Sabtu, 19 Mei 2012

HUKUM PERBANKAN



 swillsond M.kwalik


 swillsond m.kwalik



EDITOR. SWILLSOND M.KWALIK. MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2012. 






 Hukum Perbankan : Seputar Pengertian Perbankan Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. (UU Perbankan Syariah) Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) (UU Perbankan) SEJARAH HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA Agama merupakan suatu visi tentang sesuatu yang ada di atas, di balik, dan di dalam hal-hal yang senantiasa berubah atau bersifat sementara; sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan; sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh, tetapi sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud sekarang ini; … sesuatu yang merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan… Suatu agama merupakan agama yang kuat bila dalam ritual dan cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakkan hati… Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan…” - Alfred North Whitehead, 1967 Pendahuluan Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing). Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain. Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional. Perkembangan Perbankan Islam Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya. Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) . Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil. Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House . Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam . Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI . Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman). Perbankan Islam di Indonesia Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung. Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. Hukum Perbankan Islam Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah." Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”. Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank. Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal : 1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional. Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut : “Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”. … Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).” Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni : 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni : 1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan 3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional. Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut: No. NOMOR FATWA TENTANG 1 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro 2 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan 3 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito 4 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah 5 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam 6 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istishna 7 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) 8 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah 9 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah 10 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah 11 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah 12 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah 13 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka dalam Murabahah 14 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS 15 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS 16 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah 17 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran 18 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS 19 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh 20 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah 21 21/DSN-MUI/X/2001 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah 22 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishna Paralel 23 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah 24 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box 25 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn 26 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas 27 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik 28 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) 29 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS 30 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah 31 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Utang 32 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah 33 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah Mudharabah 34 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syari’ah 35 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syari’ah 36 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia 37 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah 38 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) 39 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji 40 40/DSN-MUI/X/2003 Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal 41 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah 42 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card 43 43/DSN-MUI/VIII/2004 Ganti Rugi (Ta’widh) Penutup Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). End Note *) Peri Umar Farouk, sedang menyelesaikan S2 Magister Hukum di Fak. Hukum UGM. Bekerja sebagai konsultan acess to justice di sebuah lembaga internasional. Pernah bekerja sebagai internal corporate lawyer di WIKA & BNI (ahli hukum di tim pembentukan cabang-cabang syariah pertama dan trainer bidang hukum ekonomi bisnis). Dosen Hukum Perbankan Syariah & Takaful di UMY. Sedang mengembangkan inlawnesia.net -perhimpunan pembelajar hukum Indonesia, bergerak di bidang riset, training, organizing & publishing. Contact: www.inlawnesia.net | email: puf@inlawnesia.net 1. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4. 2. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 126. 3. Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, 1997, hal. 196. 4. Ibid., hal. 5. 5. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 58. 6. Ibid., hal. 58 – 59. 7. Ibid., hal. 59. 8. Ibid., hal. 64 – 65. 9. M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 614. 10. Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur’an No. 4 Vol. VI, Jakarta, 1995, hal. 60. 11. Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 68 – 69. 12. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 13. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari’ah. 14. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah. 15. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak lama sering kita dengar perihal Perbankan Syari’ah atau Bank Islam yang secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syari’ah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Sejak awal tahun 1970 gerakan Islam di tingkat Nasional telah memasuki bidang ekonomi dengan diperkenalkannya sistem ekonomi Islam. Wacana sistem ekonomi Islam itu diawali dengan konsep ekonomi dan bisnis non ribawi. Dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan. Keduanya ini terbentuk secara bertahap yang bermula dari sesuatu yang sangat mendasar, contohnya saja di Mesir sekitar tahun 1963 telah ada sebuah lembaga keuangan pedesaan yang bernama Bank Mit Ghamr. dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Proyek rintisan Er. Ahmad Najjar ini sangat sukses, sehinggah menjadi sebuah percontohan dan inisiatif dalam pengolahan ekonomi Islam dengan tajuk Perbankan. Namun demikian, ekonomi syari’ah, walaupun dapat dikembangkan oleh masyarkat sendiri, namun tetap membutuhkan legislasi, yang berarti formalisasi syariat Islam menjadi hukum positif, dengan demikian dibutuhkan juga perjuangan politik untuk menegakkan syariat Islam di bidang ekonomi, khususnya dalam bidang Perbankan. Dalam rentetan sejarah Bank Islam telah ada sejak zaman Rasulullah namun perihal tersebut belum dilembagakan sebagaimana sekarang. Perjalanan perkembangan Hukum Perbankan Syari’ah dapat kita telaah dari sejarah yang tentunya dapat dijabarkan mulai dari zaman Rasulullah hingga sekarang. Gagasannya awal perbankan Syari’ah adalah ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, atau nonribawi pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya. Dan jawabanya akan kita temukan melalui sejarah Perbankan Syari’ah itu sendiri. Dalam makalah dengan judul Pengertian Hukum Perbankan Syari’ah dengan pendekatan sejarah sejak zaman Rasulullah hingga sekarang akan di ulas pengertian serta alur sejarah hinggah sampai sekarang kita kenal denag Perbankan Syari’ah, begitu juga dengan proses pengadaan legalitas secara resmi diadakanya Hukum Perbankan Syari’ah baik dalam lingkup dunia maupun di Indonesia. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah Hukum Perbankan Syari’ah dengan Judul “Pengertian Hukum Perbankan Syari’ah dengan pendekatan sejarah sejak zaman Rasulullah hingga Sekarang” adalah sebagai berikut : 1. Apakah Pengertian dari Hukum Perbankan Syari’ah ? 2. Bagaimana Pendekatan Sejarah Hukum Perbankan Syari’ah sejak zaman Rasulullah hingga sekarang ? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah dengan judul “Pengertian Hukum Perbankan Syari’ah dengan pendekatan sejarah sejak zaman Rasulullah hingga Sekarang” adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui Pengertian dari Hukum Perbankan Syari’ah 2. Mengetahui Sejarah Hukum Perbankan Syari’ah sejak zaman Rasulullah hingga sekarang BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hukum Perbankan Syari’ah Kata Hukum (al-hukm) secara bahasa bermakna menetapkan atau memutuskan sesuatu, sedangkan pengertian hukum secara terminologi berarti menetapkan hukum terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia.[1] dalam perihal ini berarti penetapan hukum yang berkaitan dengan Perbankan. Kata Bank berasal dari kata banque dalam bahasa Prancis, dan dari banco dari bahasa Itali, yang berarti peti/lemari atau bangku. Kata peti atau lemari sebagai isyarat fungsi untuk tempat penyimpanan benda-benda berharga, seperti peti uang, peti emas atau yang lainya.[2] Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syari’ah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Menurut Ensiklopedi Islam, Bank Islam atau bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasianya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.[3] Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pengertian Bank adalah berupa badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banayak (Pasal 1 Angka 2). Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 1 angka 1).[4] Jadi pengertian Hukum Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank yang memenuhi Prinsip-Prinsip Syari’ah dan memiliki peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan. B. Sejarah Hukum Perbankan Syari’ah 1. 1 Praktek Bank Pada Zaman Rasulullah SAW Secara Umum Bank adalah lembaga yang memiliki tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan sesuai dengan akad syari’ah telah dilakukan sejak zaman Rasululllah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. [5] Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan. Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam r.a memilih tidak menerima titipan harta, ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda yaitu pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman ia mempunyai hak untuk memanfaatkan, kedua karena bentuknya pinjaman maka ia wajib mengembalikan secara utuh. Dalam riwayat Ibnu Abbas. r.a juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a melakukan pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Mis’ab bin Zubair yang tinggal di Irak.[6] Pada masa sekarang perihal ini biasa kita sebut dengan Transfer. Penggunaan cek juga tela dikenal luas seiring dengan meningkatnya lalu lintas perdagangan antara negeri Syam dan negeri Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini, mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu di impor dari Mesir. Disamping itu pemberian modal kerja seperti mudharabah, muzara’ah dan musawah juga telah dikenal sejak awal diantara kaum muhajirin dan anshor.[7] Beberapa Istilah Perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqh, seperti istilah kredit (Inggris : credit, Romawi : credo) yang diambil dari istilah qord. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang, credo berarti kepercayaan sedangkan qord dalam fiqh beraarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu juga dengan istilah cek (Inggris : check, Prancis : cheque) yang diambil dari istilah Suq, Suq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat pembayaran yang biasanya digunakan di pasar.[8] Gagasan awal diadakanya bank islam adalah untuk menghindari riba, pada masa Rasulullah, yang membawa risalah Islam bagi umat manusia, telah memberikan rambu-rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang dapat dikembangkan pada masa berikutnya. Serta bentuk-bentuk usaha mana yang yang dilarang karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu larangan itu adalah usaha yang mengandung riba, dimana ayat tentang larangan riba ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat pada usia sekitar 60 tahun. Sehingga beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang riba ini. Dalam hubungan inilah peranan ijtihad para cendekiawan muslim sangat diharapkan untuk menggali konsepsi dasar tentang sistem perbankan modern yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.[9] Dengan demikian jelas, bahwa meskipun pada zaman Rasulullah secara formal belum ada lembaga perbankan, namun dari realitas amalan para sahabat pada saat itu menggambarkan fungsi lembaga Perbankan. Bahkan akad-akad yang dilakukan oleh para sahabat pada saat itu, seperti fungsi penitipan, memberikan pinjaman, pengiriman uang, melakukan pembiayaan modal kerja, dan lain-lainyang menjadi prinsip-prinsip utama dalam mengembangkan Perbankan Syari’ah. Di zaman Rasulullah SAW fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi. Gambar 1.1 Fungsi Perbankan pada Masa Sahabat[10] Pada zaman bani Abbasiyah ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu telah dikenal sejak zaman Bani Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika banyak beredar jenis mata uang pada saat itu, sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antar mata uang. Hal ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlaianan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Istilah Jihbiz itu sendiri mulsi dikenal sejak Khalifah Muawiyah (661-680) ynag sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah. Gambar 1.2. Perbandingan antara Jihbiz dan Bank Pada zaman Abbasiyah peranan bankir mulai populer pada pemerinahan Khalifah Muqtadir (908-932). Pada saat itu, hampir setiap wazir (mentri) mempunyai bankir sendiri. Misalnya Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Joseph Ibnu wahab sebakai bankirnya, Ibnu Abi Isa menunjuk Ali Ibn Isa, Hamid Ibnu Wahab menunjuk Ibrahim Ibn Yuhana. Kemajuan Praktik perbankan pada zaman Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah ini ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan peranan bankir telah meliputi tiga aspek yaitu menerima depositi, menyalurkan dan mentransfer uang.[11] Sehingga dari masa iniliah istilah-istilah perbankan mulai dikenal luas oleh umat islam pada saat itu. 1. 2 Sejarah Hukum Perbankan Islam di dunia Internasional Gagasan awal mengenai Bank Islam memang sempat memberikan banyak komentar dari beberapa kalangan yang saat itu banyak orang menilai mustahil dan tidak akan dapat memberikan keuntungan jika mendirikan, karena memang dalam system manajemen oprasinya ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, Terbukti awal abad ke 20 merupakan masa kebangkitan Islam dari “ketertidurannya” ditengah pergolakan dunia, Islam mampu mengimplementasikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari dengan mendirikan bank yang berbasis syari’ah. Dalam kancah Internasional, Mesir selain tempat beridirnya Bank Islam pertama kali juga sebagai pelopor perkembangan perbankkan Islam pertama kali, yang memang sebelumnya tercetus dari konsep para pemikir-pemikir Islam yaitu Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952), dengan menawarkan sistem bagi hasil untuk perbankan. Yang kemudian dibuat gagasan pendahuluan oleh ulama besar Pakistan Abal A’la Al Mawdudi (1961) dan Muhammad Hamidullah (1962). Perintisan penerapan sistem profit and loss sharing, sebagai inti bisnis lembaga keuangan yang berbasis syari’ah, tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya dalam mengelola dana jama’ah haji secara non konvensional di Pakistan dan Malaysia.[12] Barulah kemudian dalam konsep kelembagaan dari perwujudan perbankkan syari’ah mendirikan Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr pada tahun 1963, yang tercatat sebagai bank Islam pertama kali, atas binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz El- Nagar yang dalam hal pendanaannya mendapatkan bantuan dari Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo Mesir. selain itu Bank Islam pertama ini dianggap berhasil mendapatkan prestasi dengan memadukan manajemen perbankkan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian[13], akan tetapi pada tahun 1975 bank ini di tutup karena persoalan politik saat itu. Kemudian seiring pembentukan konsepsi-konsepsi perbankan Islam dalam dunia internasional Mesir kembali berhasil mendirikan bank Islam dengan nama Nasser Social yang lebih cenderung bersifat sosial dibanding komersil.[14] Secara kolektif gagasan awal berdirinya bank sayari’ah di tingkat internasional, muncul pertama kali dalam konfrensi Negara-negara Islam se-dunia di Kuala Lumpur Malaysia pada bulan april 1969, yang di ikuti 19 negara peserta. Dari hasil konfrensi tersebut lahir beberapa hal, diantaranya: 1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit/banyak haram hukumnya. 2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syari’ah yang bersih dari system riba dalam waktu secepat mungkin. 3. Sementara waktu menunggu berdirinya bank syari’ah, bank-bank yang menerapkan bunga diperbolehkan beroprasi, namun jika benar-benar dalam keadaan darurat. Kemudian untuk melebarkan kiprah perbankkan Islam di dunia Internasioanl pemerintah Mesir dalam hal ini terwakili oleh menteri luar negeri mengajukan proposal tentang studi pendirian bank Islam internasional untuk pembangunan dan perdagangan serta pengajuan proposal pendirian fedrasi bank Islam dalam rapat menteri luar negeri Negara-negara Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang saat itu di Karchi Pakistan, bulan Desember 1970, Dalam persetujuan pengesahan proposal itu juga memberikan beberapa usulan tambahan yaitu pembentukan badan infestasi dan pembangunan Negara-negara Islam, serta pembentukan asosiasi bank-bank Islam sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankkan Islam. Kemudian dalam follow up nya pada sidang menteri luar negeri OKI di Benghazi Libya bulan maret 1973 rencana tersebut kembali diagendakan dengan menghasilkan beberapa kesimpulan, sampai pada berikutnya pada bulan Juli 1973 diadakan pertemuan komite ahli, perwakilan dari Negara-negara Islam penghasil minyak yang bertemu di Jeddah dengan pembahasan agenda yang sama (pendirian bank Islam). Kemudian dalam follow up nya yang kedua pertemuan antara menteri-menteri luar negeri OKI di Jeddah menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan IDB (ISLAMIC DEVELOPMENT BANK) yang bermodalkan awal 20 Milyar Dinar atau ekuivalen 2 Milyar SDR (special drawing right) IMF[15] dengan beranggotakan semua Negara OKI. Kemudian dalam dekade awal 1980-an setelah resmi didirikannya IDB dalam hasil kesepakatn pertemuan beberpa menteri luar negeri OKI di Jeddah, tumbuh beberapa Bank-Bank Islam lainnya yaitu Dubai Islamic Bank pada tahun 1975 yang dalam kedudukannya adalah sebagai Bank Islam swasta pertama kali, Faysal Islamic Bank yang berdiri di Mesir dan Jedah pada tahun 1977, Kuwait Fenance House pada tahun 1975, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman). Dalam perkembangan berikutnya, system perbankkan syari’ah mendapatkan sambutan baik di mata internasional terbukti pada bulan Agustus 1998 tercatat ada 200 buah, di antaranya 160 berupa bank, dan sisanya adalah lembaga keuangan non bank,[16] ini semua memang terpengaruh dari system menejemen syari’ah yang berorientasi pada etika bisnis yang sehat. Tak hanya itu perkembangan perbankkan Islam juga merambah pada Negara-negara non Islam yang jumlahnya pun juga relative besar. Lain dari itu atas prestasinya dalam menggaet perhatian internasional kedudukan bank syariah berhasil menjalin kerjasama dengan bank konvensional untuk menawarkan produk-produk bank syar’iah. Hal tersebut terlihat dari tindakan beberapa bank konvensional yang membuka sistem tertentu di dalam masing-masing bank dalam menawarkan produk bank syari’ah, misalnya Islamic Windows di Malaysia, The Islamic Transaction di cabang Bank Mesir, dan The Islamic Services di cabang-cabang bank perdagangan Arab Saudi. Produk-produk investment banking yang islami juga di tawarkan oleh Fund Manager Konfensional seperti The Wellington Management Company (USA), Oasis Internasional Equity Fund dari Flemings Bank (Inggris), State Street Investment (USA), Kleintwonth Benson Bank (Inggris), Hongkong Shanghai Bangkong Corp. (HSBC-London), dan ANZ Bank (Melbourne-London). Dan sisi pengguna jasa perbankkan syari’ah, tercatat beberapa perusahaan multinasional seperti KFC, XEROX, General Motors, IBM, General Electric, dan Chrysler.[17] Dari pesatnya pertumbuhan bank syari’ah di mata internasional ironi memang terhitung sampai tahun 2007 tak ada satupun bank syari’ah yang masuk kedalam 100 bank terbesar didunia dilihat dari jumlah asetnya maupun modalnya. 1.3 Sejarah Hukum Perbankan Islam di Indonesia Seperti yang telah diuraikan Pengurus Besar Muhammadiyah Periode 1937-1944 K. H Mas Mansur bahwa penggunaan bank konvensional pada masa itu dilakukan karena terpaksa oleh umat Islam karena umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang terbebas dari riba. Sehingga disusul ide-ide untuk mendirikan bank syari’ah kerap sekali yang sebenarnya sejak pertengahan tahun 1970-an sudah muncul. Pada tahun 1974 wacana ini telah dibicarakan dalam seminar nasional Hubungan Indonesia dengan Timur Tengah, disusul pada tahun 1976 diadakan seminar Internasional yang dilaksanakan oleh LSIK[18] dan yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perjalanan proses yang cukup panjang ini menemui hambatan untuk merealisasikan ide-ide tersebut, yaitu: Operasi bank Syari’ah yang notabene menerapkan prinsip bagi hasil oleh pemerintah / UU belum diatur, dan juga tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan UU No. 14 tahun 1967. Di sisi lain pemerintah tidak menghendaki konsep bank syari’ah tersebut dengan alasan bank syari’ah dari segi politis dianggap berkonotasi ideologis, yang ada kaitannya dengan konsep negara Islam. Sehingga pada saat itu juga masih banyak pertanyaan “siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu (sistem bagi hasil)” tentunya para