih pada pemegang delegasi. c. Mandat, yaitu wewenang atribusi maupun delegasi dapat dimandatkan pada pegawai apabila pejabat/badan yang memperolah kewenangan tersebut tidak sanggup melakukannya sendiri. Pemberi mandat (mandans) tetap berwenang untuk melakukannya sendiri wewenangnya sewaktu-waktu dan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh mandataris (yang diberi mandat). 3. Asas Larangan Exes De Povoir, yaitu pemerintah dalam menyelenggarakan kewenangannya dilarang melampaui batas. 4. Asas Kesamaan, yaitu memberikan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi kepada warga masyarakat. 5. Asas Pemberian Sanksi, dalam hukum administrasi negara sanksi dapat meliputi : a. Bestuursdwang/paksaan pemerintah/upaya paksa pemerintah b. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan. c. Denda administrasi. d. Dwangsom/uang paksa. 6. Asas Freies Ermessen, yaitu asas yang menghendaki kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri administrasi negara tanpa terikat Undang-Undang yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Dengan adanya kewenangan bagi admnistrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi negara melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat (yang dalam HAN dikenal dengan perbuatan Maladministrasi). Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik (AUPB) lahir sebagai bentuk kekhawatiran Freies Ermessen dalam mewujudkan Welfare State atau Social Rechtstate di Belanda. Ajaran AUPB atau Algemene Beginselen Van Berhoorlijk Bestuur dikembangkan oleh Ilmu Hukum dan Yurisprudensi baik di lingkungan Administrasi Negara maupun putusan pengadilan. Jadi perlu di tegaskan bahwa AUPB ini belum pernah dituangkan secara resmi di dalam peraturan perundang-undangan sehingga AUPB kekuatan hukumnya secara yuridis formal belum ada. Jika diatas dikemukakan bahwa dalam produk perundang-undangan yang baru istilah tersebut digunakan secara tegas itu hanya menyangkut penyebutan istilahnya saja yang materi-materinya berserakan diberbagai peraturan perundangan atau yurisprudensi. Jadi tidak ada peraturan formal khusus tentang AUPB ini. Dengan demikian AUPB ini secara utuh hanya lebih mengikat secara moral atau sebagai sumber hukum ia lebih bersifat doktrinal. Adapun AUPB ini dapat dikategorikan ke dalam tiga belas asas yaitu: 1. Asas Bertindak Cermat ; 2. Asas Motivasi ; 3. Asas Kepastian Hukum ; 4. Asas Kesamaan ; 5. Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal ; 6. Asas Menanggapi penghargaan yang wajar ; 7. Asas Kebijaksanaan ; 8. Asas Jangan mencampuradukkan kewenangan ; 9. Asas Keadilan dan Kewajaran ; 10. Asas Penyelenggaraan kepentingan umum ; 11. Asas Keseimbangan ; 12. Asas Permainan yang layak ; 13. Asas Perlindungan. 4. Konsep Negara Welfare State Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai setiap negara adalah bagaimana memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Agar tujuan tersebut dapat dicapai, maka dalam menggerakkan roda penyelenggaraan pemerintahan diperlukan organ atau perangkat sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. Ciri-ciri atau persyaratan negara hukum yang baru (Welfare State) adalah : 1. Perlindungan Konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin itu ; 2. Badan kehakiman yang bebas (Independent and Inpertial Tribunals) ; 3. Pemilihan umum yang bebas ; 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat ; 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi ; 6. Pendidikan kewarganegaraan. Konsep ini menganut prinsip Staatsbemoeiinis yaitu tidak mengenal pemisahan antara negara dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat (lawannya prinsip Staatssonthouding). Serta dikenal adanya fungsi Bestuurzorg yakni fungsi Public Service untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Dalam konsep Welfare State, Administrasi Negara diwajibkan untuk berperan secara aktif diseluruh segi kehidupan masyarakat. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk (menciptakan) kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan. 5. Hukum Ketenagakerjaan Dalam Hukum Administrasi Negara Konsep Welfare State atau Social sevice-state merupakan konsep yang dianut oleh negara Indonesia sebagai negara hukum. Mengingat negara Indonesia memenuhi ciri-ciri atau persyaratan negara Welfare State sebagaimana disebutkan diatas. Konsekuensi dari diterapkannya konsep Welfare State ini mengakibatkan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN) menjadi semakin luas, sehingga tugas, fungsi, dan wewenang administrasi negara juga semakin besar dan luas. Konsep negara ini mengharuskan pemerintah bertanggung jawab secara intensif untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negaranya agar mencapai suatu standar hidup minimal. Negara hukum pada abad modern ini memperlihatkan bahwa Hukum Administrasi Negara maupun Pejabat Administrasi Negara memegang peranan yang begitu besar, karena negara hukum modern ini memberi kebijaksanaan pada penguasa untuk menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara langsung, sehingga fungsi negara disini bersifat aktif dalam mengurus kepentingan masyarakat. Dengan demikian, negara kesejahteraan melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warganya adalah merupakan suatu conditio sine quanon. Rangkaian peraturan mengatur aktivitas para administrasi negara dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat yang pada akhirnya bertujuan menciptakan suatu kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh warga negara, hal tersebut merupakan fokus kajian dari ilmu Hukum Administrasi Negara. Berdasar konsepsi dasar tersebut terlihat bahwa Hukum Administrasi Negara memiliki lingkup kajian yang sangat luas di berbagai bidang, baik publik maupun privat. Salah satu cabang dari bidang kajian Hukum Administrasi Negara ialah mengenai bidang Ketenagakerjaan. Aspek pekerjaan merupakan salah satu elemen terpenting manusia dalam hidup bermasyarakat, karena pada dasarnya dengan pekerjaan lah dapat diperoleh suatu penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup yang pada akhirnya dapat terciptanya suatu kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Berdasar pada pemikiran tersebut, dapat terlihat peran dan fungsi dari pemerintah sebagai administrasi negara, yaitu bagaimana aktivitas dari mereka sebagai pelaksana fungsi public service dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya dibidang ketenagakerjaan. Melalui kebijakan-kebijakannya pemerintah berwenang untuk menentukan dan mengatur sistem melalui sebuah peraturan dibidang ketenagakerjaan yang pada akhirnya dapat menjadi sebuah fasilitas dan perlindungan hukum bagi warga masyarakat sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya. Secara fungsional pemerintah sebagai administrasi negara termasuk dalam 3 (tiga) unsur utama dalam bidang ketenagakerjaan bersama buruh/pekerja dan pengusaha/perusahaan, yang kemudian lazim disebut sebagai tripatrit ketenagakerjaan. Dalam menjalankan perannya pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengatur sistem dari ketenagakerjaan itu sendiri, termasuk menciptakan kerangka aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap unsur ketenagakerjaan, salah satu bentuk konkritnya ialah lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melalui asas keterpaduan dengan koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, pada akhirnya pemerintah mempunyai amanat untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat melalui bidang ketenagakerjaan. Tugas, fungsi, dan kewenangan dari pemerintah tersebutlah yang menjadi salah satu fokus kajian dari Hukum Administrasi Negara yang pada tataran spesifiknya memiliki hubungan yang sinergis dengan hukum ketenagakerjaan. Campur tangan pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan ini telah menyebabkan sifat hukum perburuhan/ketenagakerjaan menjadi ganda yakni privat dan publik. Berdasarkan tujuan dari konsep negara welfare state sebagaimana yang dianut oleh Indonesia maka pemerintah Indonesia harus menjamin kesejahteraan dan kemakmuran warga negaranya. Hal tersebut dapat dituangkan melalui berbagai kebijakan pemerintah, sesuai dengan persyaratan negara hukum yang baru (Welfare State) yaitu dengan adanya Perlindungan Konstitusional dalam arti bahwa konstitusi yang dikeluarkan harus menjamin hak-hak individu yang juga harus menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin itu. Maka disini fungsi negara bersifat aktif dalam mengurus kepentingan masyarakat, yang dengan demikian dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara merupakan suatu syarat mutlak yang harus ada. Walaupun pemerintah dituntut untuk menjamin kesejahteraan bagi warga negaranya, pemerintah juga tidak dapat menghindari bahwa kemiskinan tetap melanda di Indonesia. Masalah kemiskinan telah menjadi polemik yang berkepanjangan bagi semua negara. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 telah memberikan dampak yang sangat signifikan, khususnya masalah kemiskinan yang tentunya mengalami peningkatan. Jumlah peningkatan keluarga miskin yang semakin mengalami peningkatan ini tentunya juga memberikan dampak yaitu salah satunya dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Kewajiban untuk membantu keluarga timbul dalam diri anak yang berasal dari keluarga yang mengalami kesulitan perekonomian keluarga. Hal tersebutlah yang dikatakan sebagai anak yang terpaksa bekerja. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah merupakan salah satu gambaran betapa rumitnya permasalahan anak. Seorang anak yang bekerja adalah bentuk penelantaran anak, karena pada saat yang bersamaan akan terjadi pengabaian hak-hak yang seharusnya mereka terima. Keadaan ini yang menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan perlindungan khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntuk penanganan serius dari orang tua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. 6. Perlindungan Hukum Anak Pada Umumnya Perlindungan hukum selalu diartikan dengan konsep Rechtstaat atau konsep Rule Of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep Rechtstaat muncul pada abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum Anglo Saxon, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule Of Law sebagai berikut : a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality Before The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negara lain) oleh undang-undang dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah di landasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum. Perlindungan hukum bagi rakyat, menurut Philipus M. Hadjon dibedakan atas 2 macam : a. Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. b. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif dilakukan antara lain melalui peradilan hukum dan peradilan administrasi negara. Kedua macam perlindungan hukum di atas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip negara hukum. Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, hak anak telah diatur. Menyebutkan setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 52 ayat (1)). Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (ayat (2)). Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (Pasal 53 ayat (1)). Setiap anak berhak untuk mendapatkan untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut (Pasal 58 ayat (1)). Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman (ayat 2)). Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya, mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti (Pasal 60 ayat (1)). Setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan niali-nilai kesusilaan dan kepatuhan (ayat (2)). Setiap anak berhak beristirahat, bergaul dengan anak yang sebayanya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan bakat, minat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya (Pasal 64). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari bnerbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Dengan penjelasan, berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produktif, peredaran dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan (Pasal 65). Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 66 ayat (1)). Hukum mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak (ayat 2). Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum (ayat 3). Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya boleh dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ayat 4). Setiap anak yang dirampas kebebasannya barhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan diri dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya (ayat 5). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum (ayat 7). Perlindungan anak juga telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Peraturan ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peranan yang strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bagsa dan negara di masa depan, anak jga kelak akan memikul tanggungjawab, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mensejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (angka 1). Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (angka 2). Pasal 2 menyatakan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Perhargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 menyatakan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk mejamin terpenuhinya hak-hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hak dan kewajiban anak juga diatur dalam Undang-Undang ini, diantaranya dalam Pasal 4 menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 6 menyatakan anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penemantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana di atas maka dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang terbuka untuk umum. d. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17). Kewajiban dan tanggungjawab baik untuk pemerintah, masyarakat maupun keluarga dan orangtua juga diatur dalam Undang-undang ini. Bahwa Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak (Pasal 20). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suatu agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/ atau mental.(Pasal 21). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22). Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan., pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23). Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25). Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua adalah : 1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. 2. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. 3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilaksanakan baik dalam sektor agama, kesehatan, pendidikan, sosial yang juga diatur dalam undang-undang ini. Perlindungan khusus dalam Pasal 59 menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 66 menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi tersebut dapat dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual b. Pemantauan, pelaporan, pemberian sangsi dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Peran masyarakat adalah masyarakat dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. Peran masyarakat tersebut dilakukan oleh orang-perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa (Pasal 72). Pasal 77 mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami krugian, baik secara materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, anak korban perdagangan dan anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 78). Pasal 80 memberikan ketentuan yaitu bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (Tiga) tahun 6 (Enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah). B. Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan 1. Perkembangan Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Riwayat timbulnya hubungan perburuhan itu dimulai dari pahit yakni penindasan dan perlakuan di luar batas kemampuan secara sosial ekonomi maupun penguasa pada saat itu. Para budak pekerja tidak diberikan hak apapun, yang ia miliki hanyalah kewajiban untuk mentaati perintah dari majikan atau tuannya. Awal perkembangan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan dalam tatanan kenegaraan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada waktu itu perjuangan bangsa Indonesia lebih tertuju untuk mempertahankan kemerdekaan, sehingga produk-produk hukum sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 27 Ayat (2) tentang hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan belum dapat terealisasi. Ketentuan mengenai hukum perburuhan pada saat itu masih sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial yakni Burgjerlijk Wetboek (KUH Perdata). Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yakni segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru. Ketentuan tentang perburuhan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku II dari Pasal 1601-1617. Buku II Bab 7A bagian pertama mengenai Ketentuan Umum (Pasal 1601a-1601c), bagian kedua tentang persetujuan perburuhan umumnya (Pasal 1601d-1601x), bagian ketiga tentang kewajiban majikan (Pasal 1602a-1602z), bagian keempat tentang kewajiban buruh (Pasal 1603a-1603d), bagian kelima tentang tata cara berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan dari persetujuan (Pasal 1603e-1603w), dan bagian penutup (Pasal 1603x-1603z). Hukum perburuhan merupakan spesies dari genus umumnya, dalam kepustakaan hukum selama ini selalu menyebutkan dengan istilah hukum perburuhan. Hukum Perburuhan merupakan himpunan peraturan baik yang tertulis atau tidak tetulis yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perburuhan. Pengertian hukum perburuhan dikemukakan oleh beberapa ahli yang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Adapun pendapat ahli tersebut diantaranya adalah: 1. Menurut Mok : Hukum Perburuhan (Arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu. 2. Menurut Molenaar : Hukum Perburuhan (Arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja dan antara tenaga kerja dengan penguasa. 3. Menurut Mr. M.G. Levenbach : Hukum Perburuhan (Arbeidsrecht) adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan penghidupan langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu. Iman Soepomo selanjutnya mengungkapkan bahwa Hukum Perburuhan (Ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Mengkaji pengertian Iman Soepomo tampak jelas bahwa hukum perburuhan dan ketenagakerjaan setidak-tidaknya mengandung unsur: a. Himpunan peraturan (baik tertulis atau tidak tertulis) b. Berkenaan dengan suatu peristiwa atau kejadian c. Seseorang bekerja pada orang lain d. Upah Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perburuhan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis. 2. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/majikan. 3. Adanya orang yang bekerja pada dan di bawah pimpinan orang lain, dengan mendapat upah sebagai balas jasa. 4. Mengatur perlindungan pekerja atau buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja atau buruh dan sebagainya. Kata “perburuhan”, yaitu kejadian atau kenyataan dimana seseorang biasanya disebut buruh, bekerja pada orang lain, biasanya disebut majikan, dengan menerima upah. Dengan mengenyampingkan permasalahan antara pekerjaan bebas dan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan orang lain, mengenyampingkan pula persoalan antara pekerjaan dan pekerja. Istilah “ketenagakerjaan” berasal dari tenaga kerja yang diberi awalan “ke’ dan akhiran “an”, yang diintrodusir oleh Undang-Undang nomor 14 tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Mengenai tenaga kerja. Mengenai istilah tenaga kerja itu sendiri, sebelumnya mempunyai pengertian yang luas dan berbeda dengan istilah-istilah lain yang hampir mirip dan dikenal dalam masyarakat. Sebagaimana kita ketahui ada beberapa istilah selain enaga kerja seperti pekerja, pegawai, karyawan dan buruh. Perkembangan hukum perburuhan dan ketengakerjaan mengalami perubahan yang menuju ke arah perbaikan yakni dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun masyarakat. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut menyempurnakan pengertian tenaga kerja dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mendasarkan pengertian tersebut tampak perbedaan yakni dalam hal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak lagi memuat kata-kata baik di dalam maupun di luar hubungan kerja dan adanya penambahan kata sendiri pada kalimat memenuhi kebutuhan sendiri atau masyarakat. Pengurangan kata di dalam maupun di luar hubungan kerja pada pengertian tenaga kerja tersebut sangat beralasan karena dapat mengacaukan makna tenaga kerja itu sendiri seakan-akan ada yang di dalam dan ada pula yang di luar hubungan kerja serta tidak sesuai dengan konsep tenaga kerja dalam pengertian umum. Demikian halnya dengan penambahan kata sendiri pada kalimat ”memenuhi kebutuhan sendiri” dan masyarakat karena barang dan jasa yang dihasilkan oleh tenaga kerja tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk diri sendiri, dengan demikian sekaligus menghilangkan kesan bahwa selama ini tenaga kerja hanya bekerja untuk orang lain dan melupakan dirinya sendiri. Tenaga kerja menurut Lalu Husni dapat dibedakan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Kelompok yang digolongkan bukan angkatan kerja adalah: 1. Mereka yang dalam masa studi/belajar; 2. Golongan yang mengurus rumah tangga; 3. Golongan penerima pendapatan yakni mereka yang tidak melakukan aktivitas ekonomi tapi memperoleh pendapatan misalnya pensiunan. Angkatan kerja terdiri dari kelompok yang bekerja dan yang masih mencari pekerjaan (penganggur). Kelompok yang bekerja dibedakan menjadi yang bekerja penuh dan setengah menganggur. Kelompok setengah menganggur mempunyai beberapa ciri yakni pendapatan di bawah ketentuan upah minimum, kemampuan produktivitas di bawah standard/rendah, jenis pendidikan tidak sesuai dengan pekerjaan yang ditekuni, dan lain-lain. Memperhatikan uraian diatas jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Maka istilah pekerja/buruh yang sekarang disandingkan muncul karena dalam Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat buruh/pekerja yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah menghendaki agar istilah buruh diganti dengan istilah pekerja karena istilah buruh selain berkonotasi kasar juga menggambarkan kelompok yang selalu berlawanan dengan pihak majikan. Itu sebabnya pada era Orde Baru istilah serikat buruh diganti dengan Serikat pekerja. Tapi Serikat Pekerja pada masa itu sangat sentralistik sehingga mengekang kebebasan buruh untuk membentuk organisasi pekerja yang lain yang tidak respon pada tuntutan buruh. Itulah sebabnya ketika RUU Serikat Buruh/Pekerja dibahas terjadi perdebatan yang panjang mengenai istilah ini, dari pemerintah menghendaki istilah Pekerja sementara dari kalangan buruh/pekerja menghendaki istilah Buruh karena trauma masa lalu dengan istilah serikat pekerja yang selalu diatur berdasarkan kehendak pemerintah. Akhirnya ditempuh jalan tengah dengan mensejajarkan kedua istilah tersebut. Secara umum Hukum Perburuhan merupakan sekumpulan peraturan baik yang tertulis dan yang tidak tertulis yang bertujuan : 1. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketengakerjaan. 2. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang berlebihan dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau menciptakan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenag-wenang terhadap pihak tenaga kerja. Sifat dari hukum perburuhan dan ketenagakerjaan sangat bergantung dari kebijakan pemerintah, adapun tujuan campur tangan tersebut adalah untuk mewujudkan perburuhan yang adil karena peraturan perundang-undangan perburuhan harus memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai manusia yang utuh. Intervensi pemerintah melalui peraturan perundang-undangan tersebut telah membawa perubahan yang mendasar yakni menjadikan sifat hukum perburuhan dan ketenagakerjaan menjadi ganda yakni sifat privat dan publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan. Sedangkan sifat publik dari hukum perburuhan dan ketenagakerjaan dapat dilihat dari : Adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang perburuhan dan ketenagakerjaa, ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum). Pada perkembangan saat ini kondisinya telah berubah dengan intervensi pemerintah yang sangat dalam di bidang perburuhan dan ketenagakerjaan, sehingga kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah sedemikian luasnya. Tidak hanya aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi sebelum dan sesudah hubungan kerja. Konsep ini secara jelas diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan tersebut maka dapat dirumuskan pengertian Hukum Ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan hukum antar buruh dan majikan dalam hubungan kerja saja. Operasional hukum ketenagakerjaan secara sistematik dan pengelompokan peraturan perundang-undangan terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu mengatur masa sebelum bekerja (Pre–Employment), masa selama kerja (During Employment) dan masa sesudah bekerja (Post Employment). 2. Sumber-Sumber Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum. Sumber hukum itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sedangkan sumber hukum yang dimaksud dalam hukum perburuhan dan ketenagakerjaan adalah sumber hukum dalam arti formil. Adapun sumber-sumber hukum perburuhan dan ketenagakerjaan, yaitu 1. Undang-Undang ; 2. Peraturan lainnya yang kedudukannya lebih rendah dari Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, ataupun keputusan instansi lainnya ; 3. Kebiasaan ; 4. Putusan ; 5. Perjanjian ; 6. Traktat. Disamping pendapat di atas sumber hukum ketenagakerjaan menurut Shamad terdiri atas : 1. Peraturan perundangan (undang-undang dalam arti materiil dan formil); 2. Adat dan kebiasaan ; 3. Keputusan pejabat atau Badan Pemerintah ; 4. Peraturan Kerja (yang dimaksud adalah Peraturan Perusahaan) ; dan 5. Perjanjian kerja, Perjanjian Perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Menurut pendapat Abdul Khakim jika ada penambahan “agama” termasuk sebagai sumber hukum ketenagakerjaan, mengungat terdapatnya kemungkinan adanya pemecahan masalah ketenagakerjaan melalui pendekatan ajaran agama yang dianutnya. Sedangkan sumber hukum ketenagakerjaan menurut beliau adalah: 1. Undang-Undang ; 2. Adat atau Kebiasaan ; 3. Keputusan pejabat/badan pemerintahan atau lembaga ketenagakerjaan; 4. Yurisprudensi ; 5. Doktrin ; 6. Traktat ; 7. Perjanjian Kerja ; 8. Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 3. Para Pihak Dalam Perjanjian Perburuhan a. Buruh/pekerja Istilah buruh sejak dulu sudah sangat popular, menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dalam Pasal 1 ayat (1) a memberikan pengertian buruh adalah barangsiapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Penyebutan istilah buruh pada masa lalu lebih cenderung kurang manusiawi sebagai pihak yang ditekan oleh majikan dan bekerja pada sektor-sektor non formal saja atau pekerja kasar. Sedangkan penyebutan istilah buruh pada masa kini disandingkan dengan istilah pekerja dan tidak hanya bekerja pada sektor non formal tapi juga pada sektor formal. Hal ini dimaksudkan agar selaras dengan Undang-Undang yang lahir sebelum Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, yakni Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh/pekerja. Pernyataan di atas dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 dan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang memberikan pengertian buruh/pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk alain. Dengan pengertian tersebut buruh/pekerja dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, pesekutuan, badan hukum atau badan lainnya. Sedangkan penegasan upah atau imbalan dalam bentuk lain perlu karena upah selalu diidentikan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan delam bentuk barang. Untuk kepentingan santunan jaminan kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja pengertian pekerja diperluas yakni termasuk : a. Magang dan murid bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak b. Mereka memborong pekerjaan kecuali jika memborong adalah perusahaan c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan. Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja yang dapat disebut pekerja/buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Istilah pekerja/buruh sering disandingkan muncul karena dalam Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat pekerja/buruh yang menyandingkan kedua istilah tersebut. Munculnya istilah buruh/pekerja yang disejajarkan disebabkan selama ini pemerintah menghendaki agar istilah buruh diganti dangan istilah pekerja karena istilah buruh selain berkonotasi kasar juga mengambarkan kelompok yang selalu berlawanan dengan pihak majikan. b. Pengusaha/pemberi kerja Seperti halnya istilah buruh, pengusaha pada masa dulunya disebut dengan istilah majikan sangat popular. Perihal pengertian majikan dan pengusaha sangat membingungkan sebagian masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1957 Majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Istilah majikan saat ini sudah tidak sesuai lagi karena berkonotasi sebagai pihak yang menekan buruh sebagai mitra lawan dari buruh, padahal secara yuridis buruh dan majikan adalah mitra kerja karena mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu lebih tepat jika disebut dangan istilah pengusaha. Selain pengertian Pengusaha, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian istilah Pemberi Kerja yakni perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan pengusaha khususnya bagi pekerja sektor informal. c. Organisasi pekerja/buruh Kehadiran organisasi pekerja merupakan salah satu implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No.21 Tahun 2000 bahwa Serikat Buruh/Serikat Pekerja ialah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam UU No.21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja memuat prinsip-prinsip dasar yakni : a. Jaminan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh b. Serikat pekerja/buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, dan pihak manapun c. Serikat pekerja/buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha , jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh d. Basis utama serikat pekerja/buruh ada di tingkat perusahaan, serikat pekerja/buruh yang ada dapat menggabungkan diri dalam Federasi serikat pekerja/buruh. Demikian halnya federasi serikat pekerja/buruh dapat menggabungkan diri dalam konfederasi. e. Serikat pekerja/buruh, federasi, dan konfederasi yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada kantor Depnaker setempat , untuk dicatat. f. Siapapun dilarang untuk menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh. d. Organisasi pengusaha 1) Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kamar Dagang dan Industri (KADIN) merupakan organisasi yang menangani bidang ekonomi secara umum, yaitu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa. Adapun tujuan KADIN adalah : 1. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta dalam kedudukan sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ; 2. Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan secara efektif dalam pembangunan nasional. 2) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) merupakan organisasi pengusaha yang khusus bergerak pada sumber daya manusia (SDM) dan hubungan industrial. Jadi kedudukan organisasi APINDO adalah independen, seperti halnya organisasi serikat pekerja/buruh. Tujuan APINDO menurut Pasal 7 Anggaran Dasar adalah : 1) Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya di dalam bidang social ekonomi ; 2) Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan, dan kegairahan kerja lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan; 3) Mengusahakan peningkatan produktifitas kerja sebagai program peran serta aktif untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial, spiritual, materiil ; 4) Menciptakan adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan kebijaksanaan/ketenagakerjaan dari pengusha yang disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah. Disamping APINDO pada saat ini masih terdapat beberapa asosiasi pengusaha sektoral yang dalam kegiatan organisasinya lebih berkonsentrasi pada bidang usaha masing-masing sesuai sektornya dan bukan mengurusi SDM dan hubungan industrial. Organisasi pengusaha sektoral tersebut antara lain: GAPENSI, HIPPERINDO, APKINDO, dan lain-lainnya. e. Pemerintah/penguasa Peranan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan lebih dimaksudkan untuk menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena apabila hubungan pengusaha dan pekerja yang secara social ekonomi berbeda jika diserahkan kepada para pihak maka tujuan untuk menciptakan keadilan di dalamnya akan terasa sulit tercapai. Hal ini dikarenakan secara hakikat pihak yang kuat selalu ingin menguasai yang lemah. Intervensi pemerintah biasanya diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan untuk lebih memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak. Iman Soepomo memisahkan antara penguasa dan pengawasan sebagai para pihak yang berdiri sendiri dalam hukum ketenagakerrjaan, padahal hal ini kurang tepat karena antara keduanya merupakan satu kesatuan sebab pengawasan bukan merupakan institusi yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian (bidang) Depnaker. Mengenai peran pegawai pengawas sebagai penyidik PNS diakui oleh UU No.13 Tahun 2003 Pasal 182 ayat (1), yakni selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum (law enforcement) di bidang ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan hak-hak normatif pekerja, yang pada akhirnya akan mempunyai dampak terhadap stabilitas dunia usaha. Selain itu juga pengawasan ketenagakerjaan akan mendidik pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan peraturan yang berlaku dibidang ketenagakerjaan sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis. Pelaksanaan hak-hak normatif pekerja di Indonesia saat ini yang masih jauh dari harapan atau dengan kata lain terjadi kesenjangan yang jauh antara ketentuan normatif (law in book) dengan kenyataan di lapangan (law in action) salah satu penyebabnya adalah belum optimalnya pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan baik secara kuantitas maupun lualitas dari aparat pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan. Secara kuantitas aparat pengawas perburuhan sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi, belum lagi pegawai pebgawas tersebut harus melaksanakan tugas-tugas administratif yang dibebankan kepadanya. Demikian juga kualitas dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik yang masih terbatas. Karena itu untuk ke depan aparat pengawas selain harus di tingkatkan kualitasnya, hendaknya juga tidak diberikan tugas-tugas administratif, tetapi jika dijadikan jabatan fungsional sehingga dapat melaksanakan tugas secara professional. 5. Perjanjian kerja dan hubungan kerja Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut : Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh) mengikatkan dirinya untuk di perintah pihak yang lain (si majikan) untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah ”di bawah perintah pihak lain”, di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri. Iman Soepomo berpendapat bahwa Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua (majikan), dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja umumnya terdiri dari 2 (dua) bentuk yaitu dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis sebagaimana ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Sebagaimana pada umumnya, syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata harus memenuhi 4 syarat antara lain: Adanya kesepakatan, kecakapan bertindak, hal tertentu dan causa yang halal. Akan tetapi perjanjian kerja dalam hukum perburuhan sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja baik dibuat secara tertulis maupun secara lisan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang disebutkan bahwa: Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. Kesepakatan kedua belah pihak; b. Kemampuan/kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum; c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. Pekerjaan yang diperjanjiakan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.. C. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum (rechtbetrekking) adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). Menurut Iman Soepomo dalam Asikin perlindungan pekerja dibagi menjadi tiga macam: 1. Perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. 2. Perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3. Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Dalam prakteknya ketiga jenis perlindungan kerja itu harus dapat dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan lain terhadap pekerja dapat meliputi : 1. Norma keselamatan kerja, meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaan, keadaan tempat kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan. 2. Norma kesehatan kerja dan higiene kesehatan perusahaan yang meliputi pemeliharaan dan peningkatan keselamatan pekerja, penyediaan perawatan medis bagi pekerja, dan penetapan standar kesehatan kerja. 3. Norma kerja berupa perlindungan hak pekerja secara umum baik sistem pengupahan, cuti, kesusilaan, dan religius dalam rangka memelihara kinerja pekerja. 4. Norma kecelakaan kerja berupa pemberian ganti rugi perawatan atau rehabilitasi akibat kecelakaan kerja dan/atau menderita penyakit akibat pekerjaan dalam hal ini ahli waris berhak untuk menerima ganti rugi. Perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan negara hukum karena di dalam suatu negara hukum, kekuasaan dan warga negara dibatasi oleh dan juga berdasarkan atas hukum, jadi bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata, sedangkan maksud dan tujuan pembatasan kekuasaan oleh hukum ini agar kepemimpinan rakyat atau hak-hak asasi manusia dapat terjamin terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Setiap pengusaha diwajibkan untuk mentaati segala peraturan atau ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya memberikan perlindungan terhadap pekerja. Perlindungan ini diberikan agar pekerja dapat bekerja secara optimal dengan rasa aman dan tenang sehingga dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan. Perlindungan terhadap pekerja bisa pengusaha wujudkan dengan mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Jamsostek diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992. Pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa jamsostek adalah suatu perlindungan bagi pekerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa Jamsostek merupakan bentuk perlindungan ekonomis dan sosial. Dikatakan demikian, karena program ini memberikan perlindungan dalam bentuk santunan berupa uang atas berkurangnya penghasilan dan perlindungan dalam bentuk pelayanan perawatan/pengobatan pada saat seorang pekerja tertimpa resiko-resiko tertentu. Ketentuan bagi perusahaan yang wajib melaksanakan program jaminan sosial tenaga kerja adalah perusahaan tersebut minimal mempekerjakan 10 (sepuluh) orang tenaga kerja dan membayar upah minimal Rp.1.000.000,- sebulan (Pasal 2 ayat (3) peraturan pemerintah nomor 14 tahun 1993). Besarnya iuran masing-masing program Jamsostek diatur dalam PP No.14 tahun 1993. Adapun program-program jamsostek antara lain : a. Jaminan kecelakaan kerja (JKK) berkisar antara 0,24%--1,74% dari upah sebulan yang ditanggung pengusaha.. b. Jaminan hari tua (JHT) berkisar 5,70% dari upah sebulan, ditanggung oleh pengusaha 3,70% dan pekerja 2%. c. Jaminan Kematian (JK) berkisar 0,30% dari upah pekerja selama sebulan yang ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. d. Jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah pekerja sebulan bagi pekerja yang sudah berkeluarga, dan 3% sebulan bagi pekerja yang belum berkeluarga. D. Perselisihan Hubungan Industrial 1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial Membahas perselisihan identik dengan membahas konflik atau sengketa sosiologis perselisihan dapat terjadi dimana-mana baik dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat umum. Secara psikologis perselisihan merupakan penggantian istilah dari Perselisihan perburuhan yang dikenal dalam UU Nomor 22 Tahun 1957, menurut Pasal 1 ayat (1) huruf c perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Selanjutnya berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-15 A/MEN/1994 diganti dari istilah perselisihan perburuhan menjadi perselisihan industrial. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor 13 Tahun 2003, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 (satu) perusahaan. Dari perumusan di atas maka perselisihan hubungan industrial dapat lahir karena adanya perbedaan pendapat yang mengarah kepada pertentangan antara pihak pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pihak pengusaha atau gabungan pengusaha. Perselisihan dalam hubungan industrial juga dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat menjadi penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial, hal ini disebabkan karena hubungan natara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. 2. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan kesepakatan Hukum Ketenagakerjaan perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu : 1. Perselisihan hak (rechtgeschillen) ialah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan atau ketentuan perundangan ketenagakerjaan. 2. Perselisihan kepentingan (belangengeschillen), yaitu perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syarat-syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Widodo dan Judiantoro mengungkapkan berdasarkan sifatnya, perselisihan dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : 1. Perselisihan perburuhan kolektif, yakni perselisihan yang terjadi antara pengusaha/majikan dengan serikat pekerja/serikat buruh karena tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. 2. Perselisihan perburuhan perorangan yaitu perselisihan antara pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha/majikan. Jenis perselisihan yang lain adalah perselisihan Pemutusan Hubungan kerja (PHK) yang bagi pekerja/buruh merupakan awal hilangnya mata pencaharian yang selanjutnya akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Menurut UU No.13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 25 Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha UU No.13 Tahun 2003 mensyaratkan PHK setelah adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan, lembaga ini sebagai pengganti dari P4D/P4P. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (PPHI) yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004 dan diberlakukan 1 (satu) tahun setelah diundangkan. Pasal 2 menyebutkan bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi : 1. Perselisihan hak ; 2. Perselisihan kepentingan ; 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja ; dan 4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Fungsi para pelaku dalam hubungan industrial adalah sebagai berikut : 1. Fungsi pemerintah: Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. 2. Fungsi pekerja/buruh: Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterlampilan dan keahliannya, memajukan perusahaan, memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. 3. Fungsi pengusaha/pemberi kerja: Menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana : a. Serikat pekerja/buruh, b. Organisasi pengusaha, c. Lembaga kerjasama bipatrit, d. Lembaga kerjasama tripatrit, e. Peraturan perusahaan, f. Perjanjian kerja bersama, g. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, h. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian hubungan industrial juga diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 11 Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau mediator netral. Pasal 1 angka 13 Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Dalam Pasal 1 angka 15 Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Memperhatikan uraian diatas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ada hal yang baru yaitu pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial, menurut Pasal 55 disebutkan bahwa pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Secara prinsipnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah : 1. Wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat (Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). 2. Bila upaya musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan melalui prosedur yang diatur oleh perundang-undangan (Pasal 136 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). E. Pekerja Anak 1. Pengertian Anak dan Pekerja Anak Menurut KUH Perdata bahwa orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Jka ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973) pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Pekerja anak merupakan istilah yang lebih santun dari buruh anak. Namun sapaan yang lebih santun ini ternyata tidak mengurangi beban masalah yang dihadapi mereka, anak-anak yang terpaksa bekerja. Kondisi pekerja anak ini pun semakin terpuruk, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang menerpa negeri ini pada tahun 1997. Siapa yang disebut dengan pekerja anak masih menjadi perdebatan. Haryadi dan Tjandraningsih (1995) mengutip definisi pekerja anak dari Departemen tenaga Kerja dan Biro Pusat Statistik. Departemen Tenaga Kerja (sekarang menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) menggunakan istilah ”anak-anak yang terpaksa bekerja” sebagai pengganti istilah buruh anak. Sementara Biro Pusat statistik (sekarang badan Pusat statistik) memakai istilah ”anak-anak yang aktif secara ekonomi”. Sedangkan ILO/IPEC (Organisasi Buruh Internasional/Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak) menyebutkan bahwa anak adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual, dan moral. Sementara itu, menurut Soetarso (1996) mengungkapkan pengertian pekerja anak yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa pekerja anak adalah : 1. Anak yang dipaksa atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau untuk keluarganya di sektor ketenagakerjaan formal yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga anak terhenti sekolahnya dan mengalami permasalahan fisik, mental, maupun sosial. Dalam profesi pekerjaan sosial, anak ini disebut mengalami perlakuan salah (abuse), dieksploitasi (exploited), dan di telantarkan (neglected). 2. Anak yang dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau keluarganya di sektor ketenagakerjaan informal, di jalanan atau di tempat-tempat lain, baik yang melanggar peraturan peraturan perundang-undangan (khususnya di bidang ketertiban), atau yang tidak, baik yang masih sekolah maupun yang tidak lagi bersekolah. Anak ini ada yang mengalami perlakuan salah dan/atau dieksploitasi, ada pula yang tidak. Lebih lanjut, Soetarso (1996) menegaskan bahwa tidak dikategorikan sebagai pekerja anak adalah anak yang dibimbing oleh orang tua atau sanak keluarganya atau atas kesadaran sendiri membantu pekerjaan orang tua atau orang lain yang tidak diarahkan untuk mencari atau membantu mencari nafkah, tetapi untuk menanamkan atau memperoleh pengetahuan, keterlampilan, dan/atau sikap kewirausahaan sejak dini, anak tersebut masih bersekolah dan kegiatan tersebut tidak mengganggu prosos belajar di sekolahnya. 2. Perkembangan Pekerja Anak Permasalahan anak dianggap sesuatu yang penting hingga membutuhkan perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh, tetapi di sisi lain, dalam realitasnya permasalahan anak, tindakan kekerasan dan penelantaraan anak masih belum dapat tertangani dengan baik. Masih terjadi kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein) yang dihadapi oleh anak Indonesia. Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya (Pasal 1 Convention On The Rights Of The Child). Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang buruk di Indonesia, tetapi keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh pemerintah Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak zaman pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur sosial pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih menitik beratkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda tersebut antara lain : a. Staatsblad Nomor 647 tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur 12 tahun untuk melakukan pekerjaan : a. Di pabrik pada ruangan tertutup dimana biasanya dipergunakan tenaga mesin ; b. Di tempat ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama ; c. Pembuatan, pemeliharaan, perbaikan, dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan, dan bangunan serta jalan-jalan ; d. Pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan golongan kapal maupun di stasiun tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, ditempat penyimpanan dan gudang-gudang kecuali jika membawa dengan tangan. e. Larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan. b. Staatsblad Nomor 87 (Ordonansi tahun 1926), melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja dibawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derjat ketiga. c. Staatsblad Nomor 341 (Regeringsverordering tahun 1930), melarang anak usia di bawah enam belas tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan diterbitkannya Ordonansi Nomor 9 tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya undang-Undang Nomor 12 tahun 1948, yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 tahun ke bawah melaukukan pekerjaan. Ketentuan dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja yang melarang dengan tegas anak untuk menjalankan pekerjaan apa pun dan di tempat mana pun; kecuali yang tidak dalam rangka hubungan kerja. Penjelasan Pasal ini menerangkan, bahwa badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan. Anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Kerja ini adalah anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah. Dengan demikian maka anak-anak yang berusia 14 tahun kebawah tentunya harus sedang giat-giatnya belajar, bukan bekerja. Tugas para orang tuanya yang harus bekerja mencari nafkah dan biaya demi kelancaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya diantaranya adalah Undang-Undang nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Pada tahun 1987, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan peraturan menteri tnomor PER-01/MEN/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpaksa bekerja yang menyatakan anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur di bawah 14 tahun karena alasan sosial ekonomi terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan baik untuk keluarga maupun memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak yang terpaksa bekerja boleh dipekerjakan kecuali sebagai berikut : 1. Di dalam tambang, lobang di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah; 2. Pekerjaan di kapal sebagai tukang api, atau tukang batu bara; 3. Pekerjaan di atas kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau sampai keuarga derajat ketiga; 4. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat; 5. Pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi dan bahan-bahan berbahaya. Setelah itu, pada tahun 1994 pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan wajib belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang pelaksanaan wajib belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh Pendidikan Dasar. Dengan kebijakan wajib belajar belajar Pendidikan dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi jumlah pekerja anak. Bahkan telah disahkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlinduingan Anak, dalam Pasal 48 Undang-Undang tersebut mengharuskan pemerintah untuk wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini anak-anak semakin terlantar dan menjamur serta tersebar pada perempatan jalan, tempat-tempat umum, terminal untuk menjadi pengemis, pengamen, pengedar koran, penjaja makanan bahkan sampai menjadi pengedar narkoba, tetapi pemerintah belum melakukan tindakan dan langkah-langkah untuk memberi perlindungan terhadap anak yang dalam keadaan terburuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang baik sebagai Hukum nasional maupun Hukum Internasional. Sejalan dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 182 tentang usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja, pemerintah menyusun rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional. Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2001. Rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan program aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) adalah : a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambatan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pergerakan anak secara paksa atau wajib untuk di manfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk : a. Anak-anak yang dilacurkan; b. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; d. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; e. Anak-anak yang bekerja di jermal; f. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; g. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; h. Anak yang bekerja di jalan; i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga; k. Anak yang bekerja di perkebunan; l. Anak yang bekerja pada penerbangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu; m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. 3. Pengaturan Pekerja Anak Pemerintah bersama legislatif telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 1 Angka 26 memberikan pengertian bahwa anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun.. Batasan ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (saat ini sudah tidak berlaku lagi) yang memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. Batas umur bekerja ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, menyebutkan usia minimum tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun. Dengan demikian mengenai batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18 tahun. Secara khusus pengaturan mengenai batasan umur pekerja anak diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan ketentuan larangan bagi siapapun untuk mempekerjakan atau melibatkan anak-anak dalam bentuk pekerjaan terburuk. Namun mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dianggap “pekerjaan terburuk” tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam suatu Undang-Undang melainkan ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (KEPMEN) Nomor 235/MEN/2003 tentang jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 74 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003, yang dalam Pasal 3 menetapkan usia 15 (lima belas) tahun atau lebih sebagai usia kerja anak, dan melarang anak usia dibawah 18 (delapan belas) tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka Perlindungan Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 angka 1 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 64 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental sosialnya. Jadi pada dasarnya anak dibolehkan untuk bekerja karena dengan bekerja dapat melatih kemampuannya baik secara fisik, mental, maupun intelektualitasnya terkait dalam proses pengembangan diri menuju tahap kedewasaan. Namun hal tersebut perlu diberikan pembatasan bagi segala jenis pekerjaan yang boleh dilakukan oleh pekerja anak. Artinya ada pengaturan dan persyaratan bagi pemberi kerja atau pengusaha yang mempekerjakan pekerja anak. Pengaturan terhadap tenaga kerja anak diatur dalam Pasal 68-75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun (ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : a. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintsh berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Masalah Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legifis positifis. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, konsep-konsep legitifis positifis adalah konsep yang memandang hukum sebagai norma yang tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang, konsep ini memandang hukum sebagai sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat secara nyata. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif. B. Lokasi Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka lokasi bertempat di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman, serta media internet. C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang akan diteliti juga dengan keyakinan-keyakinan tertentu, mengambil kesimpulan dari bahan-bahan tentang obyek-obyek masalah yang akan diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu. D. Sumber Data Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan data sekunder saja mengingat pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yang digunakan untuk membangun penelitian ini dan untuk mendapatkan hasil yang obyektif dari penelitian ini. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari: a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, b. Peraturan perundang-undangan, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 Tentang Usia Minimum Diperbolehkan Untuk Bekerja 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Tentang Perlindungan Anak 5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafiking) 7) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak 8) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak 9) Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak 10) Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak 11) Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak 12) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/Men/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak 13) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 115/Men/VII/2004 Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari: a. Pustaka di bidang ilmu hukum, b. Hasil penelitian di bidang hukum, c. Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet. 3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu : Kamus hukum E. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan data sekunder belaka, dan metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data ialah dengan studi kepustakaan, internet browsing, telaah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar. F. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Analisa Data Data bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis atau pembahasan yang dilakukan dengan cara menjabarkan dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang diperoleh dengan mendasarkan pada norma-norma yang berlaku atau pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku dihubungkan dengan pokok permasalahan. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pengertian Anak dan Pekerja Anak Kamus Websters, Princeton mengartikan bahwa Youth yang diterjemahkan sebagai pemuda, adalah The time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person. Dari definisi ini, maka dapat diinterpretasikan pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil, pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Pasal 1 konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menyatakan bahwa anak-anak adalah mereka yang berumur sampai 18 tahun, namun setiap negara dapat menyesuaikan batasan umur tersebut, karena ketentuan tersebut pada pokoknya untuk melindungi hak-hak anak. Menurut KUH Perdata bahwa orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Jka ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973) pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Pekerja anak merupakan istilah yang lebih santun dari buruh anak. Namun sapaan yang lebih santun ini ternyata tidak mengurangi beban masalah yang dihadapi mereka, anak-anak yang terpaksa bekerja. Kondisi pekerja anak ini pun semakin terpuruk, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang menerpa negeri ini pada tahun 1997. Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Siapa yang disebut dengan pekerja anak masih menjadi perdebatan. Haryadi dan Tjandraningsih (1995) mengutip definisi pekerja anak dari Departemen tenaga Kerja dan Biro Pusat Statistik. Departemen Tenaga Kerja (sekarang menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) menggunakan istilah ”anak-anak yang terpaksa bekerja” sebagai pengganti istilah buruh anak. Sementara Biro Pusat statistik (sekarang badan Pusat statistik) memakai istilah ”anak-anak yang aktif secara ekonomi”. Sedangkan ILO/IPEC (Organisasi Buruh Internasional/Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak) menyebutkan bahwa anak adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual, dan moral. Sementara itu, menurut Soetarso (1996) mengungkapkan pengertian pekerja anak yang lebih luas. Ia berpendapat bahwa pekerja anak adalah : 1. Anak yang dipaksa atau terpaksa bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau untuk keluarganya di sektor ketenagakerjaan formal yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga anak terhenti sekolahnya dan mengalami permasalahan fisik, mental, maupun sosial. Dalam profesi pekerjaan sosial, anak ini disebut mengalami perlakuan salah (abuse), dieksploitasi (exploited), dan ditelantarkan (neglected). 2. Anak yang dipaksa, terpaksa atau dengan kesadaran sendiri mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan/atau keluarganya di sektor ketenagakerjaan informal, di jalanan atau di tempat-tempat lain, baik yang melanggar peraturan peraturan perundang-undangan (khususnya di bidang ketertiban), atau yang tidak, baik yang masih sekolah maupun yang tidak lagi bersekolah. Anak ini ada yang mengalami perlakuan salah dan/atau dieksploitasi, ada pula yang tidak. Lebih lanjut, Soetarso (1996) menegaskan bahwa tidak dikategorikan sebagai pekerja anak adalah anak yang dibimbing oleh orang tua atau sanak keluarganya atau atas kesadaran sendiri membantu pekerjaan orang tua atau orang lain yang tidak diarahkan untuk mencari atau membantu mencari nafkah, tetapi untuk menanamkan atau memperoleh pengetahuan, keterlampilan, dan/atau sikap kewirausahaan sejak dini, anak tersebut masih bersekolah dan kegiatan tersebut tidak mengganggu proses belajar di sekolahnya. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang penanggulangan pekerja anak menegaskan bahwa yang disebut sebagai pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tentang Ketenagakerjaan hanya menyebutkan pengertian anak dalam Pasal 1 Angka 26 bahwa anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, menyebutkan usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18 tahun. Dalam Pasal 69 Undang-Undang ini memberikan pengecualian bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental maupun sosial. Pengertian tersebut secara tidak langsung menegaskan bahwa pekerja anak adalah anak yang beumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun. 2. Sejarah Pengaturan Pekerja Anak Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang buruk di Indonesia, tetapi keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh pemerintah Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak zaman pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur sosial pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih menitik beratkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pada waktu pemerintahan Belanda antara lain : 1. Staatsblad Nomor 647 tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur 12 tahun untuk melakukan pekerjaan : a. Di pabrik pada ruangan tertutup dimana biasanya dipergunakan tenaga mesin ; b. Di tempat ruangan tertutup yang biasanya dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama ; c. Pembuatan, pemeliharaan, perbaikan, dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan, dan bangunan serta jalan-jalan ; d. Pada perusahaan kereta api, pada pemuatan, pembongkaran dan pemindahan barang baik di pelabuhan, dermaga dan golongan kapal maupun di stasiun tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan, ditempat penyimpanan dan gudang-gudang kecuali jika membawa dengan tangan. e. Larangan bagi anak untuk memindahkan barang berat di dalam atau untuk keperluan perusahaan. d. Staatsblad Nomor 87 (Ordonansi tahun 1926), melarang mempekerjakan anak di bawah umur 12 tahun pada pekerjaan di kapal kecuali bila ia bekerja dibawah pengawasa ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga. e. Staatsblad Nomor 341 (Regeringsverordering tahun 1930), melarang anak usia di bawah enam belas tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan di atas tanah. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan diterbitkannya Ordonansi Nomor 9 tahun 1949 yang melarang anak bekerja pada malam hari, dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948, yang melarang orang laki-laki maupun perempuan berumur 14 tahun ke bawah melakukan pekerjaan. Ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja yang melarang dengan tegas anak untuk menjalankan pekerjaan apa pun dan di tempat mana pun, kecuali yang tidak dalam rangka hubungan kerja. Penjelasan Pasal ini menerangkan, bahwa badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan. Anak yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Kerja ini adalah anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah. Dengan demikian maka anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah tentunya harus sedang giat-giatnya belajar, bukan bekerja. Tugas para orang tuanya yang harus bekerja mencari nafkah dan biaya demi kelancaran pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraannya. Peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek pada saat itu dalam pelaksanaan perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dalam Pasal 1 menyatakan bahwa yang disebut dengan kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah suatu usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Anak menurut Undang-Undang ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pada tahun 1987, menteri tanaga kerja mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor PER-01/MEN/1987 tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Terpaksa Bekerja yang menyatakan anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur di bawah 14 tahun karena alasan sosial ekonomi terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan baik untuk keluarga maupun memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak yang terpaksa bekerja boleh dipekerjakan kecuali sebagai berikut : 1. Di dalam tambang, lobang di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah; 2. Pekerjaan di kapal sebagai tukang api, atau tukang batu bara; 3. Pekerjaan di atas kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ayahnya atau sampai keluarga derajat ketiga; 4. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat; 5. Pekerjaan yang berhubungan dengan alat produksi dan bahan-bahan berbahaya. Pada tanggal 20 November 1989 disahkannya Konvensi Tentang Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB mengakui akan konvensi tersebut dan wajib menuangkan ketentuan yang ada dalam konvensi ke dalam peraturan nasional. Pemerintah Indonesia menuangkannya dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini mengakui bahwa anak untuk perkembangan keperibadiannya sepenuhnya yang penuh dan serasi, harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian. Mempertimbangkan bahwa anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas. Mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam deklarasi mengenai hak-hak anak, anak karena ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum maupun juga sesudah kelahirannya. Konvensi ini menyatakan dalam Pasal 1 bahwa anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Pasal 2 menegaskan bahwa negara-negara pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. Kemudian pada tahun 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib belajar Pendidikan Dasar dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh Pendidikan Dasar. Dengan kebijakan wajib belajar pendidikan dasar secara tidak langsung diharapkan dapat mengurangi jumlah pekerja anak. Pada tahun 1999 pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Hal ini karena Indonesia sebagai anggota PBB dan organisasi ketenagakerjaan internasional atau international labour organization (ILO) menghargai, menjunjung tinggi dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan lembaga internasional dimaksud. Berbicara mengenai ILO, bahwa organisasi ini merupakan organisasi perburuhan internasional yang merupakan organisasi perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan pada tanggal 11 April 1919, bersamaan dengan dibuatnya perjanjian perdamaian yang disebut dengan ”Perjanjian Versailles”. Kantor ILO berpusat di Geneva, Swiss. Pada tahun 1946 setelah perang dunia II berakhir, ILO berubah menjadi salah satu badan khusus perserikatan bangsa-bangsa, yakni menjadi bagian dari dewan ekonomi dan sosial (economic and social council), yang diakui secara internasional sebagai salah satu organisasi yang bergerak di bidang sosial dan perburuhan. Prinsip dan tujuan berdirinya ILO adalah bahwa ILO berdiri atas prinsip filosofi bahwa perdamaian menyeluruh dan abadi hanya dapat dicapai bila didasarkan pada keadilan sosial. Unsur penting dalam keadilan sosial antara lain penghargaan atas hak asasi manusia, standar hidup yang layak, kondisi kerja yang manusiawi, kesempatan kerja dan keamanan ekonomi. Tujuan berdirinya ILO adalah untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat, khususnya kaum pekerja/buruh. Hal ini sesuai dengan mukadimah konstitusi international labour organiszation (ILO) yang menyebutkan bahwa : a. Pekerja/buruh bukan barang dagangan; b. Kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat; c. Semua manusia berhak mengenyam kehidupan yang layak, baik spiritual maupun material dalam suasana kebebasan. d. Wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah memiliki standar yang sama untuk mengambil keputusan dalam meningkatkan kemakmuran. Adapun fungsi ILO disamping sebagai pembuat standar perburuhan internasional, juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Sasaran kegiatan ILO diarahkan untuk terciptanya keadilan dan hak asasi manusia pekerja/buruh, perbaikan kondisi kehidupan dan pekerjaan serta peningkatan kesempatan kerja. Untuk itu tugas utama ILO adalah : 1. Terciptanya perlindungan hak-hak pekerja/buruh; 2. Memperluas lapangan pekerjaan; 3. Meningkatkan taraf kehidupan para pekerja/buruh. Adapun manfaat menjadi anggota ILO adalah : a. Meningkatkan wawasan di bidang ketenagakerjaan b. Memperluas akses kerja sama bilateral sesama anggota ILO c. Mendapat bantuan kerjasama teknis d. Memperoleh pedoman standar ketenagakerjaan internasional e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Telah disebutkan diatas bahwa fungsi ILO adalah merumuskan standar perburuhan/ketenagakerjaan internasional. Standar tersebut berupa konvensi dan rekomendasi yang menetapkan standar minimum. Konvensi ILO adalah perjanjian internasional yang dibuat untuk diratifikasi oleh negara-negara anggota untuk menjadi hukum positif. Jadi makna ratifikasi disini adalah menjadikan hukum internasional sebagai hukum nasional, sehingga setiap negara yang sudah meratifikasi suatu konvensi harus mempersiapkan perangkat hukum sesuai dengan ketentuan konvensi. Sedangkan rekomendasi ILO adalah instrumen ketenagakerjaan yang bersifat tidak mengikat, yang menetapkan pedoman sebagai informasi kebijakan nasional. Biasanya membahas subjek yang sama dengan konvensi, rekomendasi ini tidak untuk diratifikasi. Indonesia telah meratifikasi 15 (lima belas) buah konvensi, 8 (delapan) buah diantaranya menyangkut hak asasi manusia (HAM). Kelima belas konvensi termasuk konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 dan konvensi Nomor 182 tahun 1999 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.yang diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2000. Dalam konvensi ILO Nomor 138 tahun 1973 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang disetujui pada konfrensi ketenagakerjaan internasional kelima puluh delapan tanggal 26 juni tahun 1973 di Jenewa merupakan salah satu konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah merativikasi untuk menetapkan batas usia minimum untuk diperbolehkannya bekerja seorang anak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) konvensi, Indonesia melampirkan pernyataan (declaration) yang menetapkan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah republik Indonesia adalah usia 15 (lima belas) tahun. Adapun alasan Indonesia mengesahkan konvensi ini bahwa Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu Indonesia bertekad melindungi hak dasar anak sesuai dengan konvensi ini, maka dalam hal ini Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak. Hal ini juga didorong dengan alasan bahwa dalam pengamalan pancasila dan penerapan peraturan perundang-undangan yang masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak. Oleh karena itu pengesahan konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, mengganggu pendidikan serta mengganggu perkembangan fisik dan mental anak. Secara khusus pengaturan mengenai batasan umur pekerja anak yang telah diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999, yang dalam Lampiran Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia tamat wajib sekolah, dan dalam keadaan apapun tidak boleh kurang dari 15 (lima belas) tahun. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa undang-undang nasional juga dapat mengizinkan dipekerjakannya mereka yang berusia sedikitnya 15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak memberikan kesulitan bagi mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO Nomor 182. Sejalan dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja tersebut, pemerintah menyusun rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional. Rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan program aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kesulitan yang mendasar dalam merencanakan kegiatan atau program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah tidak adanya data yang meyakinkan semua pihak tentang jumlah dan besaran masalah pekerja anak pada pekerjaan terburuk. Hal ini tentunya dapat dimengerti, mengingat kondisi geografis, jenis pekerjaan maupun bentuk pekerjaan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) adalah : a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambatan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pergerakan anak secara paksa atau wajib untuk di manfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di atas di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi dalam bentuk : a. Anak-anak yang dilacurkan; b. Anak-anak yang bekerja di pertambangan; c. Anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; d. Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi; e. Anak-anak yang bekerja di jermal; f. Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; g. Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak; h. Anak yang bekerja di jalan; i. Anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; j. Anak yang bekerja di industri rumah tangga; k. Anak yang bekerja di perkebunan; l. Anak yang bekerja pada penerbangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu; m. Anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya. Tantangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu : 1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak. 2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 4. Lemahnya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota). 5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan dalam aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.. Konvensi juga mewajibkan kepada negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini untuk menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam rangka melaksanakan program aksi yang ditujukan untuk menghapus pekerjaan terburuk untuk anak, pada tahun 2002 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang ditujukan sebagai pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. a. Program Aksi Kebijakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak bertujuan untuk mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk utnuk anak yang ada di Indonesia. Adapun kebijakan ini memiliki visi dan misi yaitu: b. Visi : Anak sebagai generasi penerus bangsa terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sehingga dapat tumbuh kembang secara dan optimal baik fisik, mental, sosial maupun intelektualnya. c. Misi : a. Mencegah dan menghapus segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondange), dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; b. Mencegah dan menghapus permanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno; c. Mencegah dan menghapus pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram atau terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional; d. Mencegah dan menghapus perlibatan anak dalam produksi atau penjualan bahan peledak, penyelaman air dalam, pekerjaan-pekerjaan di anjungan lepas pantai, di dalam tanah, pertambangan serta penghapusan pekerjaan lain yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. d. Kelompok sasaran: a. Semua anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk; b. Semua pihak yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk melakukan bentuk pekerjaan terburuk. e. Kebijakan nasional: Mencegah dan menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara bertahap. f. Strategi: Kebijakan nasional dilaksanakan dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh dengan strategi : 1) Penemuan prioritas penghapusan bentuk pekerjaan terburuk secara bertahap Penentuan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk serta berbagai sumber yang tersedia untuk melaksanakan program penghapusannya. 2) Melibatkan semua pihak di semua tingkatan Persoalan pekerja anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk merupakan masalah bansa. Tidak ada satu pihakpun yang merasa mampu menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendirian. Oleh karena itu perlibatan semua pihak dalam program penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan kunci keberhasilan. 3) Mengembangkan dan memanfaatkan secara cermat potensi dalam negeri Mengingat besarnya sumber daya yang diperlukan dalam penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka penggalian, pengembangan, dan pemanfaatan secara cermat berbagai sumber yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan daerah meupun potensi masyarakat perlu dilakukan secara maksimal 4) Kerjasama dan bantuan teknis dengan berbagai negara dan lembaga internasional Memperhatikan berbagai keterbatasan sumber dan pengalaman dalam pelaksanaan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, maka kerjasama dan batuan teknis dari berbagai negara dan lembaga internasional diperlukan. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran rencana aksi nasional yaitu penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak maka diadakan program aksi. Untuk lebih menunjang pencapaian program-program aksi tersebut, rencana aksi dibagi menjadi beberapa bagian : 1. Tahap pertama, sasaran yang ingin dituju setelah 5 (lima) tahun yang pertama; 2. Tahap kedua, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun; 3. Tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun. 1. Tahapan program a. Tahap pertama Sasaran yang ingin dicapai setelah 5 tahun adalah : a. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan upaya penghapusannya; c. Terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan penyelaman air dalam, pekerja ank yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan, pekerja anak di industri alat kaki, pekerja anak di industri peredaran narkotika, psikotropika prekursor, dan zat adiktif lainnya. Adapun sasaran tersebut dilaksanakan dengan cara : 1) Penelitian dan dokumentasi Program pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak disusun atas dasar besaran, kualitas, dan lokasi masalah. Untuk itu diperlukan penyediaan data statistik yang lengkap mengenai anak, jenis pekerjaan dan ancaman yang dihadapi oleh anak yang terlibat pada bentuk pekerjaan terburuk. Jangkauan penelitian dan dokumentasi untuk pekerja anak dapat diperluas, yang meliputi : a. Data statistik mengenai pekerja anak yang dimulai dari usia 10 (sepuluh) tahun keatas; b. Data statistik mengenai pekerja anak usia di bawah 18 (delapan belas) tahun yang terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk; c. Data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah kasus, jenis kasus, jumlah korban, pelaku, modus, lokasi dan waktu kejadian. 2) Kampanye penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak Informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk sangat menunjang keberhasilan penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Program penyebarluasan informasi meliputi kegiatan : a. Menyebarluaskan informasi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak kepada masyarakat luas; b. Memfasilitasi tumbuhnya kelompok masyarakat yang peduli pekerja anak; c. Sosialisasi rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Mendorong peranan media massa dalam penyebaran informasi baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota. 3) Pengkajian dan pengembangan model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak Guna menunjang keberhasilan program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak perlu dilakukan kajian serta pengembangan model, sehingga penyelenggaraan program tidak didasarkan pada suatu asumsi belaka. Kajian yang dilakukan meliputi : a. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak; b. Karakteristik bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; c. Model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang mencakup antara lain cara advokasi, bantuan langsung, dan reintegrasi dengan basis masyarakat; d. Panduan replikasi model; e. Panduan bagi pekerja sosial pendamping; f. Panduan pemantauan dan evaluasi. 4) Harmonisasi peraturan perundang-undangan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibiton and Immediate Action For The Elimination Of The Worst Form Of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak) dilaksanakan dan ditindaklanjuti dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang meliputi : a. Menetapkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak; b. Menetapkan bahwa melibatkan anak dalam pekerjaan terburuk merupakan tindak pidana; c. Merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan dalam pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, baik secara preemptif, preventif, maupun represif. 5) Peningkatan kesadaran dan advokasi Peningkatan kesadaran dan advokasi sangat penting dalam mempercepat tindakan segera dan pelarangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan peningkatan kesadaran dan advokasi meliputi : a. Penyusunan metode dan modul sosialisasi rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Sosialisasi rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; c. Membangun sistem pengaduan masyarakat bagi kasus-kasus pelibatan anak dalam pekerjaan terburuk. 6) Penguatan kapasitas Kapasitas lembaga, jejaring kerja dan sumber daya manusia dalam mengelola program ini perlu ditingkatkan. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, cara-cara pelarangan dan tindakan penghapusan, serta pengembangan jejaring kerja. Upaya penguatan dilakukan melalui pelatihan, kerjasama teknis antar instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga swadaya masyarakat, magang dan studi banding maupun pemberdayaan masyarakat dan keluarga dilaksanakan pada tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota. 7) Integrasi program penghapusan pekerja anak dalam institusi terkait. Anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak memerlukan bimbingan dan dukungan sosial, pelayanan kesehatan maupun keuangan agar kembali dalam masyarakat (keluarga dan lingkungannya). Untuk membebaskan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak harus terintegrasi dengan upaya-upaya lain agar anak tidak kembali pada bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Upaya integrasi dilakukan melalui : a. penetapan kebijakan di pemerintah pusat, pemerintah propinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota. b. perencanaan terpadu; c. koordinasi lintas sektor maupun lintas fungsi. b. Tahap kedua Sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun adalah : a. Replikasi model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang telah dilaksanakan pada tahap pertama di daerah lain; b. Berkembangnya program penghapusan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak lainnya; c. Tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam tahap pertama c. Tahap ketiga Sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (duapuluh) tahun adalah : a. Pelembagaan gerakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara efektif; b. Pengarusutamaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kegiatan tahap ketiga akan disusun berdasarkan hasil yang dicapai dalam tahap kedua. Untuk melaksanakan program diperlukan peran semua pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga swadaya masyarakat, serikat pekerja/serikat buruh,organisasi pengusaha maupun masyarakat pada umumnya. Peran dan tanggung jawab terdiri dari bidang-bidang sebagai berikut : 1. Bidang pendidikan a. Pengumpulan data tentang anak putus sekolah; b. Pemberian kemudahan agar program-program wajib belajar 9 (sembilan)tahun dapat dijangkau bagi semua lapisan masyarakat; c. Pemberian program beasiswa dapat diprioritaskan kepada anak-anak dari keuarga yang kurang mampu seperti keuarga ibu sebagai kepala keluarga dan keluarga miskin yang tidak dapat membiayai pendidikan anaknya; d. Perbaikan metode belajar mengajar serta fasilitas tambahan seperti asrama, dan pelayanan konsultasi psikologi bagi anak-anak yang melakukan pekerjaan terburuk untuk anak; e. Pemberian kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi anak-anak yang telah terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; f. Pemberian pelatihan bagi para pendidik dan pembimbing dalam menghadapi pekerja anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 2. Bidang ketenagakerjaan a. Pengumpulan dan penyebarluasan data serta informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Pemberian pelatihan serta upaya rehabilitasi dan integrasi program; c. Pengkoordinasian pembebasan terhadap pekerja anak serta melakukan upaya agar mereka tidak kembali bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Penciptaan dan pelaksanaan program-program pemindahan anak-anak dari tempat kerja; e. Pelaksanaan pemeriksaan tempat-tempat kerja yang rawan akan praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; f. Pelaksanaan tindakan pembebasan anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; 3. Bidang Kesehatan a. Pengumpulan data, penelitian, dan pengkajian mengenai dampak buruk yang mungkin timbul dan mengganggu kesehatan anak yang melakukan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Penyediaan pelayanan kesehatan bagi anak-anak (termasuk yang telah keluar dari tempat kerjanya) di sarana-sarana kesehatan; c. Penyebarluasan informasi tentang resiko kesehatan bagi anak yang bekerja kepada pihak-pihak terkait dengan masalah pekerja anak; d. Peningkatan kesadaran tentang kesehatan bagi pekerja anak dan orangtuanya. 4. Bidang Penegakan Hukum a. Penyusunan strategi kerjasama dengan Departemen/instansi lintas sektoral terkait maupun lembaga swadaya masyarakat untuk membebaskan dan menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di daerah/kewilayahan baik secara pre-emptif, preventif dan represif; c. Pengambilan langkah-langkah dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelamatkan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan yang bersifat : 1). Pre-emptif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menetralisasi dan menghilangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan bimbingan, penyuluhan, penerangan, dan tatap muka dengan pelaku dan korban anak yang bersangkutan, orang tua, tokoh agama/masyarakat dan pendidik; 2). Preventif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya peristiwa/kasus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui kegiatan patroli/perondaan, penjagaan baik secara terbuka maupun tertutup terhadap tempat-tempat/daerah-daerah dan saat/waktu yang dianggap rawan terjadinya peristiwa/kasus; 3). Represif yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat yang berwenang terhadap pelaku untuk dapat diajukan ke Penuntut Umum. e. Penuntutan terhadap para pelaku yang melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama lintas sektoral untuk dapat mewujudkan keterpaduan sikap dan tindakan dalam penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, mulai dari tahap perumusan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengendalian. g. Pelaksanaan tindak lanjut atas segala pengaduan tentang eksploitasi pekerja anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Bidang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan a. Pengevaluasian berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelarangan anak bekerja pada pekerjaan terburuk untuk anak, dan menyatakan bahwa tindakan melibatkan anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan suatu tindak pidana; c. Pelaksanaan revisi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau merancang peraturan perundang-undangan yang baru sesuai dengan konvensi internasional mengenai anak yang telah disahkan; d. Pelaksanaan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan masalah anak. 6. Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi a. Pengidentifikasian daerah-daerah yang terdapat ancaman bahaya fisik, mental, dan perkembangan moral anak; b. Penyusunan pengajaran agama dan pendidikan mental spiritual kepada anak-anak yang mempunyai resiko putus sekolah; c. Pensosialisasian dan diseminasi kepada para tokoh agama dan lembaga agama tentang kebijakan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; d. Penyusunan panduan bagi mubalig mengenai pekerja anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; e. Pelaksanaan kerjasama dengan para pekerja sosial untuk menjamin anak-anak tersebut menjalankan rehabilitasi sosial dalam bentuk bimbingan. f. Penyampaian skema pemberian kredit mikro kepada keluarga yang mempekerjakan anaknya; g. Pemberian bimbingan usaha skala kecil dan berupaya membuka akses pasar yang lebih luas; h. Perbaikan sarana perumahan bagi keluarga miskin agar dicapai rumah bersih dan sehat; i. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka pelaksanaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 7. Bidang Media a. Penyebarluasan informasi tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; b. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; c. Penyebarluasan informasi tentang berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Untuk Anak; d. Pengupayaan tumbuhnya jurnalis/wartawan yang sensitif terhadap praktek bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Pada tahun 2001, dalam upaya penanggulangan pekerja anak di Indonesia, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah mengeluarkan Keputusan Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak. Dalam Pasal 1 keputusan ini menetapkan bahwa yang dimaksud dengan pekerja anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Penanggulangan Pekerja Anak (PPA) adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 (lima belas) tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Pasal 2 keputusan ini menerangkan bahwa pelaksanaan kegiatan PPA dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga kemasyarakatan dan lembaga lain yang peduli terhadap pekerja anak. Pasal 5 menerangkan program penanggulangan pekerja anak diwujudkan dalam program umum dan program khusus yaitu : Program umum PPA meliputi : a. Pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; b. Pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan; c. Perbaikan pendapatan keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak dengan wajar; d. Pelaksanaan sosialisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat. Program khusus PPA meliputi : a. Mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan beasiswa; b. Pemberian pendidikan non formal; c. Pelatihan keterlampilan bagi anak. Kemudian pada tahun 2002 pemerintah mengesahkan dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komesial Anak. Rencana aksi nasional penghapusan eksploitasi seksual komesial anak adalah suatu program nasional untuk mencegah dan menghapuskan eksploitasi seksual komersial terhadap anak di Indonesia. Eksploitasi seksual komersial anak adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut meliputi: a. Prostitusi anak yaitu penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain. b. Pornografi anak yaitu setiap representasi dengan sarana apapun, pelibatan secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual. c. Perdagangan anak untuk seksual. Hakekat dan tujuan rencana aksi nasional penghapusan eksploitasi seksual komersial anak untuk : a. Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual komersial anak; b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penaggulangan atas praktek-praktek eksploitasi seksual komersial anak; c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan eksploitasi seksual komersial anak. Setiap anak tanpa diskriminasi apapun dilindungi dari kekerasan dan eksploitasi seksual komersial dan dapat terpenuhi semua hak-haknya sesuai yang ditetapkan dalam konvensi tentang hak-hak anak, dalam suatu lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik untuk anak, menghargai pandangan-pandangan anak dan yang mendukung kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, keluarga, masyarakat dan pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan kepada setiap anak tanpa diskriminasi atas dasar apapun perlindungan maksimum dari ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual komersial dan sekaligus mengupayakan pemenuhan hak-hak anak terutama bagi mereka yang beresiko dan yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual serta mengembangkan suatu lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik anak, menghargai pandangan-pandangan anak dan yang mendukung kelangsungan hidup anak. Dalam mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas kewajiban sebagaimana disebutkan diatas maka diperlukan strategi sebagai berikut : a. Pengembangan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan non pemerintah termasuk kelompok anak-anak di ingkat nasional dan lokal serta di tingkat internasional dan regional guna merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi program penghapusan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). b. Penyediaan akses ke pendidikan dasar dan layanan kesehatan seluas-luasnya kepada semua anak, pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi keluarga-keluarga yang rawan ESKA, pengarusutamaan hak anak dan penguatan sistem hukum guna pencegahan ESKA. c. Pengembangan dan atau penguatan hukum nasional guna memberikan perlindungan kepada anak, anatara lain dengan mengkriminalisasikan pelaku eksploitasi seksual anak dan memperlakukan anak sebagai korban dan menerapkan hukum pidana secara ekstrateritorial serta penguatan peran masyarakat sipil dalam perlindungan anak d. Pengarusutamaan pendekatan yang tidak bersifat menghukum kepada korban ESKA, penyediaan pelayanan pemulihan dan pengembangan sumber pendapatan alternatif bagi korban ESKA dan keluarga mereka serta pengembangan budaya yang mendukung pengintegrasian kembali korban ke keluarga dan masyarakat. e. Pengembangan kapasitas anak agar mereka bisa berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi program-program penghapusan ESKA termasuk dengan pembentukan komite anak yang independen. Strategi ini diwujudkan karena anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar baik secara hukum, ekonomi, politik dan budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Anak adalah generasi penerus bangsa yang akan sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa secara keseluruhan di masa yang akan datang. Anak harus dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Oleh karena itu, segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan termasuk eksploitasi untuk tujuan seksual komersial harus segera dihentikan tanpa kecuali korban diperlakukan hak-haknya bahkan beresiko tinggi terhadap gangguan kesehatan jasmani, rohani dan sosialnya serta berpengaruh buruk untuk masa depannya. Perumusan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN-PESKA) di Indonesia merujuk kepada kesepakatan yang tertuang dalam empat instrumen internasional atau regional sebagai berikut : 1. Konvensi tentang hak-hak anak (convention on the rights of the child) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melaui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. 2. Deklarasi dan agenda aksi Stockholm disepakati pada tahun 1996. 3. Komitmen dan rencana aksi regional kawasan asia timur dan pasifik melawan eksploitasi seksual komersial anak (regional commitment and action plan of the east asia and pasific region against commercial sexual eksploitation of children), di tandatangani di Bangkok pada bulan oktober 2001. 4. Komitmen global Yokohama, disepakati pada bulan Desember 2001. Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlinduingan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan dalam Pasal 1 bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 2 menyatakan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Perhargaan terhadap pendapat anak. Pasal 3 menyatakan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk mejamin terpenuhinya hak-hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hak dan kewajiban anak juga diatur dalam Undang-Undang ini, diantaranya dalam Pasal 4 menyatakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 6 menyatakan anak juga berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. Penemantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana di atas maka dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang terbuka untuk umum. d. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17). Kewajiban dan tanggung jawab baik untuk pemerintah, masyarakat maupun keluarga dan orangtua juga diatur dalam Undang-undang ini. Bahwa Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan anak (Pasal 20). Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22). Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan., pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23). Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25). Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua adalah : 1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. 2. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. 3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilaksanakan baik dalam sektor agama, kesehatan, pendidikan, sosial yang juga diatur dalam undang-undang ini. Dalam Pasal 48 Undang-Undang tersebut mengharuskan pemerintah untuk wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Namun dalam kenyataannya sampai saat ini anak-anak terlantar semakin menjamur serta tersebar pada perempatan jalan, tempat-tempat umum, terminal untuk menjadi pengemis, pengamen, pengedar koran, penjaja makanan bahkan sampai menjadi pengedar narkoba, tetapi pemerintah belum melakukan tindakan dan langkah-langkah untuk memberi perlindungan terhadap anak yang dalam keadaan terburuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang baik sebagai hukum nasional maupun hukum internasional. Perlindungan khusus dalam Pasal 59 menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 66 menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi tersebut dapat dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual b. Pemantauan, pelaporan, pemberian sanksi dan c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Peran masyarakat adalah masyarakat dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. peran masyarakat tersebut dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa (Pasal 72). Pasal 77 mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindakan : a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik secara materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial. Sanksi pidana bagi pihak yang melanggar adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, anak korban perdagangan dan anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 78). Pada tahun 2003 pemerintah mengesahkan dan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembanguanan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap pekerja juga dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha serta bahwa beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali. Dalam mengatasi permasalahan dibidang ketenagakerjaan khususnya masalah mengenai tenaga kerja anak, pemerintah mengatur hal tersebut dalam Pasal 68-75 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 1 Angka 26 memberikan pengertian bahwa anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun. Batas umur bekerja seorang anak harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, menyebutkan usia minimum tidak boleh kurang dari usia wajib belajar yakni 15 tahun. Dengan demikian mengenai batas usia kerja ini terjadi kontradiktif dengan konsep anak dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggunakan umur lebih tinggi yakni 18 tahun. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun 9ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : c. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan d. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintsh berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Dalam rangka pelaksanaan dari Pasal 74, pemerintah mengeluarkan peraturan berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan Atau Moral Anak. Pasal 1 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia 18 (delapan belas) tahun. Kemudian Pasal 2 menegaskan bahwa anak dibawah 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau dipekerjakan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan, yaitu: Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Anak a. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan peralatan lainnya meliputi : Pekerjaan pembuatan, perakitan/pemasangan, pengoperasian, perawatan dan perbaikan : 1. Mesin-mesin a. Mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin bubut, mesin skrap; b. Mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak, mesin pengisi botol. 2. Pesawat a. Pesawat uap seperti: ketel uap, bejana uap; b. Pesawat cairan panas seperti: pemanas air, pemanas oli; c. Pesawat pendingin, pesawat pembangkit gas karbit; d. Pesawat angkat dan angkut seperti: keran angkat, pita transport, ekskalator, gondola, forklift, loader; e. Pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat pembangkit listrik. 1. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang. 2. Instalasi seperti: instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam kebakaran, saluran listrik. 3. Peralatan lainnya seperti: tanur, dapur peleburan, lift, perancah. 4. Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut, dan sejenisnya b. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya yang meliputi : 1. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Fisik a. Pekerjaan di bawah tanah, di bawah air atau dalam ruangan tertutup yang sempit dengan ventilasi yang terbatas (confined space) misalnya sumur, tangki; b. Pekerjaan yang dilakukan pada tempat ketinggian lebih dari 2 meter; c. Pekerjaan dengan menggunakan atau dalam lingkungan yang terdapat listrik bertegangan di atas 50 volt; d. Pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik dan/atau gas; e. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan suhu dan kelembaban ekstrim atau kecepatan angin yang tinggi; f. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan atau getaran yang melebihi nilai ambang batas (nab); g. Pekerjaan menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan radioaktif; h. Pekerjaan yang menghasilkan atau dalam lingkungan kerja yang terdapat bahaya radiasi mengion; i. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu; j. Pekerjaan yang dilakukan dan dapat menimbulkan bahaya listrik, kebakaran dan/atau peledakan. 2. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia a. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdapat pajanan (exposure) bahan kimia berbahaya; b. Pekerjaan dalam menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar, mudah menyala, oksidator, korosif, iritatif, karsinogenik, mutagenik dan/atau teratogenik; c. Pekerjaan yang menggunakan asbes; d. Pekerjaan yang menangani, menyimpan, menggunakan dan/atau mengangkut pestisida. 3. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis a. Pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik, penyamakan kulit, pencucian getah/karet; b. Pekerjaan di tempat pemotongan, pemrosesan dan pengepakan daging hewan; c. Pekerjaan yang dilakukan di perusahaan peternakan seperti memerah susu, memberi makan ternak dan membersihkan kandang; d. Pekerjaan di dalam silo atau gudang penyimpanan hasil-hasil pertanian; e. Pekerjaan penangkaran binatang buas. 4. Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu: a. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan. b. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat. c. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan. d. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci. e. Pekerjaan penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau di perairan laut dalam. f. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil. g. Pekerjaan di kapal. h. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas. i. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00-06.00 Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Moral Anak 1. Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi. 2. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok. Pada tahun 2004 pemerintah dalam hal ini menteri yang bertanggungjawab dalam bidang ketenagakerjaan, yaitu Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi kembali mengeluarkan peraturan yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 115/Men/2004 Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat Dan Minat. Keputusan ini dikeluarkan sebagai pelaksanaan dari Pasal 71 undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Bahwa pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) keputusan ini yaitu: a. Pekerjaan tersebut biasa dikerjakan anak sejak usia dini; b. Pekerjaan tersebut diminati anak; c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak; d. Pekerjaan tersebut menumbuhkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak. Dalam pelaksanaannya pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk pengembangan bakat dan minat tanpa pengawasan langsung orang tua/wali. Pengawasan langsung oleh orang tua/wali adalah : a. Mendampingi setiap kali anaknya melakukan pekerjaan; b. Mencegah perlakuan eksploitatif terhadap anaknya ; c. Menjaga keselamatan, kesehatan dan moral anaknya selama melakukan pekerjaan (Pasal 4) Sedangkan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun untuk mengembangkan bakat dan minat, wajib: a. Membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan orang tua/wali yang mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. Mempekerjakan di luar waktu sekolah; c. Memnuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari dan 12 (dua belas) jam seminggu; d. Melibatkan orang tua/wali di lokasi kerja untuk melakukan pengawasan langsung; e. Menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika, penjudian, minuman keras, prostitusi dan hal-halsejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak. f. Menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu; dan g. Melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja (Pasal 5) Pasal 6 menegaskan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat harus melapor kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota pada lokasi anak dipekerjakan, dengan tembusan kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi yang bersangkutan. Ketentuan sanksi juga diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (2) diakomodir dalam Pasal 185 bahwa barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling seingkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud merupakan tindak pidana kejahatan. Bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) diatur dalam Pasal 187 yaitu barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Kemudian bagi pihak yang mempekerjakan anak pada jenis-jenis pekerjaan terburuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, ketentuan sanksi diatur dalam Pasal 183 yaitu pihak sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Dalam rangka mengatasi tindak pidana perdagangan orang yang semakin marak, yang biasanya korban dialami oleh anak-anak atau yang di kenal dengan istilah child trafiking. Maka pada 19 April 2007 lalu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang (Human Trafiking) yang dilegalisasikan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang ini menegaskan yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau pemnerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau dengan memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kemdali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi sebagaimana dimaksud adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secra melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriiil. Korban perdagangan orang biasanya dialami oleh perempuan dan anak-anak karena keduanya dari segi fisik dan mental lebih lemah dibandingkan dengan pria dewasa. Masalah perdagangan orang ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat, martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas. Bagi anak, biasanya mereka akan dipekerjakan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang buruk yang tentunya sangat bertentangan hak asasi anak. Perdagangan anak (Child trafiking) adalah segala tindakan pelaku trafiking yang dilakukan secara sengaja yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan untuk kemudian dikirimkan antar daerah atau antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan perdagangan anak. Hal ini dilakukan dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal atau fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentaan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan, obat, jebakan hutang dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana anak digunakan untuk pelacuran dan eksploitasi seksual, menjadi buruh imigran legal maupun ilegal, untuk adopsi anak, pekerja jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedar obat terlarang dan penjualan organ tubuh serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Anak merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera dihentikan tanpa kecuali. Namun dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan tega memperlakukan anak untuk kepentingan bisnis yaitu dengan melakukan trafiking. Trafking merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual kembali serta dirampas hak asasinya bahkan beresiko kematian. Gejala ini berkembang dan berubah dalam bentuk kompleksitasnya namun tetap merupakan perbudakan dan perhambaan. Di Indonesia, korban-korban trafiking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual misalnya dalam bentuk pelacuran serta bekerja di tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah. Secara umum dapat diidentifikasi bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya trafficking anak/perempuan antara lain karena : b. Kemiskinan, menurut data dari BPS adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin terus meningkat. c. Ketenagakerjaan, sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung pula terus meningkat. d. Pendidikan, survei sosial ekonomi menyatakan bahwa semakin meningkatnya anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya. e. Migrasi, menurut KOPBUMI ( Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia)semakin meningkatnya buruh migran ke luar negeri yang sebagian besar menjadi korban trafiking. f. Kondisi keluarga, karena pendidikan rendah dan keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain merupakan titik lemah ketahanan keluarga. g. Sosial budaya, anak sekolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidak adilan gender atau posisi perempuan dan anak yang dianggap lebih rendah yang masih tumbuh di tengah kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. h. Media massa, masih belum memberikan perhatian penuh terhadap berita dan informasi yang utuh dan lengkap tentang trafiking dan belum memberikan kontribusi yang optimal pula dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. 3. Perlindungan Hukum Pekerja Anak Perlindungan hukum selalu diartikan dengan konsep Rechtstaat atau konsep Rule Of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsep Rechtstaat muncul pada abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl. Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (Rule Of Law) yang dipelopori oleh A.V Dicey, yang lahir dalam ruangan sistem hukum Anglo Saxon, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule Of Law sebagai berikut : a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy Of law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of Arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality Before The law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang (di negara lain) oleh Undang-Undang Dasar serta keputusan-keputusan pengadilan. Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan bagi tiap-tiap warga negaranya, hal ini juga termasuk perlindungan terhadap hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Hal ini juga sejalan dengan dianutnya konsep Welfare State oleh Indonesia yaitu konsep yang menghendaki kemakmuran/kesejahteraan bagi warga negaranya. Maka pemerintah dituntut untuk bersifat aktif dalam rangka mewujudkan tujuan dari konsep negara Welfare State tersebut, salah satunya dengan kebijakan-kebijakan yang dapat pemerintah wujudkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara tanpa diskriminasi. Keadaan realita masyarakat yang tidak dapat pemerintah hindari adalah masalah kemiskinan. Masalah ini semakin meningkat jumlahnya yang juga secara signifikan memberikan dampak yaitu peningkatan jumlah pekerja anak. Anak bekerja merupakan polemik bagi setiap negara. Anak disini membutuhkan perlindungan khusus dari setiap elemen pemerintah maupun non pemerintah. Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum (Rechtbetrekking) adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). Anak yang dipekerjakan haruslah diberikan perlindungan yang khusus dari pemerintah. Karena keadaan anak masih lemah baik secara fisik, mental maupun sosial. Seorang anak yang terpaksa bekerja adalah bentuk penelantaran hak anak, karena pada saat bersamaan akan terjadi pengabaian hak yang harus diterima mereka. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan, bermain, akses kesehatan dan lain-lain. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk kategori yang memerlukan Perlindungan Khusus (Children In Need Of Special Protection) yang menuntut penanganan serius dari orangtua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait serta pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak yaitu Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan anak, anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Di bidang ketenagakerjaan, perlindungan pekerja menurut Iman Soepomo dalam Asikin dibagi menjadi tiga macam: 1. Perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. 2. Perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pad umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggita keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3. Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Perlindungan hukum terhadap pekerja anak juga diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan tersebut di atas dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun (ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : a. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Ketentuan ini ditujukan untuk perlindungan keselamatan pekerja anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan dari adanya alat produksi atau pekerjaan yang cenderung kurang bisa dikendalikan anak-anak atau juga harus dihindari dari sentuhan anak-anak. Tentunya hal ini ditujukan untuk meminimalisir adanya bahaya yang ditimbulkan dari ketidakcakapan pekerja anak terhadap alat-alat produksi atau pekerjaan yang ada di tempat pekerja dewasa. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan Pasal 72 tersebut ialah faktor mental dan sosial anak, saat pekerja anak bergabung dengan komunitas pekerja dewasa secara mendasar pola komunikasi dan sosialisasi pekerja dewasa berbeda dengan anak dan berpotensi memberikan dampak buruk terhadap anak melalui pola kehidupan sosial yang belum seharusnya diperoleh oleh anak. Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja B. Pembahasan Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum (rechtbetrekking) adalah interaksi antar subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). Perlindungan hukum dikaitkan dengan konsep Welfare State sebagaimana yang dianut oleh Indonesia. Konsep ini menghendaki kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Untuk itu pemerintah dituntut untuk bersifat aktif dalam rangka mewujudkan tujuan dari konsep negara welfare state tersebut, salah satunya dengan kebijakan-kebijakan yang dapat pemerintah wujudkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara tanpa diskriminasi. Hal ini termasuk perlindungan terhadap hak asasi anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Hak asasi anak secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa bukan saja menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi anak, tetapi juga masyarakat dan negara. Karena pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi manusia seutuhnya sangat bergantung pada sistem moral meliputi nilai-nilai normatif yang sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang bekerja merupakan salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumah tangga (Household Survival Strategy). Hal ini terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin di perkotaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan sumber yang tersedia. Salah satu upaya untuk beradaptasi dengan kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Akibatnya banyak orang tua harus rela melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketenagakerjaan yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak yang diatur dalam Pasal 68-75. Pasal 68 UU No.13 tahun 2003 menegaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Perlindungan terhadap larangan anak untuk dipekerjakan dimaksudkan agar anak dapat memperoleh haknya untuk mengembangkan kepribadiannya serta untuk memperoleh pendidikan karena anak merupakan generasi bangsa. Namun demikian ketentuan tersebut dikecualikan dalam Pasal 69 ayat (1) bahwa bagi anak berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pasal 69 ayat (2) memberikan ketentuan bagi pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana ayat (1) harus memenuhi persyaratan antara lain : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali ; b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali ; c. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah ; d. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam ; e. Keselamatan dan kesehatan kerja ; f. Adanya hubungan kerja yang jelas ; dan g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.(pasal 70 ayat 1). Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit berumur 14 tahun (ayat 2). Pekerjaan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan syarat : a. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. (ayat 3) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71 ayat 1). Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. Dibawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali ; b. Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari ; dan c. Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Pasal 71 ayat 1 memberikan penjelasan bahwa ketentuan ini adalah untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Pasal 72 menegaskan dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa Pasal 73 menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 menegaskan bahwa siapa pun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan terburuk yang dimaksud adalah meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Pasal 75 menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Jika konsep perlindungan hukum terhadap pekerja anak dalam Undang-Undang ketenagakerjaan ditinjau berdasarkan konsep teori perlindungan hukum menurut Iman Soepomo maka akan didapatkan sebuah keutuhan konsep perlindungan hukum yang legitimate berdasarkan dengan hukum positif, karena konsep tersebut merupakan perpaduan dari nilai-nilai normatif dan aspek hukum doktrinal. Perlindungan hukum terhadap pekerja menurut Iman Soepomo meliputi 3 (tiga) unsur yaitu : 1. Perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. 2. Perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pad umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggita keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3. Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Perlindungan ini sebagai wujud pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan baik fisik maupun non fisik. Perlindungan lain terhadap pekerja dapat meliputi : 1. Norma keselamatan kerja, meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin, alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaan, keadaan tempat kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan. 2. Norma kesehatan kerja dan higiene kesehatan perusahaan yang meliputi pemeliharaan dan peningkatan keselamatan pekerja, penyediaan perawatan medis bagi pekerja, dan penetapan standar kesehatan kerja. 3. Norma kerja berupa perlindungan hak tenaga kerja secara umum baik sistem pengupahan, cuti, kesusilaan, dan religius dalam rangka memelihara kinerja pekerja. 4. Norma kecelakaan kerja berupa pemberian ganti rugi perawatan atau rehabilitasi akibat kecelakaan kerja dan/atau menderita penyakit akibat pekerjaan dalam hal ini ahli waris berhak untuk menerima ganti rugi. 1. Perlindungan Secara Ekonomis Perlindungan hukum di bidang ketenagakerjaan yang pertama menurut Iman Soepomo adalah perlindungan secara ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Konsep perlindungan hukum ketenagakerjaan dalam bidang ekonomis menurut Iman Soepomo telah terakomodir dengan Pasal 69 ayat (2) huruf g Undang-Undang Ketenagakerjaan karena Pasal ini menegaskan kepada pengusaha untuk memberikan upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada pekerja anak. Maksud dari ”upah sesuai ketentuan yang berlaku” adalah bahwa tenaga kerja anak harus menerima upah sebagaimana menurut Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Jadi pemberian upah terhadap tenaga kerja anak ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Perjanjian kerja disini dilakukan antara orang tua/wali anak dengan pengusaha/pemberi kerja. Upah yang diberikan terhadap pekerja anak harus sama dengan upah yang diberikan terhadap pekerja dewasa. Karena tidak ada ketentuan yang menegaskan adanya perbedaan upah antara pekerja anak dengan pekerja dewasa. Karena dari segi hasil produktifitas pekerja anak tidak jauh berbeda dengan produktifitas pekerja dewasa. Perlindungan secara ekonomis ini juga searah dengan perlindungan hukum terhadap pekerja yaitu norma kerja. Norma kerja berupa perlindungan hak tenaga kerja secara umum baik sistem pengupahan, cuti, kesusilaan, dan religius dalam rangka memelihara kinerja pekerja. Ketentuan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (2) diakomodir dalam Pasal 185 bahwa barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling seingkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud merupakan tindak pidana kejahatan. 2. Perlindungan Sosial Perlindungan hukum kedua di bidang ketenagakerjaan menurut Iman Soepomo adalah perlindungan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan pekerja berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pad umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggita keluarga. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Perlindungan sosial menurut Iman Soepomo telah terakomodir dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c, d dan e. Pasal 69 ayat (2) huruf c dan d menegaskan bahwa pengusaha/pemberi kerja yang mempekerjakan anak hanya boleh mempekerjakan anak dengan waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam dan pekerjaan dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah. Ketentuan ini ditujukan agar kesehatan fisik anak tetap terjaga. Selain itu pembatasan waktu kerja yang hanya maksimum 3 (tiga) jam ini ditujukan agar anak tetap mempunyai waktu untuk belajar dan bermain dengan anak-anak seusianya. Untuk itu walaupun anak bekerja tetapi anak tetap dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Pasal 69 ayat (2) ayat e adalah pemberi kerja/pengusaha wajib melindungi kesehatan dan keselamatan kerja pekerja anak. Dalam hal ini pemberi kerja wajib yang mempekerjakan anak dengan memberikan jaminan kesehatan kerja bagi pekerja anak. hal tersebut dapat diwujudkan melalui program Jamsostek berupa Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah pekerja sebulan bagi pekerja yang sudah berkeluarga, dan 3% sebulan bagi pekerja yang belum berkeluarga. Pasal 70 juga telah sejalan dengan konsep perlindungan sosial menurut Iman Soepomo. Pasal ini menyatakan bahwa anak dapat melakukan pekerjaan ditempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejebat yang berwenang. Hal ini ditujukan agar anak dapat diberikan masukan akan pendidikan ataupun pelatihan sejak dini sekalipun ia sedang bekerja. agar ia dapat berkembang dengan baik sampai ia menginjak dewasa. Dengan persyaratan harus diberi petunjuk dengan jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan tersebut dan diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dari pemberi kerja atau pengusaha. Pasal 71 ayat 1 menyatakan bahwa anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Ketentuan ini untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Dalam hal ini anak diberikan kebebasan untuk mengembangkan bakat dan minatnya, karena anak yang bekerja tidaklah selalu berdampak negatif. Melainkan dengan bekerja juga dapat melatih kemampuan fisik, mental dan sosial anak. Lebih baik lagi jika anak bekerja dengan kehendak sendiri dan bekerja pada pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga dapat mengembangkan kemampuan intelektualitas anak. Peraturan pelaksana dari Pasal ini yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 115/MEN/2004 Tentang perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat. Bahwa pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) keputusan ini yaitu: a. Pekerjaan tersebut biasa dikerjakan anak sejak usia dini; b. Pekerjaan tersebut diminati anak; c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak; d. Pekerjaan tersebut menumbuhkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak. Bagi pihak yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) diatur dalam Pasal 187 yaitu barangsiapa melanggar ketentuan yang dimaksud dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Pasal 74 yang memberikan perlindungan kepada pekerja anak dengan memberikan ketentuan bahwa anak dilarang dipekerjakan atau dilibatkan pada pekerjaan-pekerjaan terburuk yang meliputi : a. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Hal ini ditujukan agar dalam proses sosialisasi anak selalu diberikan masukan-masukan yang sifatnya positif, sehingga dalam tumbuh kembang anak bisa menjadi anak yang baik yang terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif meskipun ia sebagai pekerja anak.. Peraturan pelaksana dari Pasal 74 terhadap ketentuan bahwa anak tidak boleh dipekerjakan terhadap bnetuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak dituangkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. Terkait dengan perlindungan sosial diatur mengenai jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan moral anak seperti : 1. Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi. 2. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok. Konsep perlindungan hukum sosial menurut Iman sopomo tersebut juga searah dengan ketentuan Norma Kesehatan Kerja yaitu meliputi pemeliharaan dan peningkatan keselamatan pekerja, penyediaan perawatan medis bagi pekerja, dan penetapan standar kesehatan kerja. Bagi pihak yang mempekerjakan anak pada jenis-jenis pekerjaan terburuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, ketentuan sanksi diatur dalam Pasal 183 yaitu pihak sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). 3. Perlindungan Teknis Perlindungan hukum yang ketiga di bidang ketenagakerjaan menurut Iman Soepomo adalah Perlindungan teknis, yaitu suatu usaha perlindungan pekerja yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan dari alat kerja atau bahan yang diolah oleh perusahaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Perlindungan teknis dibidang ketenagakerjaan menurut Iman Soepomo telah direfleksikan dalam Pasal 69 ayat (2) huruf e adalah pemberi kerja/pengusaha wajib melindungi kesehatan dan keselamatan kerja pekerja anak. Sama halnya dengan perlindungan sosial, perlindungan teknis dapat diwujudkan oleh pengusaha dengan mengikuti program Jamsostek., yaitu program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Jaminan kecelakaan kerja (JKK) berkisar antara 0,24%--1,74% dari upah sebulan yang ditanggung pengusaha Pasal 72 juga memberikan sebuah perlindungan teknis yaitu bahwa dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja dewasa maka tempat kerja anak harus dipisahkan dengan tempat kerja pekerja dewasa. Ketentuan ini ditujukan untuk perlindungan keselamatan pekerja anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan dari adanya alat produksi atau pekerjaan yang cenderung kurang bisa dikendalikan anak-anak atau juga harus dihindari dari sentuhan anak-anak. Tentunya hal ini ditujukan untuk meminimalisir adanya bahaya yang ditimbulkan dari ketidakcakapan pekerja anak terhadap alat-alat produksi atau pekerjaan yang ada di tempat pekerja dewasa. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan Pasal 72 tersebut ialah faktor mental dan sosial anak, saat pekerja anak bergabung dengan komunitas pekerja dewasa secara mendasar pola komunikasi dan sosialisasi pekerja dewasa berbeda dengan anak dan berpotensi memberikan dampak buruk terhadap anak melalui pola kehidupan sosial yang belum seharusnya diperoleh oleh anak. Perlindungan teknis berupa keamanan kerja juga diatur dalam Pasal 73 yang menyatakan bahwa anak bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Ketentuan ini ditujukan dalam rangka administrasi pengawasan yang efektif dari pihak pengusaha atau pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja anak. Dalam hal lain, pengusaha atau pemberi kerja dapat mempekerjakan anak di luar tempat kerja dengan ketentuan pengusaha atau pemberi kerja dapat membuktikannya melalui perjanjian kerja. Perlindungan teknis juga diakomodir dalam Pasal 74 yang memberikan perlindungan kepada pekerja anak dengan memberikan ketentuan bahwa anak dilarang dipekerjakan atau dilibatkan pada pekerjaan-pekerjaan terburuk yang meliputi : 1. Segala jenis pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya ; 2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian ; 3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi atau perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ; dan/atau 4. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. Berkaitan dengan perlindungan teknis, diatur mengenai jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan anak, yaitu : 1. Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi, dan peralatan lainnya meliputi : Pekerjaan pembuatan, perakitan/pemasangan, pengoperasian, perawatan dan perbaikan : a. Mesin-mesin 1) Mesin perkakas seperti: mesin bor, mesin gerinda, mesin potong, mesin bubut, mesin skrap; 2) Mesin produksi seperti: mesin rajut, mesin jahit, mesin tenun, mesin pak, mesin pengisi botol. b. Pesawat 1) Pesawat uap seperti: ketel uap, bejana uap; 2) Pesawat cairan panas seperti: pemanas air, pemanas oli; 3) Pesawat pendingin, pesawat pembangkit gas karbit; 4) Pesawat angkat dan angkut seperti: keran angkat, pita transport, ekskalator, gondola, forklift, loader; 5) Pesawat tenaga seperti: mesin diesel, turbin, motor bakar gas, pesawat pembangkit listrik. a. Alat berat seperti: traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang. b. Instalasi seperti: instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam kebakaran, saluran listrik. c. Peralatan lainnya seperti: tanur, dapur peleburan, lift, perancah. d. Bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut, dan sejenisnya 2. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya yang meliputi : 1. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Fisik a. Pekerjaan di bawah tanah, di bawah air atau dalam ruangan tertutup yang sempit dengan ventilasi yang terbatas (confined space) misalnya sumur, tangki; b. Pekerjaan yang dilakukan pada tempat ketinggian lebih dari 2 meter; c. Pekerjaan dengan menggunakan atau dalam lingkungan yang terdapat listrik bertegangan di atas 50 volt; d. Pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik dan/atau gas; e. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan suhu dan kelembaban ekstrim atau kecepatan angin yang tinggi; f. Pekerjaan dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan atau getaran yang melebihi nilai ambang batas (nab); g. Pekerjaan menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan radioaktif; h. Pekerjaan yang menghasilkan atau dalam lingkungan kerja yang terdapat bahaya radiasi mengion; i. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang berdebu; j. Pekerjaan yang dilakukan dan dapat menimbulkan bahaya listrik, kebakaran dan/atau peledakan. 2. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Kimia a. Pekerjaan yang dilakukan dalam lingkungan kerja yang terdapat pajanan (exposure) bahan kimia berbahaya; b. Pekerjaan dalam menangani, menyimpan, mengangkut dan menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, eksplosif, mudah terbakar, mudah menyala, oksidator, korosif, iritatif, karsinogenik, mutagenik dan/atau teratogenik; c. Pekerjaan yang menggunakan asbes; d. Pekerjaan yang menangani, menyimpan, menggunakan dan/atau mengangkut pestisida. 3. Pekerjaan yang mengandung Bahaya Biologis a. Pekerjaan yang terpajan dengan kuman, bakteri, virus, fungi, parasit dan sejenisnya, misalnya pekerjaan dalam lingkungan laboratorium klinik, penyamakan kulit, pencucian getah/karet; b. Pekerjaan di tempat pemotongan, pemrosesan dan pengepakan daging hewan; c. Pekerjaan yang dilakukan di perusahaan peternakan seperti memerah susu, memberi makan ternak dan membersihkan kandang; d. Pekerjaan di dalam silo atau gudang penyimpanan hasil-hasil pertanian; e. Pekerjaan penangkaran binatang buas. 4. Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu: a. Pekerjaan konstruksi bangunan, jembatan, irigasi atau jalan. b. Pekerjaan yang dilakukan dalam perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat. c. Pekerjaan mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan diatas 10 kg untuk anak perempuan. d. Pekerjaan dalam bangunan tempat kerja yang terkunci. e. Pekerjaan penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau di perairan laut dalam. f. Pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil. g. Pekerjaan di kapal. h. Pekerjaan yang dilakukan dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas. i. Pekerjaan yang dilakukan antara pukul 18.00-06.00 Konsep perlindungan hukum yang mengatur mengenai pekerja anak dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan telah cukup baik karena ketentuan yang ada tersebut mengandung aspek normatif dan aspek doktrinal. Namun ada hal yang masih menjadi permasalahan dalam Pasal 75 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Namun hingga kini pemerintah belum juga mengeluarkan seperangkat peraturan sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut. Jadi apabila terjadi permasalahan terhadap pekerja anak yang bekerja di luar sektor formal, saat ini masih menggunakan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Oleh karena itu perlindungan hukum bagi anak yang bekerja di luar sektor formal belum dapat diterapkan secara optimal di masyarakat. Undang-Undang Ketenagakerjaan memang melarang siapapun mempekerjakan dan melibatkan anak-anak yang diartikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, seperti perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, pornografi, atau perjudian, pekerjaan yang menggunakan anak untuk mendapatkan atau melibatkan anak dalam pembuatan dan perdagangan minuman beralkohol, narkotika, zat psikotropika, dan/atau segala jenis pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, dan moral seorang anak.. Jenis-jenis pekerjaan yang merusak kesehatan, keselamatan, dan moral seorang anak ini tidak dicantumkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, tetapi ditetapkan melalui sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003, yang menetapkan lima belas tahun sebagai usia kerja anak (Pasal 3), dan melarang anak berusia di bawah delapan belas tahun untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan, keselamatan, atau moral mereka. Dengan demikian, keputusan tersebut seolah-olah berlaku juga bagi pekerja anak di luar sektor formal (sektor informal). Namun dalam prakteknya tidak diterapkan. Hanya pengguna jasa tenaga kerja di sektor formal saja yang dilarang oleh KEPMEN tersebut. Padahal terdapat lebih banyak anak di sektor informal daripada di sektor formal, pengguna jasa tenaga kerja di sektor informal tidak dibatasi dalam hal jumlah jam kerja yang mereka tuntut dari anak. Perbedaan dalam hal perlindungan yang diberikan kepada pekerja anak di bidang formal dibandingkan dengan pekerja anak di bidang informal adalah bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, yang tidak membedakan antara berbagai sektor pekerjaan dalam melarang eksploitasi ekonomi terhadap anak. Keputusan Menteri ini lebih jauh lagi menyebutkan pekerjaan yang dilakukan dalam tempat tertutup dan dilaksanakan antara jam 6:00 sore sampai jam 6:00 pagi sebagai pekerjaan berbahaya. Ketentuan ini seharusnya berlaku bagi anak yang bekerja di luar sektor formal seperti pekerja runah tangga, tetapi pada prakteknya tidaklah demikian. KEPMEN ini juga tidak menyebutkan secara khusus bahwa termasuk dalam pekerjaan berbahaya adalah pekerjaan yang membuka kesempatan pelecehan fisik, psikologis, atau seksual terhadap anak; melibatkan jam kerja yang panjang; atau yang secara tidak pantas mengekang seorang anak di tempat majikannya, sepeti ditetapkan dalam Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dengan demikian ini merupakan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dalam pandangan ILO/IPEC, jika anak dibiarkan untuk bekerja, di masa depannya akan menuai masalah yang luas dan kompleks, bukan hanya pada anak sendiri tetapi juga kerugian jangka panjang yang harus ditanggung masyarakat. 1. Kerugian bagi anak : a. Penyangkalan hak-hak dasar, misalnya hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk bermain, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik. b. Tubuh anak masih terus berkembang dan belum terbentuk sepenuhnya. Pekerjaan tertentu dapat mengakibatkan kesehatan yang buruk atau dapat mencelakakan dan dapat mengakibatkan tumbuh kembang anak terganggu. Kesehatan jasmani mereka dapat terganggu akibat kelelahan fisik yang disebabkan beban pekerjaan yang berat atau posisi tubuh yang salah sewaktu bekerja. c. Anak-anak lebih mudah terkontaminasi senyawa kimia dan radiasi berbahaya dibandingkan orang dewasa. d. Daya tahan tubuh anak rentan terhadap penyakit. e. Anak-anak seringkali mengerjakan pekerjaan yang terdapat eksploitasi, berbahaya, merendahkan harga diri dan terisolasi. Mereka seringkali mendapatkan perlakuan kasar, sewenang-wenang dan diabaikan oleh majikannya. Hal ini menyebabkan anak-anak tersebut mengalami kesulitan dalam mengungkapkan rasa kasih sayang dan perasaannya terhadap orang lain. Mereka juga mengalami kesulitan berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain, dan menemukan jati diri. Mereka juga seringkali merasa kurang percaya diri dan direndahkan atau disepelekan. f. Anak-anak didorong memasuki dunia orang dewasa sebelum waktunya. Mereka tidak mempunyai waktu mengikuti aktivitas-aktivitas yang penting untuk pertumbuhan mereka, misalnya bermain, bersekolah, bergaul dengan teman sebaya. Mereka tidak dibekali dengan pendidikan dasar yang dibutuhkan untuk kehidupan. 2. Kerugian jangka panjang yang ditanggung masyarakat : a. Anak-anak tanpa pendidikan memiliki kesempatan mengubah nasibnya dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan faktor pendorong masuknya anak ke dunia kerja, akan tetap bekerja pada usia dini menyebabkan mereka tetap miskin. Kesejahteraan masyarakat dipertaruhkan. b. Anak-anak yang mulai bekerja pada usia dini akan mengalami kesehatan fisik yang rapuh, ketakutan, dan matang sebelum waktunya di masa yang akan datang. BAB V PENUTUP A. Simpulan Secara umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur perlindungan hukum terhadap pekerja anak. Hal tersebut terlihat dengan terakomodirnya aspek ekonomis, aspek sosial dan aspek teknis dalam perumusan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu : a. Aspek Ekonomis yang menyatakan perlindungan dari segi upah telah direfleksikan dalam Pasal 69 ayat (2) huruf e bahwa pengusaha wajib memberikan upah sesuai dengan pengertian upah menurut Pasal 1 angka 30. b. Aspek Sosial telah diakomodir dalam Pasal 69 ayat (2) huruf c, d, dan e bahwa pengusaha berkewajiban memberikan perlindungan berupa jaminan kesehatan, Pasal 71 memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja untuk pengembangan bakat dan minat yang umumnya muncul pada usia anak menjadi tidak terhambat, dan Pasal 74 yang melarang anak bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang terburuk. c. Aspek Teknis yang menyatakan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan perlindungan berupa keselamatan kerja telah sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf e yang memberikan kewajiban pengusaha untuk menjamin keselamatan pekerja anak, Pasal 72 yang memberikan ketentuan bahwa dalam hal anak dipekerjakan bersama pekerja dewasa, tempat kerja harus dipisahkan, hal ini ditujukan untuk perlindungan keselamatan pekerja anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan dari adanya alat produksi atau pekerjaan yang cenderung kurang bisa dikendalikan anak-anak juga untuk meminimalisir adanya bahaya yang ditimbulkan dari ketidakcakapan pekerja anak terhadap alat-alat produksi atau pekerjaan yang ada di tempat pekerja dewasa. Hal lain ialah faktor mental dan sosial anak yang jelas berbeda dengan orang dewasa pada umumnya, Pasal 73 menegaskan bahwa untuk menjamin keselamatan anak, maka anak hanya dianggap bekerja jika berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, serta ketentuan Pasal 74 yang secara tegas melarang anak untuk dipekerjakan pada jenis pekerjaan yang terburuk. Pasal 75 yang menyatakan kewajiban bagi pemenrintah untuk menanggulangi pekerja anak yang bekerja di luar hubungan kerja, hingga kini belum di keluarkan peraturan pelaksanaannya. Jadi apabila terjadi permasalahan terhadap pekerja anak yang bekerja di luar hubungan kerja saat ini masih menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. B. Saran Secara umum dari pengaturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan khususnya yang mengatur mengenai pekerja anak dapat ditarik sebuah saran/rekomendasi yaitu seperti dilakukan langkah penegasan secara normatif yang lebih konkrit mengenai batasan umur anak yang dapat diperbolehkan bekerja. Selain itu perlu adanya seperangkat peraturan pelaksanaan dari ketentuan yang menyatakan kewajiban bagi pemerintah untuk menanggulangi pekerja anak yang bekerja di luar sektor formal. Perlunya pengawasan yang optimal oleh seluruh elemen hubungan industrial serta penerapan sanksi yang tegas atas pelanggaran yang terjadi terhadap pekerja anak guna terciptanya implementasi yang efektif dari pengaturan khususnya di bidang pekerja anak di lapangan ketenagakerjaan. DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur : Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak. Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2007 Asikin, Zainal, dkk.. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002 Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994 Harahap, Zairin. Huikum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Handayaningrat,Soewarno. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Management, Gunung Agung, Jakarta. 1980 H.R, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. 2003 Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak. Penerbit Nuansa. Yogyakarta, 2006 Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003 Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia Publishing, Yogyakarta. 2006 J.S, Payaman, dalam Lalu Husni, SH, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta. 2003 Manulang, Sendjun. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 2001 Marbun, S.F. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty. Yogyakarta. 2001 Rusli, Hardijan. Hukum Ketenagakerjaan 2003. Ghalia Indonesia., Jakarta, 2003 Soemitro Hanitijo, Ronny. Metode Penelitian Hukum. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta. 1992 Soepomo, Imam. Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1987 Stefanus, Kotan Y. Mengenai Peradilan Kepegawaian di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Penerbit PT. Intermasa. Jakarta, 2003 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjajaran, Bandung, 1960 Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 Tentang Usia Minimum Diperbolehkan Untuk Bekerja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 Tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafiking) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 Tentang rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/Men/2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 115/Men/VII/2004 Tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat