Kamis, 17 Mei 2012





 OLEH SWILLSOND.M.KWALIK



ORGANISASI PAPU MERDEKA. Menurut saya. Persoalan yang selalu terjadi di tanah papua bukan soal kesejaterahan pembangunan di tanah. .karena kami tahu bawah pemerinaha pusat turunkan uang di tanah papua bukan main lagi,tetapi uang-uang itu hilang dimana…..masyarakat yang tidak tahu apa-apa kondisinya tidak pernah berubah zaman dulu-dulu masih ada-ada terus jadi. Kapan lagi masyarakat papua bisa merasakan kesejaterahan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah….atau pemerintah pusat turunkan uang di tanah papua demi kepentingan pejabat saja kah?. Karena masyarakat papua menderita ditanhanya sendieiri…….seperti ini pemerinatah pusat harus mengambil hali terhadap pejabat-pejabat yang berkepentingan itu agar pembangunan di tanah papua bisa berjalan dengan baik.dan controli terus ,kalau biarkan apa yang terjadi disana..?. Sehingga dengan dasar ini papua mau melepaskan diri dari KRI.,itu perlu tahu jangan pura-pura tidak tahu ya..persoalan papua merdeka bukan persoalan baru ya……sudah tahu tapi jangan pura-pura tidak tahu. orang yang berpikir seperti itu boleh katakan manusia aneh /manusia yang tidak berpendidikan ..jadi setahu saya papua merdeka adalah harga mati.. sampai kapan pun papua tetap merdeka……jadi persoalan papua merdeka jangan anggap remeh ,dan penembakan yang selalu terjadi di areal pt Freeport tidak akan berhenti sampai kapan pun…kalau kamu tidak percaya nanti kamu rasakan…dan Penembakan tersebut murni dari TPN/OPM.dan mereka pun tidak pernah menyangkal diri mereka,..karena setelah mereka melekukan penembakan memberitahukan kepada public bawah pelaku adalah ini…..dibawah pimpinan ini dan sebagai itu selalu di sampaikan oleh pemimpin papua merdeka .. jadi jangan pura-pura tidak tahu. karena papua merdeka adalah: sura Tuhan bukan suara manusia, NKRI Perlu ketahui itu. Karena kekerasan di tanah papua tidak akan berhenti sampai kapan pun…..selain papua merdeka kekerasan di tanah papua akan berhenti dan damai. pokok pertama adalah untuk membangun di tanah papua dari Negara tertua mana pun datang dengan tujuan untuk membangun Di Tanah papua tidak akan jadi-jadi kapan pun……….,kecuali orang papua Itu sendiri bangkit dan akan membangun di tanahnya sendiri.. . Jadi papua merdeka adalah harga mati…..bukan main-main……ya…….. sampai kapan pun papua tetap merdeka……………tetap merdeka…...sampai merdeka titik .. PAPUA MERDEKA ADALAH SUARA TUHAN .

PELAKSANAAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA




 OLEH WILLSOND M.KWALIK


Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara RI 1. 1. Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945 : • Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan. • Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja • Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya. 1. a. Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Republik Indonesia 1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. 2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah presidensial. 3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun pada pemilu tahun 2004, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket untuk masa jabatan 2004 – 2009. 4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden. 5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing provinsi yang berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan banyak. Selain lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga dipilih melaui pemilu. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. 6) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. 7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. 1. b. Beberapa variasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial RI 1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung. 2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya dalam pengangkatan Duta untuk negara asing, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala kepolisian. 3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi. 4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran). Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat difahami bahwa dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika politik bangsa Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Fokus Kita : Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebelum dilakukan amandemen, telah dengan jelas tercantum di dalam Penjelasan UUD 1945. Dengan demikian dapat dengan mudah diketahui oleh kalangan akademisi yang berminat untuk mendalami tentang sistem pemerintahan negara. Setelah dilaksanakan amandemen terhadap UUD 1945 (dari tahun 1999 s.d. 2002), penjelasan tentang Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Batang Tubuh UUD 1945. Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan model sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 : Masa Orde Baru (Sebelum amandemen UUD 1945) Masa Reformasi (Setelah Amandemen UUD 1945) Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai berikut : 1. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat) Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekua-saan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut : 1) Negara Indonesia adalah negara Hukum. Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3), tanpa ada penjelasan. 2) Sistem Konstitusional Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. 1. b. Sistem Konstitusional Secara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut : - Pasal 2 ayat (1) - Pasal 3 ayat (3) - Pasal 4 ayat (1) - Pasal 5 ayat (1) dan (2) - Dan lain-lain 1. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah: 1) Menetapkan Undang-Undang Dasar, 2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, 3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “manda-taris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis. 1. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut : - Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. - Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. - Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. 1. d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya. 1. d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). 1. e. Presiden tidak bertanggungjawab ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden. 1. e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial. 1. f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwa-kilan Rakyat. Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Menteri-mentri itu tidak bertanggungjawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden. 1. f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang Pasal 17). 1. g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela. 1. h. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3). 1. 2. Struktur Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia Perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebagai akibat dari dilukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, secara yuridis konstitusional berpengaruh pula pada iklim politik dan struktur ketatanegararaan. Perubahan iklim politik, antara lain ditandai dengan adanya keberanian anggota dewan dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan semakin produktif dalam menghasilkan peraturan perundang-undangan yang pada masa orde baru hal ini tidak terjadi. Demikian juga MPR dan lembaga-lembaga negara lain yang sudah mampu menunjukkan keberadaannya. Dominasi eksekutif (Lembaga Kepresidenan), sudah diminimalisir dengan salah satu amandemen UUD 1945 Pasal 7 tentang jabatan Presiden yang maksimal 2 periode (10) tahun. Keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam struktur ketatanegaraan, terjadi penambahan nama lembaga negara dan sekaligus penghapusan suatu lembaga negara. 1. a. Struktur Ketatanegaraan (sebelum amandemen UUD 1945). Berdasarkan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Hukum Republik Indonsia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan kembali dengan Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/MPR/1978. 1. b. Struktur Ketatanegaraan (Setelah Amandemen UUD 1945) Pelaksanaan amandemen terhadap UUD 1945 telah dilakukan selama 4 (empat) kali, yakni : pertama mencakup 9 pasal (disahkan tanggal 19 Oktober 1999), kedua mencakup 25 pasal (disahkan tanggal 18 Agustus 2000), ketiga mencakup 32 pasal (disahkan 9 November 2001), dan keempat mencakup 13 pasal (disahkan tanggal 10 Agusutus 2002). Struktur Kekuasaan di dalam Negara Republik Indonesia setelah amandemen UUD 1945 (menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddigie dan I Dewa Gde Palguna SH., MH.) adalah sebagai berikut. Bonus Info Kewarganegaraan Hal-hal yang mendasar dalam ketatanegaraan negara republik Indonesia setelah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebagai berikut : 1. Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilakukan menurut UUD (Pasal 1). 2. MPR bikameral yaitu terdiri dari DPR dan DPRD (Pasal 2). 3. Masa jabatan Presiden maksimal 2 (dua) kali periode (Pasal 7). 4. Pencamtuman Hak asasi Manusia (Pasal 28A s.d. 28J). 5. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung. 6. Penghapusan DPA diganti menjadi Dewan Pertimbangan, di bawah Presiden. 7. Penghapusan GBHN sebagai salah satu tugas MPR. 1. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK)dan Komisi Yudisial (KY) tercantum dalam Pasal 24B dan 24C. 2. Anggaran Pendidikan minimal 20% (Pasal 31). 10. Negara Kesatuan tidak boleh dirubah (Pasal 37). 11. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dihapus. 12. Penegasan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi ekonomi nasional. 3. Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara R.I. Berdasarkan landasan yuridis konstitusional, sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di negara republik Indonesia baik pada masa orde lama (1959 – 1966), orde baru (1966 – 1998) dan era reformasi (1998 s.d. sekarang) secara substantif tidak mengalami perubahan. Perbedaan pelaksanaan terletak pada cara pandang dan pemahaman rezim yang berkuasa serta kebijakan-kebijakan politik dan produk-produk hukumnya. Fokus Kita : Suatu sistem pemerintahan yang diterapkan oleh negara manapun baik sistem monarkhi, parlementer, maupun presidensial, tidak akan ada yang sempurna. Apapun sistemnya sepanjang dibuat oleh manusia pasti ada kelebihan maupun kelemahannya. Negara republik Indonesia yang berdiri sejak tahun 1945, hingga sekarang ini pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer. Namun pada akhirnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali ke sistem presidensial. Untuk dapat melihat secara komprehensif kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem pemeriantahan negara republik Indonesia, dapat dilihat pada berikut ini. Sistem Pemerintahan Presidensial Negara R.I. No Kelebihan Kelemahan 1. Adanya pernyataan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum dan sistem konstitusional. Hal ini telah memberikan kepastian hukum dan supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Produk hukum belum banyak memihak kepentingan rakyat demikian juga aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) masih ada oknum yang belum bekerja secara profesional sehingga dapat diajak berkolusi. 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan golongan (sekarang DPR dan DPD), berwenang mengubah UUD dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal ini pernah dilakukan karena Presiden dinilai telah melanggar haluan negara atau UUD 1945. Contoh : Presiden Soekarno (1967), Presiden B.J. Habibie (1999), dan Presiden K.H. Abdurachman Wahid (2002). Majelis Permusyawaratan Rakyat yang anggota-anggotanya terdiri anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan golongan (sekarang DPR dan DPD), merupakan lembaga negara yang sarat dengan muatan politis sehingga keputusan maupun ketetapan-ketetapannya sangat bergantung kepada konstelasi politik rezim yang berkuasa pada saat itu. Contoh pada masa orde baru, wewenang MPR untuk mengubah UUD tidak pernah dilakukan, meskipun banyak suara-suara rakyat yang menghendaki amandemen. Keputusan politik masa itu, dikeluarkannya Ketetapan MPR No.IV/MPR/1983 tentang Referandum bila ingin merubah UUD 1945 3. Jabatan Presiden (eksekutif) tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan DPR. Presiden dengan DPR bekerja sama dalam pembuatan Undang-Undang. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh, sehingga ada kecenderungan eksekutif lebih dominan bahkan dapat mengarah ke otoriter. Contoh : Pada masa orde lama, Presiden dapat membubarkan DPR dan lembaga-lembaga negara lain tidak berfungsi bahkan seakan menjadi pembantu presiden. Demikian juga pada masa orde baru, meskipun ada lembaga-lembaga negara lain namun kurang berfungsi sebagaimana mestinya. 4. Jalannya Pemerintahan cenderung lebih stabil karena program-program relatif lancar dan tidak terjadi krisis kabinet. Hal ini dimungkinkan karena kabinet (menteri-menteri) yang diangkat dan diberhentikan Presiden, hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Menteri-menteri adalah pembantu Presiden. Jika para menteri tidak terdiri dari orang-orang yang jujur, bersih dan profesional, program-program pemerintah tidak berjalan efektif dan populis (berpihak kepada rakyat). Hal ini akan berakibat munculnya arogansi kekuasaan, salah urus dan tumbuh suburnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Secara umum hal ini terjadi pada masa pemerintahan orde baru, meskipun harus diakui adanya keberhasilan di bidang pembangunan fisik. Suka Be the first to like this post. Masukan ini dipos pada Agustus 27, 2010 9:29 am dan disimpan pada Pelajaran PKn SMK Kls XII Smtr 1 . Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau trackback dari situs anda.

DEFINISI HUMANITER INTERNASIONAL

   
  

OLEH SWILLSOND M.KWALIK

   Definisi Hukum Humaniter Internasional In Introduction to IHL on November 11, 2008 at 9:32 am Oleh : Arlina Permanasari Hukum Humaniter Internasional (HHI), atauInternational Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut saja sebagai Hukum Humaniter, bukan merupakan cabang ilmu baru dalam Hukum Internasional, sehingga terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hukum Humaniter. Pada gambar di samping, dapat dilihat pengertian Hukum Humaniter yang dikemukakan oleh ICRC (Regional Delegation, Jakarta). Adapun pendapat mengenai pengertian Hukum Humaniterlainnya dapat dilihat sebagaimana antara lain dikemukakan berikut ini : A. Jean Pictet, yang menulis buku tentang “The Principle of International Humanitarian Law”. Dalam buku tersebut, Pictet membagi Hukum Humaniter menjadi dua golongan besar; yaitu : 1. Hukum Perang, yang dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu : a). The Hague Laws, atau hukum yang mengatur tentang alat dan cara berperang, serta b). The Geneva Laws, atau hukum yang mengatur tentang perlindungan para korban perang. 2. Hukum Hak Asasi Manusia Kemudian Pictet memberikan definisi Hukum Humaniter sebagai berikut : “International Humanitarian Law, in the wide sense, is constituted by all the international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for individual and his well being”. Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam dua pengertian, yaitu hukum perang dalam yang sebenarnya (the laws of war properly so-called), yaitu hukum den Haag; dan hukum humaniter dalam pengertian yang sebenarnya (humanitarian law properly so-called), yaitu hukum Jenewa. B. Geza Herczegh, yang berpendapat bahwa International Humanitarian Law hanyalah terbatas pada hukum Jenewa saja, dan karenanya Herczegh merumuskan hukum humaniter sebagai berikut : “Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different”. C. Esbjorn Rosenblad, yang membedakan antara : 1. Hukum sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah seperti : a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian; b. Penduduk di wilayah pendudukan; c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral. 2. Sedangkan hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit daripada hukum sengketa bersenjata, yang mencakup antara lain masalah : a. Metoda dan sarana berperang; b. Status kombatan; c. Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang sipil. Berbeda dengan Herczegh, maka Rosenblad memasukkan dalam Hukum Humaniter, kecuali Hukum Jenewa, juga sebagian dari Hukum Den Haag, yaitu yang berhubungan dengan metoda dan sarana berperang. Menurut Rosenblad, Hukum Perang inilah yang oleh ICRC disebut dengan “international humanitarian law applicable in armed conflict”. Dapat disimpulkan bahwa menurut Rosenblad, Hukum Humaniter identik dengan Hukum Perang, sedangkan Hukum Perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Sengketa Bersenjata. D. Mochtar Kusumaatmadja Dalam suatu kesempatan ceramah pada tanggal 26 Maret 1981, beliau menjelaskan bahwa yang dinamakan Hukum Humaniter adalah sebagian dari Hukum Perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu, seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Pada kesempatan lain, Prof Mochtar juga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau Konvensi Jenewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter; sedangkan Hukum Perang atau Konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan. Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian: 1. Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; 2. Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi : a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws. b. Hukum yang mengatur perlindungan orang¬-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws. Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar Kusumaatmadja kemudian mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari hukum yang mengatur ketentuan¬-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”. E. GPH. Haryomataram GPH. Haryomataram membagi Hukum Humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu : 1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws); 2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws). F. Pantap (Panitia Tetap) Hukum Humaniter Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia merumuskan sebagai berikut: “Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang”. Secara umum, Andapun dapat menemukan definisi Hukum Humaniter di dalam Kamus Ensiklopedia disini.

HPI

  
 OLEH SWILLSOND M.KWALIK


Istilah dan Pengertian Hukum humaniter Hukum humaniter internasional dahulu disebut hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata yang pada umumnya termuat dalam aturan tingkah laku, moral, dan agama yang terdapat pada ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam, bahkan pada masa 3000-1500 SM ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia, dan Mesir Kuno. Konsep perang yang adil (just war) telah dikenal bangsa Yunani. Pada abad ke-18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang harus berdasarkan moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi hukum humaniter internasional. Istilah hukum humaniter internasional atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan hukum humaniter internasional. Istilah hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict) sebagai pengganti hukum perang (laws of war) banyak dipakai dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, Protokol Tambahan I 1977 tentang Sengketa Bersenjata Internasional, dan Protokol Tambahan II 1977 tentang Sengketa Bersenjata Non-Internasional. Pada permulaan abad ke-20 diatur pula mengenai cara berperang yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (Humanity Principle). Perkembangan ini membuat istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan, yaitu menjadi Hukum Humaniter Internasional yang Berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau disebut Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu hukum perang, hukum sengketa bersenjata, dan hukum humaniter internasional, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama. Hukum perang atau hukum humaniter internasional merupakan sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam hal kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh yang boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik bersenjata. Seandainya tidak ada kaidah hukum humaniter, maka kebiadaban dan kebrutalan perang tidak akan dapat dikekang lagi. Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan di mana aturan-aturan hukum humaniter internasional itu timbul, dan lebih sulit lagi untuk menyebutkan pencipta dari hukum humaniter internasional. Sedemikian tuanya sejarah perang atau konflik antar umat manusia, Quincy Wright, pakar hukum internasional terkemuka mengkategorikan empat tahapan perkembangan sejarah perang, yaitu: (1) Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals) (2) Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men) (3) Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men) (4) Perang yang menggunakan teknologi modern (by men using modern technology) Hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya dalam situasi-situasi perang. Istilah hukum humaniter internasional adalah istilah yang relatif baru, di mana istilah ini muncul tahun 1971 ketika diadakan Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Develpment in Armed Conflict. Selanjutnya dari tahun 1974 sampai dengan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau definisi dan ruang lingkup hukum humaniter internasional. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut: a. Menurut Jean Pictet: International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, wheter written and customary, ensuring respect for individual and his well being.Pengertian di atas dapat diartikan: Hukum humaniter international dalam pengertian yang luas termasuk dalam ketentuan hukum, baik tertulis, maupun kebiasaan, menjamin penghormatan individu dan kebaikannya. b. Geza Herzeg merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut: Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time armed conflict. Its place is beside the norm of werfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different. Hal ini dapat diterjemahkan: Bagian dari aturan hukum internasional publik yang memberikan perlindungan kepada individu pada saat sengketa bersenjata. Yang berada di samping ketentuan perang atau yang serupa dengan itu, tetapi harus jelas membedakan maksud dan semangat yang menjadi perbedaan. c. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter internasional adalah: Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut mengenai cara melakukan perang. d. Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional dengan mengadakan pembedaan antara: Hukum sengketa bersenjata, yaitu mengatur tentang permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, dan hubungan pihak bertikai dengan negara netral. Selanjutnya merumuskan Law of Warfare, yang mencakup metode dan sarana berperang, status kombatan, dan perlindungan terhadap mereka yang sakit, tawanan perang, serta orang-orang sipil. e. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut: Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan harkat dan mertabat seseorang. Dari definisi-definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ruang lingkup hukum humaniter internasional dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. Aliran luas dianut oleh Jean Pictet, dapat diartikan bahwa hukum humaniter internasional mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hak Asasi Manusia. Aliran sempit menyatakan bahwa hukum humaniter internasional hanya menyangkut Konvensi Jenewa. Aliran ini dianut oleh Geza Harzegh. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter internasional terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum humaniter internasional terdiri dari sekumpulan aturan internasional yang bertujuan untuk membatasi akibat-akibat dari peperangan, baik orang maupun objek-objek lainnya. Hukum humaniter internasional tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter internasional, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter internasional mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter internasional adalah untuk memanusiawikan perang.Secara umum tujuan yang paling mendasar dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu, juga menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan lawan, harus dilindungi dan dirawat serta berhak diberlakukan sebagai tawanan perang, dan untuk mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas, yang terpenting adalah asas-asas perikemanusiaan. / �-� �� • Tidak boleh diambil tindakan pelaksanaan terhadap wakil diplomatik kecuali dalam hal-hal yang datang di bawah sub-ayat (a), (b),dan (c) dari ayat (1) pasal ini, dan asalkan tindakan yang bersangkutan dapat diambil dengan tidak melanggar kekebalan pribadinya atau tempat kediamannya. • Kekebalan wakil diplomatik dari pengadilan negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan negara pengirim. 4. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 mengandung ketentuan sebagai berikut: A. diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness. Artinya bahwa seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikan kesaksiannya di depan pengadilan, baik peradilan sipil atau perdata, peradilan pidana maupun peradilan administratif. Begitu pula para anggota keluarga dan para pengikutnya tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi di depan pengadilan sehubungan dengan yang mereka ketahui. Namun apabila dilihat dari segi untuk menjaga hubungan baik kedua negara, sebaiknya tidak dipegang secara mutlak dan pemerintah negara pengirimnya dapat secara khusus menghapus atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut dengan pernyataan yang tegas dan jelas. Pasal 22 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa: 1. Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut kecuali dengan izin kepala perwakilan; 2. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan-perwakilan atau yang menurunkan harkat dan martabatnya; 3. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan. C. Kekebalan terhadap korespondensi perwakilan diplomatik Para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh, dan dapat menjalankan komunikasi secara rahasia dengan pemerintahnya. Diakui secara umum bahwa kebebasan berkomunikasi juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara perwakilan dengan pemerintahnya, dan kebebasan ini harus dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat pejabat diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan, atau disensor oleh negara penerima. Perwakilan diplomatik dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan negara pengirim, sedangkan instalasi radio dan operasi pemancar radio hanya dapat dilakukan atas dasar izin negara setempat. Kurir diplomatik yang berpergian dengan paspor diplomatik tidak boleh ditahan atau dihalang-halangi. Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi secara bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Artinya hak untuk berhubungan dengan bebas ini adalah hak seorang pejabat diplomatik, di dalam surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi. Dan perhubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik dengan pemerintahannya sendiri atau pemerintah negara penerima maupun perwakilan diplomatik asing lainnya. Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa: The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes. In communicating with the Government and the other missions and consulates of the sending State, wherever situated, the mission may employ all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code or cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State. Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima akan memberikan izin dan perlindungan untuk kebebasan berkomunikasi dari pihak perwakilan asing suatu negara, guna kepentingan semua tujuan resmi (official purposes) dari perwakilan asing tersebut yaitu dalam hal mengadakan komunikasi dengan pemerintah negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler lainnya dari negara penerima, di mana saja tarletak dan perwakilan diplomatik itu diperbolehkan untuk menggunakan semua upaya-upaya komunikasi yang seperlunya, termasuk kurir-kurir diplomatik, diplomatic bags, dan alat perlengkapan seperlunya yang dipergunakan dalam mengadakan komunikasi tersebut. Pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik dan tanggalnya kekebalan seorang diplomat Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik dari seorang diplomat maupun mengenai kekebalan gedung-gedung perwakilan yang terjadi amtara suatu Negara pengirim dengan Negara penerimanya. Misalnya kasus pemerintah Thailand yang menanggalkan kekebalan staf diplomatiknya di kedutaan besarnya di London Inggris yang terlibat dalam kasus penyelundupan heroin pada tahun 1992, Lalu kasus pemerintah Zaire yang menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomatnya yang menabrak mati dua orang anak kecil di perancis selatan pada tahun 1996, lalu ada juga peristiwa di Pakistan dimana polisi Pakistan memasuki gedung perwakilan Irak di Islamabad (Pakistan), dan juga Kasus Makharadze yang ditanggalkan kekebalan diplomatiknya setelah menabrak sebuah mobil dan menewaskan seorang gadis muda berusia 10 tahun dan melukai 4 orang lainnya di Washington pada tahun 1997 atas kejadian tersebut pemerintah Amerika serikat melalui menteri luar negerinya menghimbau kepada pemerintah Georgia agar menangglakan kekebalan diplomatik georgui Makharadze dan membiarkan diplomatnya tersebut diadili dengan menggunakan hukum wilayah setempat. Kekebalan yang dimiliki seorang wakil diplomatik didasarkan pada prinsip pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada wakil diplomatik dalam melakukan tugasnya dengan sempurna. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap perwakilan diplomatik beserta fasilitas-fasilitasnya termasuk di dalamnya gedung perwakilan diplomatik asing. Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik menegaskan bahwa status gedung perwakilan diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolable) karena merupakan bentuk penghormatan negara penerima atas keberadaan suatu misi diplomatik sehingga pejabat-pejabat dari negara penerima tidak boleh memasukinya, kecuali dengan persetujuan kepala perwakilan. Tanggung jawab negara lahir apabila negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum internasional karena kesalahan atau kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban hukum internasional. Pelanggaran terhadap kekebalan perwakilan diplomatik oleh negara penerima bisa terjadi apabila negara penerima tidak dapat memberikan perlindungan dan kenyaman terhadap para diplomatik dalam menjalan kan fungsi dan misi-misinya. Negara peneri ma wajib memperbaiki sekaligus mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut dan menjaga kehormatan dari negara pengirim wakil diplomatik sebagai negara yang berdaulat. Menurut Konvensi Wina 1961 dijelaskan dalam pasal 32 mengenai ketentuan-ketentuan tentang penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum. Disebutkan bahwa kekuasaan dari pejabat-pejabat diplomatikdan orang-orang yang menikmati kekebalan seperti tersebut dalam pasal 37 dapat ditanggalkan oleh Negara pengirim. Namun penanggalan tersebut harus dinyatakan dengan jelas. Untuk mengadakan hubungan diplomatik antar negara, diperlukan adanya sebuah perwakilan yang mewakili suatu negara di negara lain, yang disebut sebagai perwakilan diplomatik. Sedangkan pelaksanaan dari perwakilan diplomatik dijalankan oleh pejabat diplomatik. Pejabat diplomatik atau yang disebut juga dengan diplomat merupakan wakil dari negara yang mengirimnya. Sebagaimana telah diatur oleh hukum internasional, pejabat diplomatik atau diplomat memiliki kekebalan diplomatik selama dia menjalankan tugasnya. Hal itu diberikan agar pejabat diplomatik dapat menjalan tugasnya dengan baik tanpa ada gangguan yang menimpa dirinya. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik diatur dalam Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Salah satu kekebalan yang dimiliki oleh pejabat diplomatik adalah kekebalan terhadap dirinya, yaitu bahwa seorang diplomat tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 29 Konvensi Wina tahun 1961. Selain itu, negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kekebasannya atau martabatnya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kekebalan tersebut sering dilanggar oleh negara penerima sehingga menyebabkan insiden yang dapat merugikan atau menganggu pejabat diplomatik. Insiden yang terjadi dapat diselesaikan dengan menganalisa dan meneliti sebaik-baiknya bahwa kekebalan diplomatik terhadap diri diplomat merupakan kekebalan yang tidak dapat diganggu gugat dan juga diatur secara tegas oleh hukum Internasional, dalam hal ini Konvensi Wina tahun 1961.

GILSAFAT ILMU HUKUM

 OLEH. SWILLSOND M.KWALIK





FILSAFAT ILMU 2 Filsafat Imu Kata Pengantar Sumber belajar yang merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam proses belajar dan pembelajaran agar proses tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut penulis berusaha menyusun materi kuliah Filsafat Ilmu dalam bentuk diktat.. Apa yang disajikan dalam diktat ini hanyalah merupakan garis besar materi kuliah. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan dalam bidang ini diharapkan hahasiswa membaca berbagai refensi yang relevan, terutama yang buku-buku dijadikan acuan dalam penulisan diktat ini. Penulis menyadari bahwa banyak kelemahan yang terdapat pada diktat ini, baik yang menyangkut isi, pengungkapan, maupun sistematika penulisan. Untuk itu saran serta kritik yang konstruktif senantiasa penulis harapkan. Kediri, September 2009 Penulis 3 Filsafat Imu Daftar Isi Halaman Judul ....................................................................................... i Kata Pengantar ...................................................................................... ii Daftar Isi ................................................................................................. iii Daftar Tabel, Bagan, dan Gambar ........................................................ iv BAB I HAKIKAT FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU ........................... 1 1. Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Filsafat dan Ilmu ....... 1 2. Hakikat Filsafat .................................................................. 2 3. Hakikat Filsafat Ilmu ........................................................... 3 BAB II DIMENSI ONTOLOGIS ILMU ................................................. 5 1. Beberapa Tafsiran Metafisika ............................................ 5 2. Hakikat Ilmu ....................................................................... 5 3. Objek Ilmu .......................................................................... 8 4. Struktur Ilmu ....................................................................... 8 BAB III DIMENSI EPISTEMOLOGIS ILMU ......................................... 13 1. Cara-cara Mendapatkan Pengetahuan .............................. 13 2. Kebenaran .......................................................................... 14 3. Metoda Ilmiah .................................................................... 16 BAB IV DIMENSI AKSIOLOGIS ILMU ................................................ 21 1. Pengertian Aksiologi .......................................................... 21 2. Ilmu dan Azas Moral ........................................................... 21 Daftar Pustaka ....................................................................................... 24 4 Filsafat Imu HAKIKAT FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU 1. Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Filsafat dan Ilmu Suatu peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian juga dengan timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin (1997 : 9-10), filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia. a. Manusia merupakan makhluk berakal budi. Dengan akal budinya, kemampuan manusia dalam bersuara bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budinya, manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to know). Pada diri manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiosity), yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan.Bertanya adalah berpikir dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan. b. Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan isinya Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnyasaja kekaguman pada Bab 1 5 Filsafat Imu matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya. c. Manusia senantiasa menghadapi masalah Faktor lain yang juga mendorong timbulnya filsafat dan ilmu adalah masalah yang dihadapi manusia (aporia). Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science). 2. Hakikat Filsafat a. Pengertian Filsafat Istilah filsafat yang merupakan terjemahan dari philolophy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo (love of ) dan sophia (wisdom). Jadi secara etimologis filsafat artinya cinta atau gemar akan kebajikan (love of wisdom). Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati. Demikian arti filsafat pada mulanya. Berdasarkan arti secara etimologis sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan definisi filsafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk berpikir secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir dengan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Aktivitas tersebut diharapkan dapat 6 Filsafat Imu menhghasilkan suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Kattsoff, sebagaimana dikutip oleh Associate Webmaster Professional (2001), menyatakan karakteristik filsafat sebagai berikut. 1) Filsafat adalah berpikir secara kritis. 2) Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis. 3) Filsafat mengahasilkan sesuatu yang runtut. 4) Filsafat adalah berpikir secara rasional. 5) Filsafat bersifat komprehensif. b. Objek Filsafat 1) Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, yang meliputi : ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6). 2) Objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6). c. Sistematika Filsafat Sebagaimana pengetahuan yang lain, filsafat telah mengalami perkembangan yang pesat yang ditandai dengan bermacam-macam aliran dan cabang. 1) Aliran-aliran Filsafat Ada beberapa aliran filsafat diantaranya adalah : realisme, rasionalisme, empirisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme. 2) Cabang-cabang Filsafat Filsafat memiliki cabang-cabang yang cukup banyak dinataranya adalah : metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst. 7 Filsafat Imu 3. Hakikat Filsafat Ilmu a. Pengertian Filsafat Ilmu 1) A. Cornelius Benjamin (dalam The Liang Gie, 19 : 58) memandang fil-safat ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines.” Filsafat ilmu, merurut Benjamin, merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsep konsep, dan praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual. 2) Conny Semiawan at al (1998 : 45) menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya. 3) Jujun Suriasumantri (2005 : 33-34) memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu sebagai berikut. Kelompok pertanyaan pertama antara lain sebagai berikut ini. Objek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangap manusia ? Kelompok pertanyaan kedua : Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan 8 Filsafat Imu agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? Apa yang dimaksud dengan kebenaran ? Dan seterusnya. Dan terakhir, kelompok pertanyaan ketiga : Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu ? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan ilmu dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Dan seterusnya. Kelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaanpertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis. b. Karakteristik filsafat ilmu Dari beberapa pendapat di atas dapat diidentifikasi karakteristik filsafat ilmu sebagai berikut. 1) Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat. 2) Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistemologis, dan aksiologis. c. Objek filsafat ilmu 1) Objek material filsafat ilmu adalah ilmu 2) Objek formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. c. Manfaat Mempelajari filsafat ilmu 1) Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam teori 9 Filsafat Imu yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya. 2) Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan kegunaan bagi para mahasiswa sebagai calon ilmuwan untuk mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan penelitian ilmiah. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mereka memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah. 3) Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa lulus dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari filsafat ilmu diterapkan. 10 Filsafat Imu DIMENSI ONTOLOGIS ILMU 1. Beberapa Tafsiran Metafisika Ontologi merupakan cabang dari metafisika yang membicarakan eksistensi dan ragam-ragam dari suatu kenyataan. Ada beberapa tafsiran tentang kenyataan diantaranya adalah supernaturalisme dan naturalisme. Menurut supernaturalisme, bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibanding wujud alam yang nyata. Animisme, pandangan yang menyatakan bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib, yang terdapat dalam benda-benda tertentu, seperti batu, gua, keris, dst., merupakan kepercayaan yang didasarkan supernaturalisme. Ada pandangan yang bertolak belakang dengan supernaturalisme. Pandangan ini dikenal dengan naturalisme. Materialisme, merupakan paham yang berdasarkan naturalisme, mengganggap bahwa gejalagejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib tetapi oleh kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Tokoh yang dipandang sebagai pioner materialisme adalah Democritos (460-370 SM). 2. Hakikat Ilmu Berbicara tentang ilmu tidak bisa terlepas dari pembicaraan tentang pengetahuan karena keduanya berhubungan erat. Ada beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan pengetahuan dan sekaligus ilmu. Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan beberapa contoh. Apakah yang dimaksud dengan ilmu ? Samakah pengetahuan dengan pengetahuan ? Bila keduanya berbeda, perbedaannya bagaimana, ? Bab 2 11 Filsafat Imu Pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan knowledge, menurut Jujun S. (2005 : 104), pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Ilmu, menurut pendapat di atas, menunjuk pada terminologi yang bersifat khusus, yang merupakan bagian dari pengetahuan. Pengertian ilmu dan perbedaannya dengan pengetahuan nampak lebih jelas sebagaimana dinyatakan oleh Ketut Rinjin. Menurut Rinjin (1997 : 57-58), ilmu merupakan keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis dan bukanlah sekadar kumpulan fakta, tetapi pengetahuan yang mempersyaratkan objek, metoda, teori, hukum, atau prinsip. Ilmu, yang dalam bahasa Inggris dinyatkan dengan science, bukan sekadar kumpulan fakta, meskipun di dalamnya juga terdapat berbagai fakta. Selain fakta, di dalam ilmu juga terdapat teori, hukum, prinsip, dst., yang diperoleh melalui prosedur tertentu yaitu metoda ilmiah. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metoda ilmiah (Jujun S., 2005 : 119). Sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu pengalaman, intuisi, pendapat otoritas, penemuan secara kebetulan dan coba-coba (trial and error) maupun penalaran. Ada paradigma baru yang memandang ilmu bukan hanya sebagai produk. The Liang Gie (1991 : 90), setelah mengkaji berbagai pendapat tentang ilmu, menyatakan bahwa ilmu dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai proses, ilmu terwujud dalam aktivitas penelitian. Sebagai prosedur, ilmu tidak lain adalah metoda ilmiah. Dan sebagai produk, ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. 12 Filsafat Imu Ketiga dimensi ilmu tersebut merupakan kesatuan logis yang harus ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas tertentu, yaitu penelitian ilmiah. Aktivitas tersebut harus dilaksanakan dengan metoda ilmiah yang diharapkan menghasilkan pengetahuan ilmiah. Kesatuan dan interaksi antara aktivitas, metoda, dan pengetahuan ilmiah tersebut oleh The Liang Gie (1991 : 88) digambarkan sebagai segitiga. Masing-masing dimensi tersebut memiliki karakteristik tertertentu. Ilmu sebagai aktivitas merupakan langkah-langkah yang bersifat rasional, kognitif, dan teleologis (The Liang Gie, 1991: 108). Ilmu sebagai metoda ilmiah memiliki unsur-unsur pola prosedural, tata langkah, teknik-teknik, dan instrumen-instrumen tertentu (The Liang Gie, 1991 : 118). Pendapat The Liang Gie tentang hakikat ilmu kemudian kemudia dirumuskan sebagai berikut. Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metoda berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghjasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan (The Liang Gie, 1991 : 130). Pendapat The Liang Gie tentang hakikat ilmu dapat dirangkum dalam bentuk bagan berikut ini. Gambar 1 : DIMENSI ILMU AKTIVITAS METODE PENGETAHUAN ILMU 13 Filsafat Imu proses pemikiran yg yang berpegang pada kaidah-2 logika ILMU TELEOLOGIS proses mengetahui & memper. pengetahuan POLA PROSEDURAL TATA LANGKAH •mencapai kebenaran •memperoleh pema-haman •memberikan penje-lasan •melakukan melalui peramalan dan pengendalian RASIONAL PROSES AKTIVITAS PENELITIAN KOGNITIF PRODUK PROSEDUR •timbangan •meteran •computer •lainnya •wawancara •angket •perhitungan •lainnya •penentuan masalah •perumusan hipotesis (bila ada) •pengumpulan data •penarikan •pengamatan •percobaan •pengukuran •survai •deduksi •induksi •analisis •lainnya ANEKA ALAT PENGETAHUAN SISTEMATIS Bagan 1: HAKIKAT ILMU METODA ILMIAH TEKNIK 14 Filsafat Imu 3. Objek Ilmu Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu ? Dari manakah ilmu mulai ? Dan di mana ilmu berhenti ? Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman manusia (Jujun S., 2005 : 105). Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak berbicara tentang sesuatu yang berada di luar lingkup pengalaman manusia, seperti surga, neraka, roh, dan seterusnya. Mengapa ilmu hanya mempelajari hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia ? Jawaban dapat diberikan berdasarkan fungsi ilmu, yaitu deskriptif, prediktif, dan pengendalian. Fungsi dekriptif adalah fungsi ilmu dalam menggambarkan objeknya secara jelas, lengkap, dan terperinci. Fungsi prediktif merupakan fungsi ilmu dalam membuat perkiraan tentang apa yang akan terjadi berkenaan dengan objek telaahannya. Dan fungsi Pengendalian merupakan fungsi ilmu dalam menjauhkan atau menghindar dari hal-hal yang tidak diharapkan serta mengarahkan pada hal-hal yang diharapkan. Fungsifungsi tersebut hanya bisa dilakukan bila yang dipelajari berupa ilmu dunia nyata atau dunia yang dapat dijangkau oleh pengalaman manusia. Objek setiap ilmu dibedakan menjadi dua : objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena di dunia ini yang ditelaah ilmu. Sedangkan objek formal adalah pusat perhatian ilmuwan dalam penelaahan objek material. Atau dengan kata lain, objek formal merupakan kajian terhadap objek material atas dasar tinjauan atau sudut pandang tertentu. 4. Struktur Ilmu Ilmu sebagai produk merupakan suatu sistem pengetahuan yang di dalamnya berisi penjelasan-penjelasan tentang berbagai fenomena yang 15 Filsafat Imu menjadi objek kajiannya. Dengan demikian ilmu terdiri dari komponenkomponen yang saling berhubungan. Saling hubungan di antara berbagai komponen tersebut merupakan struktur dari pengetahuan ilmiah. Menurut The Liang Gie (1991 : 139) sistem pengetahuan ilmiah mencakup lima kelompok unsur, yaitu : a. jenis-jenis sasaran, b. bentukbentuk pernyataan, c. ragam-ragam proposisi, d. ciri-ciri pokok, dan e. pembagian sistematis. a. Jenis-jenis sasaran Setiap ilmu memiliki objek yang terdiri dari dua macam, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena di dunia ini yang menjadi bahan kajian ilmu, sedangkan objek formal adalah pusat perhatian ilmuwan dalam mengkaji objek material. Objek material suatu ilmu dapat dan boleh sama dengan objek material ilmu yang lain. Tetapi objek formalnya tidak akan sama. Bila objek formarnya sama maka sebenarnya mereka merupakan ilmu yang sama tetapi diberi sebutan berbeda. Ada bermacam-macam fenomena yang ditelaah ilmu. Dari bermacam-macam fenomena tersebut The Liang Gie (1991 : 141) telah mengidentifikasi 6 macam fenomena yang menjadi objek material ilmu, yaitu : 1) ide abstrak 2) benda fisik 3) jasad hidup 4) gejala rohani 5) peristiwa sosial 6) proses tanda 16 Filsafat Imu b. Bentuk-bentuk pernyataan Berbagai fenomena yang dipelajari ilmu tersebut selanjutnya dijelaskan ilmu melalui pernyataan-pernyataan. Kumpulan pernyataan yang merupakan penjelasan ilmiah terdiri dari empat bentuk (The Liang Gie, 1991 : 142-143), yaitu : deskripsi, preskripsi, eksposisi pola, dan rekonstruksi historis. 1) Deskripsi Deskripsi adalah pernyataan yang bersifat menggambarkan tentang bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal rinci lainnya dari fenomena yang dipelajari ilmu. Pernyataan dengan bentuk deskripsi terdapat antara lain dalam ilmu anatomi dan geografi. 2) Preskripsi Preskripsi merupakan bentuk pernyataan yang bersifat preskriptif, yaitu berupa petunjuk-petunjuk atau ketentuanketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan berkenaan dengan ojkek formal ilmu. Preskripsi dapat dijumpai antara lain dalam ilmu pendidikan dan psikologi pendidikan. 3) Eksposisi Pola Bentuk ini merangkum pernyataan-pernyataan yang memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena yang ditelaah. Pernyataan semacam ini dapat dijumpai antara lain pada antropologi. 17 Filsafat Imu 4) Rekonstruksi Historis Rekonstruksi historis merupakan pernyataan yang berusaha menggambarkan atau menceritakan sesuatu secara kronologis. Pernyataan semacam ini terdapat pada historiografi dan paleontologi. c. Ragam-ragam proposisi Selain bentuk-bentuk pernyataan seperti di atas, ilmu juga memiliki ragam-ragam proposisi, yaitu azas ilmiah, kaidah ilmiah, dan teori ilmiah. Ketiga ragam proposisi tersebut dijelaskan seperti berikut ini. 1) Azas ilmiah Azas atau prinsip ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati. 2) Kaidah ilmiah Suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diuji kebenarannya . 3) Teori ilmiah Yang dimaksud dengan teori ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis berkenaan dengan penjelasan terhadap sejumlah fenomena. Teori ilmiah merupakan unsur yang sangat penting dalam ilmu. Bobot kualitas suatu ilmu terutama ditentukan oleh teori ilmiah yang dimilikinya. Pentingnya teori ilmiah dalam illmu dapat 18 Filsafat Imu dijelaskan dari fungsi atau kegunaannya. Fungsi teori ilmiah adalah : a) Sebagai kerangka pedoman, bagan sistematisasi, atau sistem acuan dalam menyususn data maupun pemikiran tentang data sehingga tercapai hubungan yang logis diantara aneka data. b) Memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum dipetakan sehingga terdapat suatu orientasi. c) Sebagai acuan dalam pengkajian suatu masalah. d) Sebagai dasar dalam merumuskan kerangka teoritis penelitian. e) Sebagai dasar dalam merumuskan hipotesis. f) Sebagai informasi untuk menetapkan cara pengujian hipotesis. g) Untuk mendapatkan informasi histories dan perspektif perma-salahan yang akan diteliti. h) Memperkaya ide-ide baru. i) Untuk mengetahui siapa saja peneliti lain dan pengguna di bidang yang sama. d. Ciri-ciri pokok ilmu Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah sebagi berikut. 19 Filsafat Imu 1) Sistematisasi Sistematisasi memiliki arti bahwa pengetahuan ilmiah tersusun sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat pernyataanpernyataan yang berhubungan secara fungsional. 2) Keumuman (generality) Ciri keumuman menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk merangkum berbagai fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasannya. 3) Rasionalitas Ciri rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidahkaidah logika. 4) Objektivitas Ciri objektivitas ilmu menunjuk pada keharusan untuk bersikap objektif dalam mengkaji suatu kebenaran ilmiah tanpa melibatkan unsur emosi dan kesukaan atau kepentingan pribadi. 5) Verifiabilitas Verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diteliti kembali, atau diuji ulang oleh masyarakat ilmuwan. 6) Komunalitas Ciri komunalitas ilmu mengandung arti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik umum (public knowledge). Itu 20 Filsafat Imu berarti hasil penelitian yang kemudian menjadi khasanah dunia keilmuan tidak akan disimpan atau disembunyikan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. e. Pembagian sistematis Pengetahuan ilmiah senantiasa mengalami perkembangan seiring dengan semakin banyaknya jumlah ilmuwan dan juga semakin luasnya peluang untuk melakukan penelitian. Perkembangan ilmu antara lain ditandai dengan lahirnya bermacam-macam aliran dan terutama cabang. Untuk memudahkan memperoleh pemahaman mengenai bermacam-macam aliran dan cabang tersebut diperlukan pembagian sistematis. Gambaran tentang ilmu yang secara struktural terdiri dari jenisjenis sasaran, bentuk-bentuk pernyataan, ragam-ragam proposisi, ciriciri pokok, dan pembagian sistematis sebagaimana dijelaskan di atas oleh The Liang Gie 1991 : 151) dirangkum dalam bentuk tabel seperti berikut ini. 21 Filsafat Imu ILMU PEMBAGIAN SISTEMATIS CIRI-CIRI POKOK RAGAM PROPOSISI BENTUK PERNYATAAN OBJEK •SISTEMATISASI •KEUMUMAN •RASIONALITAS •OBJEKTIVITAS •VERIFIABILITAS •KOMUNALITAS •AZAS ILMIAH •KAIDAH ILMIAH •TEORI ILMIAH •DESKRIPSI •PRESKRIPSI •EKSPOSISI POLA •REKONSTRUKSI HISTORIS PUSAT PERHATIAN OBJEK FORMAL OBJEK MATERIAL •IDE ABSTRAK •BENDA FISIS •JASAD HIDUP •GEJALA ROHANI •GEJALA SOSIAL •PROSES TANDA Bagan 2 : STRUKTUR ILMU 22 Filsafat Imu DIMENSI EPISTEMOLOGIS ILMU 1. Cara-cara Mendapatkan Pengetahuan Telah dibicarakan pada bab 1 bahwa pengetahuan berkembang antara lain karena manusia memiliki rasa ingin tahu (curiousity is beginning of knowledge). Hasrat ingin tahu manusia terpuaskan bila dirinya memperoleh pengetahuan yang benar (kebenaran) mengenai apa yang dipertanyakan. Untuk itu manusia menempuh berbagai cara agar keinginan tersebut terwujud. Berbagai tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu secara nonilmiah, yang mencakup : a) akal sehat, b) prasangka, c) intuisi, d) penemuan kebetulan dan cobacoba, dan e) pendapat otoritas dan pikiran kritis, serta tindakan secara ilmiah (Sumadi Suryabrata, 2000: 3). Usaha yang dilakukan secara nonilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan bukan science. Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. W. Huitt (1998), dalam artikelnya yang berjudul “Measurement, Evaluation, and Research : Ways of Knowing”, menyatakan bahwa ada lima macam cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar (kebenaran) yaitu : pengalaman, intuisi, agama, filsafat, dan ilmu. Dengan cara-cara tersebut dapat diperoleh diperoleh kebenaran pengalaman atau kebenaran indera, kebenaran intuitif, kebenaran religius, kebenaran filosofis, dan kebenaran ilmiah. Karakteristik dari masing-masing cara tersebut dapat disajikan dalam tabel berikut ini. Bab 3 23 Filsafat Imu Tabel 1 WAYS OF KNOWING DIMENSION EXPERIENCE INTUITION RELIGION PHILOSOPHY SCIENCE Primary Focus The study of reality beginning with personal experience as known through the senses The study of reality beginning with unconscious knowledge or insight The study of reality beginning with the metaphysical or spiritual aspect of the universe The study of reality as viewed through the human mind The study of the essence of reality The study of reality beginning with the material aspect of the universe Foundation of Investigation* Faith** in sensory data and perceptions Faith in personal intuition, inspiration, and feelings Faith in authority of revelation Faith in ultimate unknowns Faith in reason Faith in reason and the experience of utilizing the scientific method Methods of Acquiring Knowledge Personal interaction with the material, human and spiritual aspects of self and environment Reflection on life experiences Meditiation Reflection Dream analysis Right-brain thinking techniques Prayer Meditation Reading/listeni ng to scriptures Discipline of material self/ego Association with other believers Observation Reflection Discourse Other methods used in science and religion Left-brain thinking techniques Careful description/ data collection Correlational/ predictive Experimental/ causal Association/ literature Criteria for Validation Personal, subjective Consistent with prior experiences, reflections and interpretations Personal, subjective Interpretatio n of feeling, affect Personal, subjective Interpretation of revealed word or scriptures. Consistent with prior interpretations and reflections Public, objective Logically consistent Appropriate to issue or topic under investigation Public, objective Verifiable Replicable, cumulative Concise, systematic 24 Filsafat Imu 2. Kebenaran a. Jenis-jenis kebenaran Telah dipaparkan di atas bahwa berdasarkan cara memperolehnya kebenaran dibedakan menjadi lima jenis, yaitu kebenaran pengalaman, kebenaran intuisi, kebenaran religius, kebenaran filosofis, dan kebenaran ilmiah. b. Teori-teori kebenaran Ilmu dikembangkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar atau kebenaran ilmiah. Persoalan esensial yang perlu dijawab adalah : kebenaran itu apa ? Atau, bilamana suatu pernyataan dinyatakan benar ? Ada beberapa teori yang berbicara tentang kebenaran, yaitu teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme. 1) Teori Koherensi (coherence theory of truth) Menurut teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataanpernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila pernyataan semua logam bila kena panas memuai adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa besi merupakan logam, sehingga bila besi kena panas memuai adalah pernyataan yang benar Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan dengan pembuktian berdasarkan teori koherensi. Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322) telah mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang digunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya (Jujun .S., 2005 : 57). Teori koherensi menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif atau matematik. Nama ilmu deduktif diberikan karena 25 Filsafat Imu dalam menyelesaikan suatu masalah atau membuktikan suatu kebenaran tidak didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang bersifat faktual, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-penjabaran. Apa yang harus idpenuhi agar ciri-ciri deduksi dapat diketahui dengan tepat, merupakan masalah pokok yang dihadapi filsafat ilmu. Pendirian yang banyak dianut sampai saat ini adalah : deduksi merupakan penalaran yang sesuai dengan hukum-hukum serta-serta aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap bahwa tidaklah mungkin titik tolak-titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar (Beerling at al, 1996 : 23). 2) Teori korespondensi (correspondence theory of truth) Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Menurut teori korespondensi, suatu pernyataan dapat dianggap benar bila materi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan bahwa si A sedang mengalami depresi berat dapat dipandang sebagai pernyataan yang benar bila secara faktual memang si A sedang mengalami depresi berat. Teori korespondensi dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris memperoleh bahan-bahannya melalui pengalaman. Tetapi pengalaman atau empiria ilmiah sesungguhnya lebih dari sekadar pengalaman sehari-hari serta hasil tangkapan inderawi, cara ilmiah untuk menangkap sesuatu harus dipelajari terlebih dahulu dan untuk sebagian besar tergantung pada pendidikan ilmiah yang harus ditempuh oleh peneliti (Beerling at al, 1996 : 53). 26 Filsafat Imu 3) Teori pragmatisme (pragmatic theory of truth) Pencetus teori pragmatisme adalah Charles S. Peirce (1839- 19914). Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Pernyataan bahwa motivasi merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan prestasi belajar anak dapat dianggap benar bila pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis, yaitu bahwa prestasi belajar anak dapat ditingkatkan melalui pengembangan motivasi belajarnya. Teori pragmatisme dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu terapan. 3. Metoda Ilmiah a. Pengertian metoda Ilmiah Menurut Soerjono Soemargono (1993 : 17), istilah metoda berasal dari bahasa Latin methodos, yang secara umum artinya cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan sedangkam metoda ilmiah adalah cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. The Liang Gie (1991 : 110), menyatakan bahwa metoda ilmiah adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memper-kembangkan pengetahuan yang telah ada. Dalam beberapa literatur seringkali metoda dipersamakan atau dicampuradukkan dengan pendekatan maupun teknik. Metoda, (methode), pendekatan (approach), dan teknik (technique) merupakan tiga hal yang berbeda walaupun bertalian satu sama lain (The Liang Gie, 1991 : 116). Dengan mengutip pendapat benerapa pakar, The Liang Gie menjelaskan perbedaan ketiga hal tersebut sebagai berikut. Pendekatan pada pokoknya adalah ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan data yang bertalian, sedangkan metoda adalah 27 Filsafat Imu prosedur untuk mendapatkan dan mempergunakan data. Pendekatan dalam menelaah suatu masalah dapat dilakukan berdasarkan atau dengan memakai sudut tinjauan dari ilmu-ilmu tertentu, misalnya psikologi, sosiologi, politik, dst. Dengan pendekatan berdasarkan psikologi, maka masalah tersebut dianalisis dan dipecahkan berdasarkan konsep-konsep psikologi. Sedangkan bila masalah tersebut ditinjau berdasarkan pendekatan sosiologis, maka konsepkonsep sosiologi yang dipakai untuk menganalisis dan memecahkan masalah tersebut. Pengertian metoda juga tidak sama dengan teknik. Metoda ilmiah adalah berbagai prosedur yang mewujudkan pola-pola dan tata langkah dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Pola dan tata langkah prosedural tersebut dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan teknis yang lebih rinci. Cara-cara itulah yang mewujudkan teknik. Jadi, teknik adalah suatu cara operasional teknis yang seringkali bercorak rutin, mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh dan menangani data dalam penelitian (The Liang Gie (1991 : 117). b. Unsur-unsur metoda ilmiah Metoda ilmiah yang merupakan suatu prosedur sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie, memuat berbagai unsur atau komponen yang saling berhubungan. Unsur-unsur utama metoda ilmiah menurut The Liang Gie (1991 : 118) adalah pola proSedural, tata langkah, teknik, dan instrument.. Pola prosedural, antara lain terdiri dari : pengamatan, percobaan, peng-ukuran, survai, deduksi, induksi, dan analisis. Tata langkah, mencakup : penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik, antara lain terdiri dari : wawancara, angket, tes, dan 28 Filsafat Imu perhitungan. Aneka instrumen yang dipakai dalam metoda ilmiah antara lain : pedoman wawancara, kuesioner, timbangan, meteran, komputer. c. Macam-macam Metoda ilmiah Johson (2005) dalam arkelnya yang berjudul ”Educational Research : Quantitative and Qualitative”, yang termuat dalam situs internet (http://www.south.edu/coe/bset/johnson) membedakan metoda ilmiah menjadi dua metoda deduktif dan metoda induktif. Menurut Johnson, metode deduktif terdiri tiga langkah utama, yaitu : first, state the hypothesis (based on theory or research literature); nex, collect data to test hypothesis; finally, make decision to accept or reject the hypothesis. Sedangkan tahapan utama metoda induktif menurut Johnson adalah : first, observe the world; next, search for a pattern in what is observed; and finally, make a generalization about what is occuring. Kedua metoda tersebut selanjutnya oleh Johnson divisualisasikan sebagai berikut. T theory DEDUCTION (top-down) INDUCTION (bottom-up) patterns hypothesis observation/data Gambar 1 : METODA INDUKTIF DAN DEDUKTIF 29 Filsafat Imu Metoda deduktif merupakan metoda ilmiah yang diterapkan dalam penelitian kuantitatif. Dalam metoda ini teori ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya. Sedangkan metoda induktif merupakan metoda yang diterapkan dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini dimulai dengan pengamatan dan diakhiri dengan penemuan teori. 1) Metoda Deduktif Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik (1996 : 6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut; dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual. Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut (2005 : 127- 128). a) Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya. b) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. 30 Filsafat Imu Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan. c) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang dikembangkan. d) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan faktafakta yang relevan dengan hipotesis, yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipoteisis tersebut atau tidak. e) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Langkah-langkah atau prosedur penelitian tersebut kemudian oleh Jujun S. S. divisualisasikan dalam bentuk bagan sebagai berikut PENGUJIAN HIPOTESIS PENYUSUNAN KERANGKA BERPIKIR PERUMUSAN HIPOTESIS KHASANAH PENGETAHUAN ILMIAH PERUMUSAN MASALAH Bagan 3 : METODA ILMIAH DITERIMA DITOLAK 31 Filsafat Imu 2) Metoda Induktif Metoda induktif merupakan metoda ilmiah yang diterapkan dalam penelitian kualitatif. Metoda ini memiliki dua macam tahapan : tahapan penelitian secara umum dan secara siklikal (Moleong, 2005 : 126). a) Tahapan penelitian secara umum Tahapan enelitian secara umum secara garis besar terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1) tahap pralapangan, (2) tahap pekerjaan lapangan, dan (3) tahap analisis data. Masingmasing tahap tersebut terdiri dari beberapa langkah. b) Tahapan penelitian secara siklikal Menurut Spradley (Moleong, 2005 : 148), tahap penelitian kualitatif, khususnya dalam etnografi merupakan proses yang berbentuk lingkaran yang lebih dikenal dengan proses penelitian siklikal, yang terdiri dari langkah-langkah : (1) pengamatan deskriptif, (2) analisis demein, (3) pengamatan terfokus, (4) analisis taksonomi, (5) pengamatan terpilih, (6) analisis komponen, dan (7) analisis tema. Secara visual proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. (5) PENGAMATAN TERPILIH (6) ANALISIS KOMPONEN (7) ANALISIS TEMA (4) ANALISIS TAKSONOMI (3) PENGAMATAN TERFOKUS (2) ANALISIS DOMEIN (1) PENGAMATAN DESKRIPTIF Gambar 3: PROSES PENELITIAN SIKLIKAL 32 Filsafat Imu DIMENSI AKSIOLOGIS ILMU 1. Pengertian Aksiologi Tinjauan ilmu secara filosofis menyangkut perenungan ilmu secara aksiologis. Apakah yang dimaksud dengan aksiologi ? Berikut beberapa pendapat tentang pengertian aksiologi. Menurut Principia Cybernetica Web (www.pespmc1.vub.- ac.be/ASC/ AXIOLOGY html)., aksiologi (axiology) adalah : 1) A branch of philosophy dealing with values, i.e., ethics, aesthetics, religion. Based on the Greek for "worth." 2) The study of the nature of types of and criteria of values and of value judgments, especially in ethics (John Warfield) 3) The general theory of value; the study of objects of interest. (Lotze) Pendapat lain tentang aksiologi dikemukakan oleh Pizarro seperti berikut ini. ”Axiology involves the values, ethics, and belief systems of a philosophy/paradigm. Within the critical race theory, axiology is the paradigm's leading influence on research studies. Ontology and epistemology are secondary to the axiology. Critical race theory's axiology is composed of two elements: equity and democracy (www.edb.utexas. Nedu / faculty / scheurich/proj7/axiology.html./ accesed : March 7, 2006) . Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil intisari pengertian aksiologi sebagai berikut. •Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan macam-macam dan kriteria nilai serta keputusan atau Bab 4 33 Filsafat Imu pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika atau nilainilai moral. •Aksiologi merupakan paradigma yang berpengaruh penting dalam penelitian ilmiah. 2. Ilmu dan Azas Moral Kaitan ilmu dan moral telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, Wilardjo, Slamet Iman Santoso, dan Jujun Suriasumantri (Jujun S., 1996 : 2). Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu bebas dari sistem nilai ? Atakah sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem nilai ? Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral (Jujun S., 2005 : 235). Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. (1996 : 15 – 16) mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut. a. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus 34 Filsafat Imu didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. b. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. c. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan. d. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich. e. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan / kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal. Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah. Pandangan Jujun S. mengenai hubungan ilmu dan moral tersebut secara visual tersaji secara rinci dalam bagan berikut ini. 35 Filsafat Imu Daftar Pustaka Associate Webmaster Professional. (2001) “Terminologi Filsafat” Internet : http://www.filsafatkita.f2g.net (accesed ; February 3, 2006) Beerling at al. (1998) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Tiara Wacana. Huitt, W. (1998) ”Ways of Knowing”. Internet : http://www.chiron. valdosta. edu/whuitt/col/intro/wayknow.html. (accesed February 20, 2006). Jujun S. Suriasumantri. (1996) Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia. Jujun S. Suriasumantri. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan. Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty. Moleong, Lexy, J. (2005) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Principia Cybernetica Web. (2006) ”Axiology”. Internet : http://pespmc1 .vub.ac. be/ASCA/AZXIOLOGY.html (accesed : March 3, 2006). Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Bandung : CV Kayumas. Semiawan, Conny et al. (1998) Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu . Bandung : CV Remaja Karya. Soerjono Soemargono.(1993) Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Nur Cahaya. The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty. Verhak, V dan Haryono Imam, R. (1999) Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : PT Gramedia.