pengusaha yang ingin masuk sebagai penanam modal juga masih khawatir akan kelangsungan Investasinya. Sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih di cegah oleh pemerintah lantaran adanya kebijakan pembatasan bank Asing yang ingin mebuka kantor cabang di Indonesia. Namun, hambatan-hambatan yang ada tidak menyurutkan niat para tokoh Islam (pendiri) pada saat itu untuk terus berjuang mendirikan lembaga keuangan yang terbebas dari riba. Pada tahun 1980-an pertama kali didirikan di Bandung yaitu Koperasi Baitul Tamwil Jasa Keahlian Teknosa pada tanggal 30 Desember 1980, dengan adanya akta perubahan menajdi tertanggal 21 Desember 1982[19]. Kemudian di Jakarta didirikan Baitut Tamwil kedua dengan nama Koperasi Simpan-Pinjam Ridho Gusti pada tanggal 25 September 1988. Hal ini diakui atau tidak, berdirinya bank Islam di Indonesia relative lambat dibandingkan dengan sesama Negara OKI, terbukti awal 1980-an konsepsi perbankan Islam masih sebatas diskusi-diskusi yang di pelopori beberapa orang, salah satu diantranya Karmen A. Perwataatamadja, M. Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amin Aziz, dll yang mengusung tema “BANK ISLAM SEBAGAI PILAR EKONOMI ISLAM” Sebagai gambaran, M. Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Kemudian dalam pembentukannya sebagai uji coba gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas. Pada tahun 1990 tepatnya bulan Agustus konsepsi pembentukan perbankan Islam mendapatkan perhatian khusus terbukti diadakannya lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20 Agustus yang di selenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kemudian dalam follow up nya pembahasan hasil dari lokakarya di bahas dalam musyawarah nasional IV MUI di Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990, dengan menghasilkan kesimpulan pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Dalam peranannya dari tim pembentukan kelompok kerja membuahkan hasil terbukti dengan berdirinya PT BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) pada tanggal 1 November 1991, dan resmi beroperasi pada awal Mei 1992 dengan modal awal Rp. 106.126.382.000,- dan dalam perkembangannya mulai awal beroperasi hingga September 1999 BMI memiliki 45 outlet di seluruh wilayah di Indonesia. Dalam komentar keterbelakangan Indonesia dalam pembentukan Bank Islam yang di lontarkan oleh K.H Hasan Basri mengatakan bahwa kondisi keterlambatan ini karena political-will belum mendukung, selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syari’ah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syari’ah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syari’ah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syari’ah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. BAB III SIMPULAN Praktek Perbankan sudah banyak di amalkan oleh para sahabat Nabi di zamannya, yang memang secara formalitas kelembagaan belum ada. Namun substansi dari praktek Perbankan sudah diamalkan. Semisal meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang telah lazim dilakukan. Namun ada juga praktek yang oleh sahabat Rasul mempunyai penafsiran lain, sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam r.a memilih tidak menerima titipan harta, ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan ini menimbulkan implikasi yang berbeda yaitu pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman ia mempunyai hak untuk memanfaatkan, kedua karena bentuknya pinjaman maka ia wajib mengembalikan secara utuh. Dalam riwayat Ibnu Abbas. r.a juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a melakukan pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Mis’ab bin Zubair yang tinggal di Irak. Sehingga pada masa sekarang ini sering kita sebut dengan transfer. Mengembangkan Perbankan Syari’ah di zaman Rasulullah SAW fungsi-fungsi Perbankan dilakukan oleh perorangan dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi, sehingga setiap orang mempunyai peranannya sendiri. Kemudian, perkembangan sejarah Perbankan pada masa sekarang ini yang pada mulanya menuai banyak hambatan-hambatan yang dilalui oleh para pendiri Bank Syari’ah, seperti halnya pemerintah tidak mendukung adanya konsep yang ditawarkan bank Syari’ah ini, dngan dalih bahwa secara polotis bank Syari’ah dianggap berkonotasi ideologis, yang ada kaitannya dengan konsep negara Islam. Sehingga pada saat itu juga masih banyak pertanyaan “siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu (sistem bagi hasil)” tentunya para pengusaha yang ingin masuk sebagai penanam modal juga masih khawatir akan kelangsungan Investasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar